Metode pengobatan ruqyah memang telah mendapat tempat di masyarakat. Sayangnya, hal ini justru kemudian disalahgunakan dan dikomersialkan sejumlah orang yang menampilkan sekaligus mengiklankan dirinya sebagai ahli ruqyah.
Ketika menelusuri sejarah kehidupan manusia, generasi demi generasi berikut segala peristiwa yang terjadi, seseorang akan terbawa ke dalam dua sifat mulia bila dia mendalaminya dengan kacamata Islam. Pertama, munculnya rasa takut ketika mengingat penghancuran hebat dari Allah subhanahu wa ta’ala atas suatu kaum yang mendustakan agama, menentang para rasul, serta ingkar kepada-Nya. Kedua, munculnya harapan ketika menemukan limpahan rahmat dan keberkahan hidup dari Allah subhanahu wa ta’ala yang didapatkan oleh suatu kaum yang taat dan menerima segala yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui para rasul.
Setelah itu, rasa takut yang menghinggapinya membawanya kepada satu sikap “siap meninggalkan segala yang dilarang Allah subhanahu wa ta’ala yang akan mendatangkan murka-Nya, betapapun kuat dorongan dari dalam dirinya dan besarnya pembelaan dari luar.” Dan harapan yang tumbuh pada dirinya akan membawanya menuju “semangat untuk mewujudkan ketaatan dengan menapaki langkah pendahulunya yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala di dalam melaksanakan titah-titah-Nya, meskipun ia membencinya dan dari luar dirinya mendukungnya.”
Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan pengusiran kaum kafir Yahudi dan Nasrani dari negeri mereka. Mereka mau tidak mau harus keluar dari negerinya dan mengakui bahwa benteng-benteng mereka tidak akan bisa mencegah siksaan Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah itu Allah lmenurunkan hukuman kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah subhanahu wa ta’ala benamkan rasa takut ke dalam dada mereka. Akhirnya rumah mereka musnah oleh tangan mereka sendiri dan tangan orang yang beriman.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir.” (al-Hasyr: 2)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan pertemuan dua kubu dalam sebuah pertempuran, yakni antara orang kafir dan orang yang beriman. Di mana orang kafir menyaksikan orang yang beriman dua kali lipat jumlahnya. Selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala menolong kaum mukminin setelah itu. Dia menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berfikir.” (ali ‘Imran: 13)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan pendustaan suatu kaum terhadap para rasul yang diutus kepada mereka, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan siksaan kepada mereka dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang beriman. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang yang berfikir. al-Qur`an itu bukanlah perkataan yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu serta sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf: 111)
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keangkuhan Fir’aun yang telah menobatkan dirinya sebagai tuhan selain Allah subhanahu wa ta’ala setelah dia mendustakan Nabi Musa ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengadzabnya di dunia maupun di akhirat. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menutup pelajaran ini dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya pada perkara itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang (memiliki) rasa takut.” (an-Nazi’at: 26)
“Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (ali ‘Imran: 137)
“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, kemudian saksikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)’.” (al-An’am: 11)
“Dan saksikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang (melakukan) kerusakan.” (al-A’raf: 86)
“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat maksiat’.” (an-Naml: 69)
“Katakanlah: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu lihatlah kesudahan orang-orang sebelum kalian, kebanyakan mereka menyekutukan Allah’.” (ar-Rum: 42)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “Katakanlah wahai Muhammad kepada mereka: ‘Berjalanlah kalian di muka bumi ini. Saksikanlah kesudahan orang-orang yang berbuat maksiat, yaitu orang-orang yang mendustakan para rasul dan segala apa yang mereka bawa, baik yang terkait dengan urusan hari akhir ataupun selainnya. Bagaimana kemurkaan, adzab, dan ancaman Allah subhanahu wa ta’ala menimpa mereka. Dan Allah subhanahu wa ta’ala selamatkan para rasul dan orang-orang yang mengikutinya dari kalangan kaum mukminin. Semua ini menunjukkan kebenaran apa yang dibawa para rasul tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/390)
Ruqyah adalah Sebuah Ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala
Ruqyah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dikatakan sebagai salah satu bentuk ibadah, karena perbuatan ini dicintai dan diridhai oleh-Nya. Sebagaimana definisi ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala baik berbentuk ucapan atau perbuatan yang nampak ataupun tidak nampak.”
Terlebih lagi, pada amalan ruqyah ini terdapat unsur ta’awun (tolong-menolong) syar’i dalam upaya melepaskan saudara kita dari belenggu yang memberatkan dirinya. Dalil-dalil yang menunjukkan ruqyah sebagai salah satu bentuk ibadah terlalu banyak. Di antaranya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tolong-menolonglah kalian di dalam kebajikan dan ketaqwaan dan jangan kalian tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa melepaskan saudaranya dari kesulitan di dunia, niscaya Allah akan melepaskannya dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa memberikan kemudahan bagi saudaranya yang mendapatkan kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan di akhirat. Serta barangsiapa menyembunyikan aib saudaranya, maka Allah akan menyembunyikan aibnya di dunia dan akhirat. Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.”1
“Dari Salim, dari bapaknya (Ibnu ‘Umar), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang muslim merupakan saudara muslim lainnya. Maka tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, niscaya Allah akan selalu memenuhi hajatnya. Dan barangsiapa mengeluarkan saudaranya dari kesulitan, niscaya Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi aib saudaranya, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”2
“Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi meniup dirinya ketika sakit di akhir hayat beliau dengan al-mu’awwidzat. Dan ketika berat atas beliau (untuk melakukannya), (kata ‘Aisyah) sayalah yang meniupkan untuk beliau, lalu saya mengusapnya dengan tangan beliau sendiri karena barakah yang terkandung padanya.”3
“Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat di rumahnya seorang budak wanita dan di wajahnya terdapat warna (kehitaman) maka (beliau berkata): ‘Ruqyahlah dia, sesungguhnya dia terkena penyakit ‘ain (pandangan jahat).”4
Dari dalil-dalil di atas maka jelas bahwa ruqyah itu merupakan sebuah ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Syarat Ibadah
Karena ruqyah itu merupakan sebuah ibadah, sudah barang tentu akan bernilai ibadah di sisi Allah subhanahu wa ta’ala jika dibangun di atas aqidah tauhid yang benar, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan illa liya’buduuni artinya: “Agar mereka mengakui peribadatan adalah milik-Ku, baik dalam keadaan suka ataupun terpaksa.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/246)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Maknanya adalah) tidaklah Aku menciptakan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dari kalangan jin dan manusia, melainkan (karena) mereka mentauhidkan-Ku.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah mengatakan: “Ibadah adalah tauhid.” Kemudian dijelaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah: “Ibadah itu dibangun di atas tauhid. Dan setiap ibadah yang tidak (didasari) tauhid bukanlah sebuah ibadah. Terlebih lagi, sebagian ulama salaf menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala ‘kecuali agar mereka menyembah-Ku’ yaitu kecuali agar mereka mentauhidkan Aku. Dan ini sangat sesuai dengan apa yang disimpulkan pengarang (yakni Asy-Syaikh Muhammad) bahwa ibadah itu adalah tauhid, dan setiap ibadah yang tidak dibangun di atas tauhid adalah (ibadah) batil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Aku tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan sebuah amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku (pada amalan tersebut), Aku akan membiarkannya dengan amalan syiriknya tersebut.” (Al-Qaulul Al-Mufid Syarah Kitab Tauhid, 1/55)
Realisasi tauhid dalam peribadatan adalah “Tidak bertujuan melainkan mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak memberikannya kepada selain-Nya. Yaitu ibadah yang tidak dikotori oleh noda-noda riya, mengharapkan pujian dari orang lain, atau agar memiliki tempat dalam hati manusia.”
Ada dua syarat ibadah yang harus dipenuhi ketika akan menegakkan sebuah ibadah:
Pertama: Ikhlas semata-mata mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Ikhlas artinya mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala semata dan tidak menginginkan selainnya. Keikhlasan ini merupakan implementasi dari syahadat لا إله إلا الله
Hudzaifah Al-Mar’asyi mengatakan: “Ikhlas adalah keseimbangan antara perbuatan lahiriah dan batiniah seorang hamba.”
Abu Qashim Al-Qusyairi menjelaskan: “Ikhlas adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ketaatan yang hanya bertujuan untuk-Nya. Yakni dengan ketaatan yang dilakukannya itu, dia ingin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan bukan kepada selain-Nya, seperti berbuat karena makhluk, mencari pujian orang, senang mendapatkan pujian, atau segala makna yang tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Abu Muhammad Sahl bin Abdullah rahimahullah menjelaskan: “Orang-orang berilmu telah melakukan penggalian dalam menafsirkan keikhlasan. Dan mereka tidak menemukan (makna lain) selain: Gerak dan diamnya seseorang, baik ketika sendirian atau bersama orang lain, hanyalah untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan tidak dicampuri oleh keinginan hawa nafsu dan dunia.” (Al-Adzkar karya Al-Imam An-Nawawi hal. 5)
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan: “Ikhlas merupakan lawan syirik. Barang-siapa tidak ikhlas, dia adalah seorang musyrik. Namun kesyirikan itu memiliki tingkatan-tingkatan. Keikhlasan di dalam ketauhidan lawannya adalah kesyirikan di dalam uluhiyyah. Dan kesyirikan itu ada yang tersembunyi dan ada yang nyata. Begitu juga keikhlasan.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 366)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Orang-orang yang ikhlas adalah: orang-orang yang merealisasikan Iyyaka na’budu waiyyaka Nasta’in, yaitu menjadikan segala amal, ucapan, pemberian, menahan pemberian, kecintaan, kebencian, dan muamalah lahiriah serta batiniah mereka hanya untuk mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak menginginkan balas budi dari manusia. Tidak pula mencari kedudukan di sisi mereka. Tidak mencari pujian dan kedudukan di hati-hati mereka dan tidak pula lari dari cercaan mereka. Dan bahkan mereka (orang-orang yang ikhlas) menganggap manusia ini seperti penghuni kuburan yang tidak memiliki kesanggupan memberikan manfaat dan menolak mudharat, serta tidak bisa menghidupkan, mematikan, dan membangkitkan.” (Madarijus Salikin, hal. 83)
Dalil-dalil yang menunjukkan landasan pertama ini sangatlah banyak. Di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka mengikhlaskan agama untuk Allah yaitu agama yang lurus, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah kepada dunia yang akan didapatnya, atau wanita yang akan dinikahinya maka dia akan mendapatkannya.”6
“Allah berfirman: ‘Aku tidak butuh kepada sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan-Ku padanya (dalam amalan itu) dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya bersama amalan syiriknya’.”7
Beberapa Untaian Hikmah tentang Ikhlas
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: Diriwayatkan dari Ibnu Abid Dunya dengan sanad yang terputus dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat, dan orang yang tidak ikhlas tidak akan mendapatkan ganjaran.”
Beliau (Ibnu Rajab) mengatakan: “Maknanya adalah tidak ada pahala bagi orang yang tidak mengharapkan pahala dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala dalam amalannya.” Dan diriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sebuah perkataan tidak akan bermanfaat melainkan bila diamalkan. Dan ucapan dan perbuatan tidak akan bermanfaat melainkan dengan niat. Dan ucapan, amalan dan niat tidak akan bermanfaat melainkan bila sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata: “Belajarlah kalian tentang niat. Karena niat lebih tinggi kedudukannya daripada amal.”
Zubaid Al-Yami rahimahullah berkata: “Sesung-guhnya aku sangat senang mendahulukan niat di dalam segala sesuatu, sampaipun dalam permasalahan makan dan minum.”
Beliau rahimahullah juga berkata: “Berniatlah kamu dalam segala perkara yang kamu inginkan kebaikan padanya, sampaipun kamu hanya keluar ke tempat sampah.”
Dawud Ath-Tha`i rahimahullah berkata: “Aku melihat semua kebaikan dihimpun dalam kebagusan niat. Dan niat itu cukup sebagai kebaikan, sekalipun kamu tidak mengamalkannya.”
Sufyan At-Tsauri rahimahullah berkata: “Tidak ada sesuatu yang paling sulit aku obati daripada niat, karena niat tersebut berbolak-balik dalam diriku.”
Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata: “Membersihkan niat dari kerusakan lebih sulit daripada melakukan amalan dengan penuh kesungguhan.” Beliau rahimahullah berkata juga: “Mengarahkan semuanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala lebih utama dari berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata: “Kebagusan hati adalah karena kebagusan amal, dan kebagusan amal adalah karena kebagusan niat.”
Sebagian ulama salaf berkata: “Barangsiapa ingin disempurnakan nilai amalnya maka hendaklah dia memperbaiki niatnya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala akan mengganjar seorang hamba bila niatnya baik, sampai-pun permasalahan suapan nasi.”
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata: “Betapa seringnya amalan yang kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa seringnya amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Ibnu ‘Ajlan rahimahullah berkata: “Sebuah amalan tidak akan menjadi baik melainkan dengan tiga perkara: Taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, niat yang baik, dan sesuai dengan tuntunan.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan darimu niat dan keinginanmu.” (Lihat Jami’ Ulum wal Hikam, hal. 18)
Kedua: Ibadah tersebut ada tuntunan-nya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sesuai dengan sunnah Nabi.
Syarat kedua ini merupakan implementasi dari syahadat محمدا رسول الله
Kedua syarat ini tidak bisa dipisahkan sebagaimana pula tidak bisa dipisahkan antara persaksian dengan persaksian لا إله إلا الله
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa melakukan sebuah ibadah yang tidak ada perintahnya dariku maka amalan tersebut tertolak.”8
Niat yang Jelek adalah Perusak Ibadah
Di antara bentuk gambaran niat yang jelek adalah
Riya` yaitu memamerkan sebuah amalan dengan tujuan ingin mendapatkan pujian dan sanjungan, ingin mendapatkan pengagungan atau pengakuan dari manusia.
Riya` termasuk syirik kecil bila sedikit, dan akan menjadi syirik besar bila banyak (lihat Syarah Riyadhus Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 2/1712)
“Allah berfirman: ‘Aku tidak butuh kepada sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku padanya (dalam amalan tersebut) dengan selain-Ku, Aku akan meninggalkannya bersama amalan syiriknya.
2. Sum’ah
Sum’ah adalah memperdengarkan amal kebajikan agar mendapatkan pujian, sanjungan, atau kedudukan di hati manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa memperdengarkan kebaikannya, Allah akan memperdengarkan keburukannya (di dunia dan akhirat) dan barangsiapa yang memamerkan amalannya, Allah akan memamerkan keburukannya (di dunia dan akhirat).”
3. Berbuat untuk dunia
Hal ini telah ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah: “Adapun kesyirikan di dalam keinginan dan niat, bagaikan laut yang tidak bertepi. Sedikit orang yang selamat darinya. Barangsiapa yang beramal namun menginginkan selain wajah Allah subhanahu wa ta’ala, meniatkan sesuatu yang bukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan bukan karena meminta ganjaran dari Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh dia telah melakukan kesyirikan di dalam keinginan dan niatan.
Ikhlas adalah seseorang memurnikan ucapan dan perbuatannya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, keinginan serta niatnya. Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, yang Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan seluruh hamba dengannya, dan tidak akan diterima dari siapapun selain agama ini. Dan ini merupakan hakikat Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Inilah agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Barangsiapa membencinya, sungguh dia termasuk orang-orang yang paling bodoh.” (Al-Jawabul Kafi hal. 115, lihat ‘Aqidah At-Tauhid hal. 98)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Beramal karena dunia dan dalam rangka mendapatkan harta benda, maka:
Jelasnya, “Tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.” Ruqyah adalah sebuah ibadah, tidak boleh dijadikan jembatan alternatif mencari nama atau popularitas. Wallahu ta’ala a’lam.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
————————————————————————————————————————————–
Catatan kaki :
1 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
2 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 1346
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5735 dan Muslim no. 2192
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5739 dan Muslim no. 2197
5 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6953 dan Al-Imam Muslim no. 1097 dan ini lafadz Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
6 HR. Al-Imam Muslim no. 2985 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
7 HR. Al-Imam Muslim no. 1718 dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 2986, 2987 dari Jundub bin Abdullah radhiallahu ‘anhu