Kondisi umat Islam yang berpecah memang memunculkan keprihatinan. Dari sejumlah tokoh Islam, sering muncul ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama yaitu memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana caranya?
Persatuan dan perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. Persatuan identik dengan keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan perkumpulan. Sedangkan perpecahan identik dengan perselisihan, permusuhan, pertentangan, dan perceraian.
Persatuan merupakan perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan perpecahan merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam, red.) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu serta berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh oleh seluruh kaum muslimin, yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya yang benar ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bahwasanya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (al-An’am: 153)
Allah subhanahu wa ta’ala pun telah melarang umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perpecahan dan perselisihan pendapat, karena hal itu merupakan sebab terbesar dari kegagalan dan merupakan kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala,
“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu, ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’. Amat berat bagi orang musyrik agama yang kalian seru mereka kepada-Nya.” (asy-Syura: 13)
[Majmu’ Fataawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hlm. 176]
Asas dan Hakikat Persatuan
Asas bagi persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukanlah kesukuan, organisasi, kelompok, daerah, partai, dan lain sebagainya. Akan tetapi, asasnya adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas al-Qur’an dan as-Sunnah secara keyakinan dan amalan, itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari perselisihan…” (Tafsir al-Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi para sahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu, siapa saja yang lebih kuat dalam mengikuti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnahnya, serta jejak para sahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya, akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali (agama) Allah subhanahu wa ta’ala, serta lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah; serta siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jejak para sahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan lebih terjerumus ke dalam fitnah.” (Minhajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu, walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan, dan semacamnya, namun dengan syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya dan berada di atas satu manhaj”, berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat (as-Salafush Shalih), maka ia tetap dinyatakan dalam koridor persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Tidak masalah jika mereka berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu kelompok di Ib dan satu kelompok di Shan’a, tetapi semuanya berada di atas manhaj salaf, mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan ber-intisab kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah, tanpa ada sikap fanatik terhadap kelompoknya. Hal ini tidak mengapa, walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu jalan (manhaj).” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hlm. 15)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Bila kita nilai, yang di negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas manhaj ini (manhaj salaf, pen.), maka tidaklah termasuk kelompok-kelompok perpecahan. Sungguh, ia adalah satu jamaah, manhajnya satu, dan jalannya pun satu. Jadi, terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan pemikiran, akidah, dan manhaj. Akan tetapi, semata perbedaan letak/tempat di negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hlm. 180)
Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa bila suatu persatuan berasaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat (as-Salafush Shalih) maka itulah sesungguhnya hakikat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh tempat.
Bahaya Perpecahan
Apabila kita telah mengetahui bahwa hakikat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah yang berasaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih, maka bagaimana dengan firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di masyarakat kaum muslimin, yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan aturan kelompoknya, saling berbangga satu sama lain, loyalitasnya dibangun di atas kungkungan ikatan kelompok, apakah hal ini sebagai embrio persatuan umat ataukah wujud perpecahan umat?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan jamaah di masyarakat kaum muslimin merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan dan musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 5/204, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hlm. 177)
Beliau juga berkata, “Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, atau demikian dan demikian, kami tidak menasihatkannya, ini salah! Akan tetapi, kami nasihatkan mereka semua agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, hlm. 15)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Tidaklah asing bagi setiap muslim yang memahami al-Qur’an dan as-Sunnah serta manhaj as-Salafush Shalih, bahwasanya bergolong-golongan bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang dilarang oleh Allah ‘azza wa jalla dalam banyak ayat al-Qur’anul Karim. Di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 31—32) [Fatawa asy-Syaikh al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hlm. 106, dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hlm. 178]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dan tidak diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok ini menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan menyelisihi apa yang selalu diimbau dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.” (al-Mu’minun: 52)
Lebih-lebih tatkala kita melihat akibat dari perpecahan dan bergolong-golongan ini, yang tiap-tiap golongan memvonis yang lainnya dengan kejelekan, celaan, dan kefasikan, bahkan bisa lebih dari itu. Oleh karena itu, saya memandang bahwa bergolong-golongan ini merupakan perbuatan yang salah.” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, hlm. 16)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Agama kita adalah agama persatuan, dan perpecahan bukanlah dari agama. Maka dari itu, berbilangnya jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran agama, karena agama memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.” (Muraja’at fi Fiqhil Waqi’ as-Siyasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin Muhammad ar-Rifa’i rahimahullah, hlm. 44—45)
Beliau juga berkata, “Hanya saja akhir-akhir ini, muncul kelompok-kelompok yang disandarkan kepada dakwah dan bergerak di bawah kepemimpinan yang khusus. Masing-masing membuat manhaj tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan, dan pertentangan di antara mereka. Tentunya ini dibenci oleh agama serta terlarang oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at)
Bukankah mereka juga berpegang dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Demikian terkadang letupan hati berbunyi.
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi berkata, “Jika benar apa yang dinyatakan oleh kelompok-kelompok yang amat banyak ini bahwa mereka berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, niscaya mereka tidak akan berpecah-belah, karena kebenaran itu hanya satu. Berbilangnya mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan di antara mereka. Suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing kelompok berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan permusuhan.” (an-Nashrul Azis ‘Ala ar-Raddil Waziz, karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, hlm. 46)
Pertanyaan Penting
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Berkunjung untuk mendamaikan di antara mereka, mengajak dan mengarahkan kepada kebaikan serta menasihati mereka, dengan tetap berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidaklah mengapa. Adapun menjadi anggota mereka, tidak diperbolehkan. Jika mengunjungi Ikhwanul Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasihati mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala seraya berkata, ‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian (menerima) al-Qur’an dan as-Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya, bergabunglah kalian bersama orang-orang yang baik, tinggalkanlah perpecahan dan perselisihan’, maka ini adalah nasihat yang baik.” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, hlm. 15—16)
Nasihat dan Ajakan
Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah al-Jabiri berkata, “Tidak ada solusi dari perpecahan, tercabik-cabiknya kekuatan, dan rapuhnya barisan kecuali dengan dua perkara,
Tidaklah ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa. Dia adalah al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen.) dan ath-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pen.).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab, dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati dan wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar…’.” (Tanbih Dzawil ‘Uqulis Salimah ila Fawaida Mustanbathah minas Sittatil Ushulil ‘Azhimah, hlm. 24)
Sungguh benar apa yang dinasihatkan oleh asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah al-Jabiri, karena as-Salafiyyah tidaklah sama dengan kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu, daerah tertentu, atau pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit.
Bahkan, as-Salafiyyah dibangun di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman as-Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun dipisahkan oleh tempat dan waktu…
Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj. Manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita semua dari perpecahan, dan menyatukan kita semua di atas persatuan hakiki yang berasaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Amin ya Mujibas Sa’ilin.
ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi