(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
Sesungguhnya, orang-orang yang beriman akan diberi petunjuk oleh Allah l kepada jalan yang lurus1 dan di dalamnya. Petunjuk di dalam jalan yang lurus adalah petunjuk kepada ilmu yang hak dan mengamalkannya, menerima hal-hal yang dicintai dan menyenangkan dengan bersyukur, juga sabar dan ridha menghadapi musibah serta hal-hal yang dibenci.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh akan diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanan mereka.” (Yunus: 9)
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang melainkan dengan izin Allah, dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (at-Taghabun: 11)
Sebagian salaf berkata, “Dia adalah seseorang yang mendapatkan musibah dan mengetahui bahwa musibah itu datang dari sisi Allah l sehingga dia ridha dan berserah diri.”
Seandainya tidak ada buah keimanan selain sebagai penghibur bagi pemiliknya tatkala tertimpa musibah dan hal-hal yang dibenci—yang pasti akan dialami oleh seluruh manusia setiap saat— (itu sudah cukup). Padahal, memiliki keimanan dan keyakinan adalah sebab terbesar yang akan menghibur seseorang dan meringankan cobaan serta musibah yang menimpanya. Hal itu karena kekuatan iman, tawakal, harapan akan adanya pahala dari Allah l, dan keinginan yang besar untuk mendapatkan keutamaan Allah l akan meringankan pahitnya kesabaran.
Allah l berfirman:
“Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan sebagaimana kamu menderitanya, sedangkan kamu berharap kepada Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (an-Nisa’: 104)
Oleh karena itu, engkau akan mendapati dua orang yang tertimpa musibah yang sama atau hampir sama—salah satunya memiliki keimanan dan yang lainnya tidak—keadaan keduanya sangat berbeda. Pengaruh keimanan tampak pada lahiriah dan batiniah keduanya. Perbedaan ini kembali pada keimanan dan realisasinya.
Selain sebagai penghibur tatkala datangnya musibah dan cobaan, keimanan juga menjadi penghibur ketika seseorang kehilangan hal-hal yang dicintainya. Apabila seorang mukmin kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya, seperti keluarga, anak, harta, sahabat, dan semisalnya, manisnya keimanan akan menghiburnya. Bagi seorang mukmin, keimanan adalah sebaik-baik pengganti dari segala hal yang hilang.
Pada hakikatnya, kehilangan sesuatu yang dicintai terhitung sebagai musibah. Seandainya Nabi Ya’qub q tidak memiliki keimanan, musibah yang menimpanya berupa kehilangan putra yang sangat dicintainya tidak akan menjadi ringan. Beliau q berkata kepada saudara-saudara Yusuf tatkala mereka meminta izin beliau untuk membawa Yusuf bermain dan menggembala bersama mereka:
“Sesungguhnya, kepergianmu bersama Yusuf amat menyedihkanku.” (Yusuf: 13)
Nabi Ya’kub q memberitahukan bahwa yang menghalangi beliau q untuk melepaskan Yusuf q adalah beliau q tidak mampu bersabar berpisah dengannya walau sekejap. Akan tetapi, mereka terus-menerus meminta dan menyebutkan alasan. Akhirnya, Nabi Ya’kub q merelakannya.
“Agar Dia melaksanakan suatu urusan yang harus dilaksanakan.” (al-Anfal: 42)
Keadaan Ya’qub q ini dan kecintaannya yang besar sehingga sulit digambarkan, apakah masuk akal bahwa kesedihannya akan terus ada dalam waktu yang panjang? Prasangka yang paling kuat, justru kecintaannya akan menghancurkan hatinya dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, kekuatan iman dan kekuatan harapan kepada Allah l membawa beliau q untuk bersabar sepanjang masa hingga datang jalan keluar dari Allah l yang Dia l janjikan kepada orang yang beriman.
Demikian pula kisah ibunda Nabi Musa. Ketika air sungai menghanyutkan Musa q, jadilah hati sang ibu kosong dari segala sesuatu. Yang ada hanyalah kesedihan karena kehilangan sang putra, Musa q.
Seandainya Allah l tidak mengikat hatinya dengan keimanan dan tidak memberi petunjuk bahwa janji Allah l pasti benar, tentu ia akan menampakkan apa yang ada dalam hatinya dan musibah yang menimpanya. Akan tetapi, inilah keimanan yang mengokohkan seseorang tatkala tertimpa kesusahan, yang menghibur saat datangnya musibah, dan yang menambah kekuatan ketika melemah.
Dalam sebuah wasiat yang agung, Nabi n bersabda sebagaimana disebutkan oleh hadits Ibnu Abbas z yang sahih:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ
“Kenalilah Allah l dalam keadaan lapang, maka Allah akan mengenalimu tatkala dalam keadaan sempit.”
Yakni, engkau mengingat Allah l dengan beriman dan beramal ketika sehat dan mampu, maka Allah akan mengingatmu tatkala engkau dalam kesulitan.
Kesulitan terbesar yang menimpa seorang mukmin adalah beratnya menghadapi kematian dan sakratul maut. Hadits ini adalah kabar gembira bagi setiap mukmin yang telah mengenal Rabbnya dalam keadaan lapang sehingga Allah l menolongnya tatkala ia berada dalam kesempitan, kesulitan, dan kehilangan kekuatan. Saat setan semakin gencar menghalangi seorang hamba dari husnul khatimah (meninggal dalam kebaikan), Allah l akan menolongnya dengan kekuatan dan rahmat-Nya. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah l.
(Diambil dengan sedikit perubahan dari kitab at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman, asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t hlm. 48—51)