Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Apabila seseorang menyeru kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir,’ maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya. Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir, maka sebutan itu pantas untuknya. Bila tidak, maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6104 dan Muslim no. 60)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu juga menuturkan hal yang sama dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ؛ وَ يْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan, ‘Wahai musuh Allah’, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” (Sahih, HR. Muslim no. 61)
Di balik kehormatan kaum muslimin yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan diharamkan sampai hari kiamat ternyata kehormatan tersebut dihinakan, dilanggar ketentuannya oleh jiwa-jiwa yang tidak khawatir akan akibat perbuatannya. Hal ini kita dapati sejak zaman dahulu, zaman as-salafush shalih, hingga hari ini.
Masih terngiang di telinga kita, bagaimana pelanggaran kehormatan bahkan sampai pada penghalalan jiwa dan harta yang dilakukan oleh kelompok Khawarij, Islam Jamaah, atau kelompok takfiriyyun lain yang ada pada zaman sekarang. Sedih dan memilukan memang melihat fenomena demikian, mengingat pintu-pintu rumah kaum muslimin tak luput dimasuki oleh para pelanggar kehormatan tersebut.
Agama kita yang mulia sama sekali tidak pernah ridha, bahkan berlepas diri dari pelanggaran kehormatan yang terjadi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram bagi kalian seperti keharaman hari ini, di bulan ini, di negeri ini.” (HR. al-Bukhari no. 68 dan Muslim no. 1679)
Jawaban dari fenomena yang membuat dada terasa sesak ini sangat membutuhkan perhatian kita untuk kembali kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma di atas. Kedua hadits tersebut merupakan peringatan keras untuk tidak menjatuhkan vonis kafir terhadap seorang muslim (yang sudah sedemikian mudah dan murahnya kalimat ini di mulut sebagian orang) karena memang permasalahan kekafiran dan keislaman hukumnya kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Dialah yang berhak menghukumi di antara hamba-Nya, siapa yang kafir dan siapa yang muslim. Sebagaimana penghalalan dan pengharaman juga berada dalam ketetapan-Nya. Siapa pun tidak diperkenankan menghalalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dan mengharamkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan.
Demikian pula kita tidak boleh mengafirkan seseorang ketika dia tidak dihukumi kafir oleh hukum Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menyatakan keislaman seseorang ketika dia tidak termasuk sebagai seorang muslim ketika ditimbang dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Siapa saja yang telah dipastikan keislamannya maka ia tidak boleh difasikkan dan dikafirkan ataupun dikeluarkan dari agama Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan bukti yang menunjukkan kekufuran dan keluarnya dia dari agama Allah subhanahu wa ta’ala dengan jelas, dan didapati darinya syarat-syarat pengkufuran, dan hilang darinya penghalang demi penghalang yang membuat jatuhnya vonis kafir padanya. Tentunya yang bisa melihat permasalahan ini hanyalah para ulama dari kalangan ahli fatwa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang duduk di majelisku tahu bahwa aku termasuk orang yang paling besar pelarangannya dari memvonis kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan kepada orang tertentu, kecuali bila diketahui telah tegak hujah kepadanya yang jika diselisihi seseorang (maka ia) bisa jadi kafir, bisa jadi fasiq atau bisa jadi pelaku maksiat.” (Majmu’ Fatawa, 3/229)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pengkafiran itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidaklah seseorang itu kafir kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” (Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh Biaqrabith Thuruq wa Aysaril Asbab, hlm. 198)
Hukuman bagi Orang yang Mengafirkan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengafirkan seseorang karena hal ini akan berdampak atau berakibat kepada dua perkara yang besar:
Pertama, mengadakan kedustaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala di dalam hukum, di mana dia menghukumi kafir terhadap orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini sama keadaannya dengan orang yang mengharamkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan, karena menghukumi kafir tidaknya seseorang hanya berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala saja sebagaimana hukum halal dan haram hanya berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, mengadakan kedustaan terhadap orang yang dihukumi kafir tersebut dengan sifat yang dituduhkan kepadanya, di mana ia menyifati seorang muslim dengan sifat yang berlawanan dengan keadaan sebenarnya. Ia mengatakan, dia kafir, padahal orang ini berlepas diri dari kekafiran, sehingga pantaslah sifat kekafiran itu dikembalikan padanya (orang yang menuduh) berdasarkan hadits di dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Apabila seseorang mengafirkan saudaranya, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”
Dalam satu riwayat,
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Bila orang yang disebut kafir itu memang kafir adanya maka sebutan itu pantas untuknya, bila tidak maka sebutan kafir itu kembali kepada yang mengucapkan.”
Masih dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan, ‘Wahai musuh Allah’, sementara orang yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma,
إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ
“Bila orang tersebut memang kafir keadaannya,” (yakni) sesuai dengan hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula ucapan beliau dalam hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
وَلَيْسَ كَذَلِكَ
“Sementara orang yang dituduhnya itu tidaklah demikian,” (yakni bila ditimbang dengan) hukum Allah subhanahu wa ta’ala.
Penyifatan kekufuran itu kembali kepadanya bila saudaranya itu terlepas dari tuduhan tersebut, dan dikhawatirkan sekali ia terjatuh padanya. Karena kebanyakan orang yang begitu bersegera menyifatkan seorang muslim sebagai kafir merasa bangga dengan amalannya dan memandang remeh amalan orang lain, hingga akhirnya tergabunglah dengannya antara sifat ujub atas amalannya yang terkadang akan mengantarkan kepada batalnya amalannya tersebut dan sifat sombong yang menyebabkan ia diadzab oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam api neraka.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ الله عَزَّ وَجَلَّ: الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Kesombongan itu adalah pakaian-Ku dan keagungan itu adalah kain-Ku maka siapa yang menentang-Ku pada salah satu dari keduanya niscaya akan Aku campakkan dia ke dalam neraka.” (Syarhu Kasyfisy Syubuhat, hlm. 41—42)
Tidak diragukan lagi, jika ada orang yang suka mengafirkan kaum muslimin, maka mereka sendirilah yang kafir, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa bila seseorang mengatakan kepada saudaranya sesama kaum muslimin, “Wahai kafir”, maka kekafiran itu mesti akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Bila memang orang yang dituduh kafir itu sebagaimana kenyataannya maka ia memang kafir. Bila tidak, maka yang kafir adalah pengucapnya, na’udzubillah.
Karena itu wajib bagi seseorang untuk membersihkan lisan dan hatinya dari mengafirkan muslimin, jangan ia berbicara dengan perkataan, “Dia kafir.” Jangan pula ia meyakini dalam hatinya bahwa seseorang itu kafir semata-mata karena hawa nafsu. Hukum pengkafiran bukan berada di tangan si Zaid, bukan pula di tangan si ‘Amr akan tetapi yang berhak dalam hal ini hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Siapa yang dikafirkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya maka ia memang kafir walaupun kita mengatakan dia muslim. Sebaliknya, siapa yang tidak dikafirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka ia tidak kafir walaupun orang mengatakan ia kafir.
Oleh karena itu, kita nyatakan terhadap orang yang mengucapkan, “Wahai kafir,” “Wahai musuh Allah,” kalau memang demikian keadaannya, maka dia seperti yang dikatakan. Namun apabila tidak demikan, maka (ucapan itu) kembali kepada si pengucap, dialah yang kafir, wal ‘iyadzu billah. Dengan demikian ucapan ini termasuk dosa besar bila orang yang dikatakan kafir itu tidaklah demikian keadaannya. (Syarhu Riyadhush Shalihin, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/376)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِفُسُوْقٍ، وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain fasiq dan tidak pula ia menuduh orang lain dengan kekafiran kecuali sebutan itu akan kembali kepadanya, apabila orang yang dituduhkan tidak demikian keadaannya.” (HR. al-Bukhari no. 6045)
Beliau menyatakan, “Hadits ini mengandung konsekuensi bahwa siapa yang mengatakan kepada orang lain, ‘Engkau fasiq,’ atau ‘Engkau kafir,’ sementara orang yang dicela tersebut tidak seperti yang dikatakan si pencela maka si pencela itulah yang berhak untuk mendapatkan sifat yang ia sebutkan (fasiq atau kafir). Namun bila memang orang tersebut seperti yang ia katakan, maka tidak kembali sesuatu pun kepadanya karena ia benar dalam ucapannya. Namun, walaupun perkataan itu tidak dikembalikan padanya, apakah ia kafir atau fasiq, bukan berarti dia tidak berdosa dengan penggambarannya terhadap seseorang: ‘Engkau fasik.’ Di dalam permasalahan ini perlu perincian.
Apabila ada seorang yang berkata, “Bagaimana bisa perkataan kafir itu dikembalikan kepadanya dalam keadaan ia mengafirkan seseorang karena kecemburuannya terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala?” Jawabannya, dia kafir karena dia menjadikan dirinya sebagai penetap syariat bersama Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mengafirkan orang itu sementara Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkafirkannya, dengan (perbuatan itu) dia mengangkat dirinya sebagai tandingan bagi Allah subhanahu wa ta’ala dalam pengkafiran saudaranya. Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala akan menutup hatinya hingga akhirnya ia akan kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan kekafiran yang nyata dan jelas.” (Fitnatut Takfir, hlm. 43—44)
Konsekuensi Orang yang Dihukumi Kafir
Mudahnya vonis pengkafiran itu dijatuhkan kepada seseorang adalah permasalahan yang sangat berbahaya. Kita perlu melihat kerusakan yang terjadi yang membuka sekian banyak pintu kejelekan terhadap umat ini, yang berkonsekuensi bahwa orang yang dituduh kafir sebagai berikut.
“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun terhadap orang-orang musyrik walaupun orang musyrik yang meninggal itu adalah karib kerabatnya setelah jelas bagi kaum muslimin bahwa kerabatnya yang kafir itu adalah penghuni neraka jahim.” (at-Taubah: 113)
Diambil secara ringkas dari Qadhiyatut Takfir Baina Ahlis Sunnah wa Firaqidh Dhalal, hlm. 19—20.
Menghukumi Kafir
Mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam hal ini adalah mazhab yang pertengahan, tidak berlebih-lebihan dan tidak bermudah-mudahan terhadap penghukuman ahlul iman sebagaimana Khawarij dan yang sejalan dengannya yang berlebih-lebihan dalam mengafirkan, atau sebagaimana Murjiah yang bermudah-mudahan menetapkan keimanan yang sempurna pada ahlul iman walaupun berbuat maksiat. Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini dapat kita lihat dalam ucapan al- Imam ath-Thahawi rahimahullah berikut ini,
“Kita tidak mengafirkan ahlul kiblat karena satu dosa yang diperbuatnya selama ia tidak menghalalkan perbuatan tersebut, dan kita tidak mengatakan perbuatan dosa itu tidak bermudharat terhadap keimanan.
Kita berharap orang-orang yang berbuat baik dari kalangan mukminin agar Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan mereka dan memasukkan mereka ke dalam jannah (surga) dengan rahmat-Nya, namun kita tidak merasa aman terhadap mereka dari makar Allah subhanahu wa ta’ala dan kita tidak mempersaksikan surga bagi mereka.
Kita mintakan ampun terhadap kesalahan mereka dan kita takut mereka akan mendapat hukuman karena dosa mereka, namun kita tidak putus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap mereka. Merasa aman dari makar Allah subhanahu wa ta’ala dan putus asa dari rahmat-Nya, keduanya akan memindahkan dari agama Islam, sedangkan jalan yang haq berada di antara keduanya bagi ahlul kiblat.” (al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, Syarhun wa Ta’liq al-Imam al-Albani, hlm. 60—62)
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Kita tidak mengafirkan seorang pun dari ahlul kiblat karena suatu dosa dan kita tidak mengeluarkan dari Islam seorang pun dari mereka karena melakukan amalan tersebut (amalan dosa).” (Lum’atul I’tiqad ma’a Syarhin, hlm. 47)
Namun yang perlu kita ketahui, agama ini punya patokan-patokan (dhawabith) yang dengan patokan tersebut agama ini menghukumi seseorang itu kafir atau tidak. Bukan berarti agama ini tidak mengafirkan orang-orang yang memang berhak untuk dikafirkan. Tentunya pengkafiran ini kembali kepada patokan tersebut, dan patokan yang kita maksud adalah apa yang dikatakan oleh ahlul ilmi berupa adanya syarat-syarat (syuruth) pengkafiran (pada orang yang dikafirkan) dan hilangnya pencegah-pencegah dikeluarkannya seseorang dari keislaman (mawani’).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pengkafiran itu memiliki syarat-syarat dan mawani’ yang terkadang mawani’ itu hilang pada diri seseorang.” (Majmu’ Fatawa, 12/487)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hukum mengafirkan butuh dua perkara penting:
Pertama, adanya dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena di dalam nash terkadang disebutkan secara mutlak bahwa perbuatan itu kufur namun kufurnya tidak mengeluarkan dari Islam, sehingga harus diketahui dengan pasti bahwa nash itu menunjukkan amalan tersebut kufur, atau bila meninggalkan suatu amalan akan membuat pelakunya kufur keluar dari Islam.
Kedua, dalil tersebut pantas diterapkan kepada orang yang melakukan perbuatan kufur tersebut, karena tidaklah semua pelaku amalan kekufuran langsung divonis kafir sebagaimana ditunjukkan hal ini dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Fitnatut Takfir, hlm. 41)
Di antara salah satu permisalannya, ada orang yang dipaksa untuk sujud kepada patung, sehingga karena paksaan dan di bawah tekanan ia pun sujud. Perbuatannya merupakan perbuatan kufur namun karena orang ini melakukannya dengan terpaksa, maka ia tidak bisa dikafirkan. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Siapa yang kafir kepada Allah setelah keimanannya, kecuali orang yang dipaksa untuk berbuat/berucap kekufuran sementara hatinya tenang dalam keimanan, akan tetapi siapa yang melapangkan dadanya melakukan kekafiran maka mereka mendapatkan kemurkaan Allah dan untuk mereka azab yang besar.” (an-Nahl: 106)
Mawani’—sebagaimana dijelaskan dengan nash oleh ahlul ilmi—jumlahnya banyak, sehingga perlu kita camkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak mengafirkan seorang muslim karena berbuat dosa besar yang diperbuatnya—selain syirik—seperti membunuh, minum khamr, berzina, mencuri, makan harta anak yatim, menuduh wanita yang baikbaik berzina, makan riba dan semisalnya.
Akan tetapi, waliyyul amr (penguasa) menegakkan hukuman terhadap pelaku dosa besar tersebut berupa hukum qishash, had atau ta’zir dan wajib pelaku dosa besar itu untuk bertaubat dan beristighfar. (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah no. 5003)
Penyebab Kekufuran
Al-Imam Syaikhul Islam asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata, “Akidah islamiah ini dapat terkotori oleh beberapa perkara. Perkaraperkara yang mencacati ini terbagi dua.
Pertama, jenis yang membatalkan akidah islamiah sehingga pelakunya kafir, na’udzubillah min dzalik.
Kedua, jenis yang mengurangi dan melemahkan akidah islamiah.
Jenis pertama dinamakan pembatal-pembatal keislaman yang berakibatkan kepada kemurtadan. Pembatal ini bisa berupa ucapan, perbuatan, keyakinan (i’tiqad), dan syak (ragu terhadap agama atau prinsip-prinsip agama).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa yang mengganti agamanya (murtad), bunuhlah dia.” ( HR. al- Bukhari dalam Shahih-nya)
Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang murtad diminta agar bertaubat. Bila ia enggan maka dibunuh dan disegerakan baginya menuju neraka.
Murtad karena Ucapan (Riddah Qauliyyah)[1]
Ucapan yang dapat memurtadkan pelakunya, di antaranya mencela Allah subhanahu wa ta’ala, mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyandarkan keaiban kepada Allah subhanahu wa ta’ala seperti mengatakan Allah subhanahu wa ta’ala itu fakir, atau Allah subhanahu wa ta’ala zalim, atau menyatakan Allah subhanahu wa ta’ala bakhil, Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui sebagian perkara, atau Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan shalat kepada kita. Yang demikian ini pelakunya murtad dan diminta agar bertaubat, bila tidak maka ia dibunuh.
Murtad karena Perbuatan (Riddah Fi’liyyah)
Adapun kemurtadan dalam masalah ini seperti meninggalkan shalat, maka pelakunya kafir[2] berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْعَهْدُ الَّذِي بَْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, siapa yang meninggalkannya maka sungguh ia telah kafir.”
Beliau juga menyatakan,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاةِ
“Perbedaan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Termasuk pula padanya bila seseorang meremehkan al-Qur’an atau menajisinya dengan sengaja. Termasuk juga thawaf di kuburan dan mengibadahi pemilik kuburan tersebut. Inilah riddah fi‘liyyah. Namun bila yang dimaksudkan melakukan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala itu hanya dilakukan di sisi kuburan, maka ini adalah bid’ah yang mencacati agama pelakunya dan tidak teranggap sebagai riddah (pelakunya tidak murtad); tetapi termasuk dalam jenis yang kedua, kufrun duna kufrin (amalan kekafiran yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam). Termasuk pula riddah fi’liyyah adalah menyembelih untuk selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Murtad karena Keyakinan (Riddah ‘Aqadiyyah)
Siapa yang meyakini dalam hatinya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu fakir, bakhil, atau Allah subhanahu wa ta’ala zalim, maka ia telah kafir sekalipun ia tidak pernah mengucapkannya. Ia meyakini dengan hatinya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu pendusta, atau di antara para nabi ada yang pendusta, atau ia meyakini dengan hatinya bahwa tidak apa-apa beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Semua keyakinan ini mengeluarkan pelakunya dari Islam karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hal itu karena Allah adalah Al-Haq sementara apa yang mereka seru selain Allah itu batil.” (al-Hajj: 62)
“Sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu, tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.” (al- Baqarah: 163)
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)
Siapa saja yang menganggap bahwa boleh beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan pengucapan lisannya, maka ia kafir dengan pengucapan dan keyakinannya bersama-sama. Begitu pula jika ia melakukan dengan amalan, maka jadilah ia kafir dengan ucapan, amalan, dan keyakinan secara bersama-sama.
Termasuk pencacat akidah dalam bentuk ucapan, perbuatan dan keyakinan adalah apa yang dilakukan sebagian manusia pada hari ini di sisi kuburan orang-orang saleh dengan berdoa dan istighatsah (minta tolong ketika dalam kesusahan) kepada mereka. Siapa yang melakukan hal ini maka ia diminta bertaubat. Bila ia kembali kepada al-haq, maka ia dibiarkan tetap hidup. Namun bila enggan bertaubat, maka ia dibunuh sebagai orang yang murtad.
Murtad karena Ragu (Riddah bisy Syak)
Contohnya orang yang berkata, “Aku tidak tahu apakah Allah subhanahu wa ta’ala itu sesembahan yang benar atau tidak,” ia berkata, “Aku tidak tahu apakah Muhammad itu jujur atau dusta,” atau ia menyatakan, “Aku tidak tahu apakah hari kebangkitan itu ada atau tidak.” Orang yang seperti ini kafir dan diminta agar ia bertobat. Bila enggan, maka ia dibunuh.
Adapun bila ia tinggal jauh dari kaum muslimin seperti di hutan belantara yang terpencil (kemudian ia melakukan perkara kekufuran), maka diterangkan kepadanya. Namun bila setelah mendapat penerangan ia tetap terus-menerus dalam perbuatan kekufurannya, maka ia dibunuh (dan ini adalah tugas penguasa bukan perseorangan, –red.). Demikian pula orang yang meragukan salah satu dari rukun Islam.
Demikianlah pembatal-pembatal keislaman yang membuat pelakunya murtad dan bila enggan bertaubat maka ia dibunuh.
Jenis kedua, perkara-perkara yang tidak menjadikan pelakunya kafir namun melemahkan keimanannya seperti makan riba, melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti zina, bid’ah dan selainnya. Demikian pula melakukan perayaan maulid nabi yang diada-adakan oleh manusia sejak abad keempat hijriah, hal ini melemahkan akidah. Lebih-lebih jika dalam perayaan maulid tersebut dilakukan istighatsah (minta pertolongan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan ini bid’ah yang termasuk dalam jenis yang pertama dan mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Termasuk pula dalam jenis yang kedua ini adalah perbuatan thiyarah (menganggap sial dengan burung ataupun tanda-tanda lainnya) sebagaimana diperbuat oleh orang-orang jahiliah yang Allah subhanahu wa ta’ala telah membantah mereka dalam firman-Nya,
“Mereka mengatakan, ‘Kami ditimpa kesialan karenamu dan karena orang-orang yang menyertaimu.’
Nabi berkata, ‘Bahkan kesialan kalian itu datangnya dari sisi Allah akan tetapi kalian adalah orang-orang yang terfitnah’.” (an- Naml: 47)
Thiyarah adalah syirik yang tidak mengeluarkan dari agama Islam atau syirik kecil.
Demikian pula perayaan Isra Mi’raj, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak”. ( HR. al-Bukhari dan Muslim) [Kaset al-Qawadih fil ‘Aqidah, al-Imam Ibnu Baz, dari kitab Qadhiyatut Takfir, hlm. 66—70]
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
[1] Lihat rubrik “Manhaji” edisi ini tentang perbedaan hukum kafir yang umum dengan takfir yang mua’yyan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. (-red.)
[2] Kita ketahui dari pendapat beliau rahimahullah dan sebagian para ulama, orang yang meninggalkan shalat walaupun karena malas maka ia kafir. Hal ini adalah permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Sebagian ulama yang lain berpendapat dia tidak kafir kecuali bila disertai dengan keyakinan halalnya perbuatan meninggalkan shalat. (-red.)