Di antara tujuan pernikahan adalah mengharapkan munculnya keturunan yang akan meneruskan kehidupan manusia di muka bumi ini sampai batas waktu yang Allah ‘azza wa jalla tentukan.
Demi tercapainya kemaslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat, Islam telah memberikan perhatian yang serius sejak seorang manusia terlahir di bumi ini hingga dewasa dan masa tuanya. Bahkan, sebelum bayi terlahir, Islam telah membimbing kedua orang tua untuk mempersiapkan generasi penerus yang baik dan jauh dari gangguan makhluk yang jahat semisal setan.
Di antara bimbingan yang mulia tersebut adalah:
Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya; hendaklah kamu pilih yang beragama (bagus agamanya) niscaya kamu akan bahagia.” (HR . al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kesalehan orang tua merupakan faktor utama lahirnya anak-anak yang baik, sebagaimana juga menjadi sebab dijaganya anak keturunannya oleh Allah ‘azza wa jalla.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak, karena saya berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan para umat.” (Sahih, HR . Abu Dawud, an-Nasai, al-Hakim, dan Ibnu Hibban)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika salah seorang kalian menggauli istrinya ucapkanlah, ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari yang Kau anugerahkan kepada kami.’ Lalu ia ditakdirkan memiliki anak dari hubungannya itu, anak itu tidak termudarati oleh setan selama-lamanya.” (HR . al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Ulama berbeda pendapat tentang maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Anak itu tidak termudarati oleh setan.” Ada yang menafsirkan bahwa anak tersebut tidak akan dirasuki oleh setan. Ad-Dawud rahimahullah menerangkan, “Maksud dari ‘tidak termudarati oleh setan’ ialah setan tidak menyesatkannya dari agama menuju kekafiran. Bukanlah yang dimaksud di sini bahwa anak itu terjaga dari berbuat maksiat.” (‘Aunul Ma’bud 6/198).
Hadits di atas memberikan bimbingan kepada para ayah untuk melakukan faktor-faktor yang bisa menjaga dan melindungi anak dari godaan setan saat anak tersebut masih di rahim ibunya. Sebab, setan selalu menempel kepada manusia dan tidak lepas darinya kecuali ketika ia berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlindung kepada-Nya dari setan. Seperti inilah syariat Islam yang cemerlang. Ia telah meletakkan kaidah untuk menjaga janin sejak tercipta di rahim ibunya hingga lahir ke dunia dalam keadaan kuat dan sempurna fisiknya.
Al-Qur’an telah mengabadikan doa sebagian rasul Allah ‘azza wa jalla seperti doa Nabi Zakariya ‘alaihissalam,
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Rabbnya seraya berkata, “Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Ali Imran: 38)
Kesalehan anak akan membawa keberkahan bagi orang tuanya secara khusus serta bagi masyarakat dan umatnya secara umum. Orang tua akan tenteram hatinya dan sejuk matanya memandang anaknya yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Saat orang tuanya masih hidup, anak yang saleh akan menyuguhkan beragam kebaikan bagi orang tuanya sebagai bentuk balas budi atas kebaikan keduanya yang selama ini mereka curahkan. Saat orang tuanya meninggal di atas Islam, ia tidak kikir untuk mendoakan ampunan dan rahmat untuk keduanya. Jika orang tuanya masuk surga kelak, akan diangkat derajatnya lantaran kesalehan anaknya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bunuhlah ular-ular itu, serta bunuhlah ular yang di atas punggungnya ada dua garis putih dan ular yang ekornya terputus. Sebab, kedua jenis ular ini bisa membutakan mata dan menggugurkan kandungan.” ( Shahih al-Bukhari dari Ibnu Umar c no. 3297)
An-Nadhr bin Syumail rahimahullah menerangkan tentang ular yang ekornyaterputus, yang dimaksud adalah ula berwarna biru yang jika orang hamil melihatnya, kandungannya akan gugur.
(Ahkam at-Thifl, Ahmad al-‘Isawi hlm. 57)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.