Sesungguhnya setan menempuh dua jalan untuk menyesatkan setiap muslim. Jika dia termasuk pelaku dosa dan fasik, setan menempuh jalur syahwat dan menjatuhkannya ke dalam perangkapnya. Akibatnya, dia bertambah jauh dari jalan kebenaran dan petunjuk.
Akan tetapi, apabila dia kokoh berpegang dengan kebenaran niscaya dia akan menjadi orang selamat. Sebaliknya, apabila dia menyimpang dari kebenaran, kebinasaanlah yang menganga di hadapannya.
Jika seorang muslim termasuk ahli ibadah dan orang yang baik, setan menggodanya untuk berlaku ghuluw dan ifrath (melampaui batas). Setan melakukan hal ini untuk merusak agama seorang muslim dan mengeluarkannya dari keadilan dan keindahan Islam, serta menghalanginya dari meraih yang halal karena mengikuti hawa nafsunya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan siapa lagi yang lebih sesat dari seseorang yang mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah.” (al-Qashash: 50)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu kecuali setan memiliki dua cara untuk memalingkan (manusia) darinya. Setan akan menggoda manusia untuk cenderung meremehkan perintah itu atau menyia-nyiakannya. Bisa jadi, setan akan menggiring manusia untuk bersikap melampaui batas.
Adapun agama Allah subhanahu wa ta’ala berada di tengah-tengah antara sikap meremehkan dan sikap berlebih-lebihan. Ia bagaikan satu lembah yang terletak di antara dua gunung, petunjuk di antara dua kesesatan. Jadi, sikap pertengahan berada di antara dua hal yang tercela.”
Asy-Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah mengatakan, “Kewajiban seorang mukmin dan mukminah apabila Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahinya istiqamah adalah dia menjaga keistiqamahannya, tidak terjatuh dalam sesuatu yang memberatkan dirinya, berteman dengan orang yang baik, dan menjauh dari orang-orang yang rusak.
Seorang mukmin diperintah untuk kokoh di atas kebenaran dan berhatihati dari sifat melampaui batas dan mengentengkan. Jangan sampai dia bersikap melampaui batas, melakukan kebid’ahan, dan memberatkan diri. Jangan pula dia bersifat kaku yang lantas menjatuhkan dirinya dalam peremehan dan dosa.
Dia berbicara dan duduk bersama temannya karena Allah subhanahu wa ta’ala. Bahu-membahu bersama mereka di atas kebaikan dan ketakwaan, memberikan nasihat kepada mereka, menerima nasihat, tidak melakukan kebid’ahan di dalam agama yang tidak ada syariatnya. Selain itu, dia tidak ridha terhadap kemaksiatan dan tidak memiliki kecenderungan kepadanya.
Demikianlah seorang mukmin, ia selalu berada di atas sikap pertengahan dalam urusan agamanya, tidak melampaui batas dan tidak pula meremehkan, tidak bersikap kaku kasar dan tidak bersikap bermudah-mudahan dalam urusan agama Allah subhanahu wa ta’ala.”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Telah binasa al-mutanaththi’un, yaitu orang yang berdalam-dalam, berlebihan, dan melampaui batas dalam hal ucapan dan perbuatan.” (Syarah Shahih Muslim 16/220)
Sesungguhnya, syariat Islam menolak keras sifat ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sebab, sikap ini bisa mengeluarkan pelakunya dari jalan yang lurus dan mengajak kepada kekafiran, kesesatan dan mengada-ada atas nama Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai ahli kitab, jangan kalian melampaui batas dalam agama kalian dan jangan kalian mengatakan atas nama Allah kecuali perkataan yang benar.” (an-Nisa’: 171)
Telah dimaklumi bahwa larangan pada ayat di atas tertuju kepada ahli kitab. Akan tetapi, kita juga tercakup dalam larangan tersebut, karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama adalah sikap tercela bagi para pengikut risalah nabi.” (Risalah Ghuluw, hlm. 19—22 secara ringkas)
Sikap Ghuluw terhadap Orang Saleh Menyeret kepada Kesyirikan dan Kekufuran
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menulis sebuah bab dalam Kitab at-Tauhid bahwa sebab kekufuran bani Adam adalah meninggalkan agama mereka dan bersikap ghuluw terhadap orang-orang saleh.
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Terhadap orang saleh, manusia ada tiga macam.
Pertama, orang yang kaku dalam bersikap sehingga menghancurkan hak-hak orang saleh dan mereka tidak menunaikan hak-hak mereka seperti mencintai mereka, loyalitas terhadap mereka, memuliakan, dan menghormati mereka.
Kedua, orang yang melampaui batas, mereka mengangkatnya di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas mereka.
Ketiga, pemeluk kebenaran yang mencintai mereka dan yang berloyalitas kepada mereka. Mereka menunaikan hak-hak orang-orang saleh dengan sebenar-benarnya dan mereka berlepas diri dari sikap berlebihan pada hak mereka dan berlepas diri pula dari sikap mengakui kemaksuman mereka.
Tentu orang-orang saleh tersebut berlepas diri dari mengaku memiliki hak rububiyah yang menjadi milik Allah subhanahu wa ta’ala semata. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan ucapan Nabi Isa ‘alaihissalam,
“Mahasuci Engkau, tidak pantas bagiku untuk mengatakan apa yang aku bukan pemiliknya.” (al-Maidah: 116) (al-Qaul as-Sadid min Maqashid at-Tauhid, 21)
Bertabarruk dengan Peninggalan Orang Saleh: Sikap Ghuluw
Islam sebagai agama yang wasath (pertengahan) antara ifrath (berlebihan) dengan tafrith (meremehkan), serta memerangi kedua sikap ini. Selain itu, Islam juga memperingatkan pemeluknya agar tidak terjatuh dalam kedua hal itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh pada dirinya bahwa perbuatan itu tercela dan dibenci.
“Jangan kalian menyanjungku sebagaimana kaum Nasrani menyanjung Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, ‘Hamba dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari no. 3445 dari Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)
Kaum Nasrani mengangkat Nabi Isa ‘alaihissalam ke martabat uluhiyah. Hal ini pula yang telah menimpa umat ini pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan beliau pada maqam uluhiyah. Dengarkan bait syair al-Bushiri as-Sufi dalam burdah-nya,
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوذُ بِهَ
سِوَاكَ عِنْدَ حُلُولِ الْحَادِثِ الْعُمَم
Wahai makhluk yang paling dermawan yang tiada tempat aku berlindung
kecuali kepadamu ketika malapetaka yang menyeluruh
Sungguh, al-Bushiri lupa kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنْ لَمْ تَكُنْ فِي مَعَادِي آخِذاً بِيَدِي
فَضْ وَإِلاَّ قُلْ يَا زَلَّةَ الْقَدَمِ
Jika kelak di akhirat engkau (Rasulullah) tidak memegang tanganku
sebagai karuniamu, maka katakanlah wahai orang yang tergelincir kakinya
Aduhai meruginya, tidak ada yang akan menyelamatkan al-Bushiri dari api neraka kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّ مِنْ جُودِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُومِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَم
Sungguh, di antara kedermawananmu, dunia dan segala isinya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu Lauhil Mahfuzh dan al-qalam (pena)
Lihatlah, al-Bushiri tidak menyisakan sedikit pun bagi Allah subhanahu wa ta’ala karena semuanya dalam ilmu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian bacalah apa yang telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang pribadi Rasul-Nya,
“Kamu tidak memiliki urusan sedikit pun, Allah mengampuni mereka atau mengazab mereka, sesungguhnya mereka telah berbuat zalim.” (Ali Imran: 128)
Katakan (wahai Rasulullah), “Aku tidak memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat dan menolak mudarat buat diriku kecuali apa yang telah dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Jika aku mengetahui yang gaib, niscaya aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak akan menimpaku kejelekan sedikit pun. Sesungguhnya aku hanya pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang yang beriman.” (al-A’raf: 188)
Katakan (wahai Rasul Allah), “Aku tidak memiliki kemampuan untuk menolak malapetaka dan memberikan petunjuk buat kalian.”
Dan katakanlah, “Tidak ada seorang pun yang akan melindungiku dari (azab) Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada seorang pun selain Allah subhanahu wa ta’ala tempat aku berlindung.
Dan tiadalah aku kecuali sebatas penyampai dari Allah subhanahu wa ta’ala dan risalah-risalah-Nya.” (al-Jin: 21—23)
Bertabarruk dengan peninggalan orang saleh adalah tindakan ghuluw (berlebihan) dalam agama yang tercela, demikian kata asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah.
Bolehkah Bertabarruk dengan Peninggalan Orang Saleh?
Bertabarruk ialah mencari keberkahan yang disegerakan dalam kehidupan dunia. (at-Tawassul hlm. 143)
Jejak (peninggalan) orang saleh maksudnya adalah segala bentuk bekas dan peninggalan (petilasan)-nya seperti bekas makan minum, pakaian, rambut, serban, sajadah, tongkat, sandal, tempat yang pernah dilalui, tempat yang pernah didatangi, tempat shalat, tempat duduknya, dan sebagainya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata ketika mengkritisi ucapan sebagian pensyarah hadits bahwa tidak mengapa bertabarruk dengan peninggalan orang saleh, “Ini adalah kesalahan yang sangat jelas, yang tidak disetujui oleh ahli ilmu dan ahlul haq.
Sebab, pembolehan itu tidak terjadi kecuali pada hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara Abu Bakr, Umar, pemilik dua cahaya Utsman, Ali; serta selain mereka dari sepuluh yang telah mendapatkan jaminan masuk surga, para ahli Badr, ahli Bai’at Ridhwan, tidak ada seorang salaf melakukan tabarruk kepada salah seorang dari mereka…
Mereka melakukan demikian hanya terhadap Nabi, dan ini menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (at-Tauhid al-Kamil, hlm. 83)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Tabarruk dengan peninggalan orang saleh tidak diperbolehkan. Hal itu hanya boleh dilakukan pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kekhususan yang diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada dirinya dan segala peninggalannya yang penuh berkah.
Adapun selain beliau tidak boleh dikiaskan dengannya karena dua sisi.
1) Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakannya kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jika hal itu adalah kebaikan niscaya mereka akan mendahului kita untuk melaksanakannya.
2) Menutup pintu-pintu yang akan mengantarkan kepada kesyirikan. Jika boleh bertabarruk kepada orang saleh, niscaya akan mengantarkan kepada sikap berlebihan pada mereka dan menjatuhkan dalam peribadahan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Wajib bagi kita menjauhinya.”
Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi rahimahullah berkata, “Bertabarruk dengan peninggalan orang saleh tidaklah disyariatkan di dalam Islam. Hal tersebut hanya boleh dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peninggalan beliau, karena tidak adanya dalil yang membolehkan hal itu bisa dilakukan kepada selain beliau.” (Fatawa Syaikh Abdurrazzaq, 1/118)
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Adapun apa yang dipahami oleh sebagian ulama belakangan bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan orang saleh, hal itu terlarang dari banyak sisi.
Pertama, generasi pertama umat ini dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya kepada selain beliau baik di saat beliau masih hidup atau setelah beliau meninggal dunia. Jika hal itu adalah amalan baik, niscaya mereka akan mendahului kita.
Orang yang paling utama di antara sahabat adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan persaksian di antara mereka dengan surga dan tidak ada seorang sahabat dan tabi’in yang melakukan hal itu kepada para tokoh tersebut. Tidak pula pernah dilakukan oleh salah seorang tabi’in pada tokoh-tokoh ilmu dan agama padahal mereka adalah teladan. Tidak boleh dikiaskan kepada beliau siapa pun dari umat ini dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kekhususan yang sangat banyak di masa hidupnya dan tidak ada yang berhak mendapatkannya.
Kedua, melarang bertabarruk dengan jejak-jejak mereka adalah usaha menutup pintu yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan.”
An-Nawawi rahimahullah dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah keliru dalam hal tabarruk ini. Keduanya membolehkan bertabarruk dengan bekas-bekas orang saleh. Hal ini sebagaimana dalam tulisan an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, seperti pada (1/244); dan tulisan Ibnu Hajar, Fathul Bari syarah Shahih al-Bukhari seperti pada (1/569).
Keyakinan beliau berdua telah mendapatkan kritikan dari ulama-ulama sunnah setelah beliau. Masalah ini termasuk dari sekian kesalahan-kesalahan kedua imam tersebut.
Demikianlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, “Menjelaskan dan mengkritisi siapa pun yang melakukan kesalahan tanpa melihat orang yang melakukan kesalahan tersebut.”
Menjelaskan kesalahan merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk menasihati umat dan melindungi agama Allah subhanahu wa ta’ala serta menegur orang yang melakukan kesalahan tersebut.
Jika bertabarruk kepada jejak-jejak orang saleh tidak diperbolehkan, lalu bagaimana memahami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Keberkahan itu bersama orang-orang besar di antara kalian.”
Jawabannya, keberkahan didapat dengan mengambil bimbingan dan fatwa-fatwa mereka lebih-lebih saat badai fitnah melanda, duduk dalam majelis ilmu mereka, mengambil manfaat dari ilmu mereka, dan sebagainya.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah mengatakan ketika membantah manhaj Haddadiyah, “Ulama kita, alhamdulillah, adalah tempat rujukan dalam masalah ini. Kita tidak keluar dari mereka dan tidak lari kepada selain mereka. Mereka, alhamdulillah, selalu menjelaskan semuanya ini dengan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kita senantiasa mengikatkan diri dengan mereka. Bersama mereka ada keberkahan, sebagaimana telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Keberkahan itu bersama kibar ulama kalian’.” (Bantahan asy-Syaikh Rabi’ terhadap Abdul Lathif Basymil, hlm. 170)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman