Jin memang diakui keberadaannya oleh syariat. Sayangnya, sebagian orang menyikapi dan berinteraksi dengan bumbu klenik-mistik. Bahkan, belakangan, tema jin dan alam gaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai media.
Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan hangat di bursa obrolan. Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya. Terlebih ketika mereka sering disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam gaib. Lebih parah lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistis yang menyesatkan dan membahayakan akidah. Padahal alam gaib, jin, dan sebagainya, merupakan perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.
Pembahasan topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai guru kami, Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah mengatakan, “Apabila ada seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya terhadap Bani Adam.”
Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Di antara mereka ada yang saleh dan ada yang rusak lagi jahat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka,
وَأَنَّا مِنَّا ٱلصَّٰلِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَٰلِكَۖ كُنَّا طَرَآئِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (al-Jin: 11)
Dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا مِنَّا ٱلۡمُسۡلِمُونَ وَمِنَّا ٱلۡقَٰسِطُونَۖ فَمَنۡ أَسۡلَمَ فَأُوْلَٰٓئِكَ تَحَرَّوۡاْ رَشَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (al-Jin: 14)
Di antara mereka ada yang kafir, jahat, dan perusak. Ada yang bodoh, ada yang sunni, ada golongan Syiah, dan ada golongan Sufi.
Diriwayatkan dari al-A’masy, beliau berkata,
“Jin pernah datang menemuiku. Lalu aku bertanya, ‘Makanan apa yang kalian sukai?’
Dia menjawab, ‘Nasi.’
Lantas kubawakan nasi untuknya. Aku lalu melihat sesuap nasi diangkat, padahal aku tidak melihat siapa-siapa. Kemudian, aku bertanya, ‘Adakah di tengah-tengah kalian para pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’
Dia menjawab, ‘Ya.’
‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku.
Dia menjawab, ‘Merekalah yang paling jelek di antara kami’.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru kami, al-Hafizh Abul Hajjaj al-Mizzi. Beliau mengatakan, ‘Sanad riwayat ini sahih sampai kepada al-A’masy’.” (Tafsir al-Qur`an al-’Azhim, 4/451)
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Ia merupakan salah satu kewajiban yang paling penting yang diemban oleh kaum muslimin secara umum dan para ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul. Mereka merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan para ulama untuk menerangkan kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Penjelasan itu dapat mengeluarkan manusia dari gelapnya kebodohan dan mendorong mereka untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan perintah Allah.
Dakwah yang diemban oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah dakwah yang universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu. Beliau berdakwah kepada seluruh manusia. Bahkan, kaum jin pun menjadi salah satu sasaran dakwahnya.
Al-Qur’an mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin mendengarkan Al-Qur’an, sebagaimana dalam surah al-Ahqaf: 29—32.
Kemudian, Allah menyuruh Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberitahukan hal itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ ٱسۡتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَقَالُوٓاْ إِنَّا سَمِعۡنَا قُرۡءَانًا عَجَبً
Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya, kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (al-Jin: 1)
Baca juga: Rambu-Rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan Al-Qur’an
Tujuannya adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam diutus kepada segenap manusia dan jin. Di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk bagi manusia dan jin. Al-Qur’an juga menyebutkan kewajiban manusia dan jin, yakni beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir. Demikian pula taat kepada Rasul-Nya dan larangan melakukan kesyirikan dengan jin.
Karena jin adalah makhluk hidup, berakal, dan dibebani perintah dan larangan, mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun diutus kepada mereka, seorang muslim wajib memberlakukan di tengah-tengah mereka (kalangan jin) seperti yang berlaku di tengah-tengah manusia, yaitu amar makruf nahi mungkar dan berdakwah. Demikian pula seperti yang telah diserukan dan dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka. Apabila mereka menyakiti, hadapilah serangannya seperti saat membendung serangan manusia. (Idhahu ad-Dilalah fi ‘Umumi ar-Risalah, hlm. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami seluk-beluk alam jin, kehidupan mereka, dan bergaul langsung dengan mereka. Semua ini tidak diperintahkan. Sebab, mengadakan majelis-majelis taklim dan kegiatan dakwah lainnya di tengah-tengah manusia berarti juga telah mendakwahi mereka kaum jin.
Baca juga: Bekal Dai Ketika Berdakwah
Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah berkata, “Bisa jadi, ada sebagian orang mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini sangkaan yang keliru. Padahal, tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk menghadirinya, kecuali di antara mereka ada yang mengganggu dan ada setan-setan. Maka dari itu, kita katakan,
وَقُل رَّبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنۡ هَمَزَٰتِ ٱلشَّيَٰطِينِ ٩٧ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَن يَحۡضُرُونِ ٩٨
“Ya Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu, ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (al-Mu’minun: 97—98) (Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Apakah dari kalangan jin ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia?
Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰمَعۡشَرَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ رُسُلٌ مِّنكُمۡ يَقُصُّونَ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِي وَيُنذِرُونَكُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَاۚ قَالُواْ شَهِدۡنَا عَلَىٰٓ أَنفُسِنَاۖ وَغَرَّتۡهُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَشَهِدُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَنَّهُمۡ كَانُواْ كَٰفِرِينَ
“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuan-mu dengan hari ini?” Mereka berkata, “Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.” Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. (al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Mereka juga berdalil dengan sebuah atsar (riwayat) dari adh-Dhahhak bin Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin.
Yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman. Namun, keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125)
Yang benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Pendapat inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya.
Baca juga: Kenabian dan Kerasulan Berakhir dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad
Adapun atsar dari Adh-Dhahhak diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121). Namun, di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid, yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah ar-Razi. Para ulama banyak membicarakannya.
Di antaranya, Imam al-Bukhari berkata tentangnya, “Fihi nazhar (perlu ditinjau kembali, red.).”
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah munkarul hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyar A’lam an-Nubala, 11/530)
Lebih lengkapnya, silakan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarh wat ta’dil.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti yang telah dinyatakan oleh para ulama salaf dan khalaf, seperti Mujahid, Ibnu Juraij, dan yang lainnya. Berdalil dengan ayat—yakni al-An’am: 130—perlu diteliti ulang karena masih terdapat kemungkinan, bukan sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Jadi, kalimat ‘dari golongan kamu sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 2/188)
Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan pernikahan untuk segenap hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (an-Nur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana manusia berketurunan dan anak keturunannya beranak-pinak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِي وَهُمۡ لَكُمۡ عَدُوٌّ
“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin ada yang berjenis laki-laki dan ada yang perempuan. Jadi, untuk mendapatkan keturunan, mereka pun menikah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَمۡ يَطۡمِثۡهُنَّ إِنسٌ قَبۡلَهُمۡ وَلَا جَآنٌّ
“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (ar-Rahman: 56)
Artha’ah ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Dhamrah bin Habib pernah ditanya, ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Mereka juga menikah. Jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Baca juga: Penggambaran Bidadari Surga dalam Al-Qur’an
Termasuk kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Bani Adam, Dia menjadikan untuk mereka suami atau istri dari jenis mereka sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجًا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحۡمَةًۚ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum: 21)
Pernikahan antara manusia dan manusia adalah hal yang wajar, lumrah, dan sesuai dengan tabiat karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara manusia dan jin, atau sebaliknya jin dan manusia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pernikahan antara manusia dan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun, kebanyakan ulama tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu ad-Dilalah hal. 16)[1]
Baca juga: Keistimewaan Pernikahan
Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah mengatakan,
“Para ulama telah berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan karya ad-Dimyari. Namun, menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang muslim menikahi jin wanita yang muslimah.
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجًا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya….” (ar-Rum: 21)
Maknanya, ini adalah anugerah yang terbesar, yaitu manusia yang jenis laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, sementara jin laki-laki menikah dengan jin perempuan.
Akan tetapi, jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang perempuan dari kalangan jin, kita tidak memiliki alasan secara syariat yang dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja, Imam Malik rahimahullah tidak menyukai apabila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil, lalu dia ditanya, ‘Siapa suamimu?’ Dia menjawab, ‘Suamiku dari jenis jin.’
Saya (Syaikh Muqbil) katakan, “Fenomena yang seperti ini sangat memungkinkan membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah apabila yang lemah meminta bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba kecukupan.
Namun, manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Karena itu, sangatlah jelek dan tercela apabila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain itu, apabila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, secara perlahan setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama Allah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka, jin-jin itu menambah ketakutan bagi mereka.” (al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata tentang ayat di atas,
“Ada sekelompok orang dari kalangan manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk Islam. Sementara itu, sekelompok manusia yang menyembahnya tidak mengetahui keislamannya. Mereka tetap menyembahnya sehingga Allah mencela mereka.” (Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 24)
Baca juga: Hinanya Sesembahan Kaum Musyrikin
Jin tidak mengetahui perkara yang gaib. Jin juga tidak punya kekuatan untuk memberikan kemudaratan, tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا قَضَيۡنَا عَلَيۡهِ ٱلۡمَوۡتَ مَا دَلَّهُمۡ عَلَىٰ مَوۡتِهِۦٓ إِلَّا دَآبَّةُ ٱلۡأَرۡضِ تَأۡكُلُ مِنسَأَتَهُۥۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلۡجِنُّ أَن لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٱلۡغَيۡبَ مَا لَبِثُواْ فِي ٱلۡعَذَابِ ٱلۡمُهِينِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka, tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudarat atau memindahkannya. Ia juga tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang. Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لَهُۥ عَلَيۡهِم مِّن سُلۡطَٰنٍ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يُؤۡمِنُ بِٱلۡأٓخِرَةِ مِمَّنۡ هُوَ مِنۡهَا فِي شَكٍّۗ وَرَبُّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَفِيظٌ ٢١ قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَمۡلِكُونَ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا لَهُمۡ فِيهِمَا مِن شِرۡكٍ وَمَا لَهُۥ مِنۡهُم مِّن ظَهِيرٍ ٢٢
Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu. Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sembahan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi. Dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba: 21—22)
Secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun ijmak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٌ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 36)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِي اللهُ مِنْهُ، وَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، حَتَّى تُصْبِحُوا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي. فَرَدَّهُ خَاسِئًا
“Sesungguhnya, setan menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun, Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Aku pun membiarkannya. Sebenarnya, aku ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid hingga pada pagi harinya kalian dapat menontonnya. Namun, aku teringat perkataan saudaraku, Sulaiman, ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku’. Allah pun mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR. al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 541 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Tidak Bisa Melayani Suami karena Gangguan Jin
Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang mendirikan shalat. Kemudian, setan mendatangi beliau. Beliau lantas memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda,
“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur di antara dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82—83 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)
Diriwayatkan dari Utsman bin Abil Ash radhiallahu anhu, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلاَتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku serta bacaanku.”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Itulah setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, berlindunglah kepada Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali.”
Aku pun melakukannya, dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul Ala)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia. Orang sekarang menyebutnya dengan kesurupan atau kerasukan.
Baca juga: Kesurupan dalam Timbangan Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Keberadaan jin adalah perkara yang benar menurut Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan kesepakatan salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah perkara yang benar menurut kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسُِّۚ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (al-Baqarah: 275)
Dalam hadits yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada dalil-dalil syariat yang menolaknya.” (Majmu’ al-Fatawa, 24/276—277, dinukil dari tulisan Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga secara panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/66—69)
Mereka adalah musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal yang bisa diraba pancaindra.
Mereka mengingkari keberadaan jin. Secara otomatis, mereka pun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh manusia.
Mereka mengakui adanya jin, tetapi menolak masuknya jin ke dalam tubuh manusia.
Dia mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin. Dia menganggap bahwa hal itu hanyalah sesuatu yang direkayasa. (lihat Idhahul Haq fi Dukhulil Jinni fil Insi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah)
Dalam surat kabar an-Nadwah tanggal 14/10/1407 H, dia menyatakan bahwa, “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
Dalam harian Pikiran Rakyat edisi 5 September 2005, Persis mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai berikut: “Poin 7 … Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah batil. Hal itu terlahir dari sedikitnya ilmu tentang perkara-perkara syariat dan ketetapan para ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Baca juga: Siapakah Ahlus Sunnah?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata,
“Aku pernah berkata pada ayahku, ‘Ada sekumpulan orang yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke tubuh manusia yang kerasukan.’
Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, tidak benar. Mereka itu berdusta. Bahkan, jin dapat berbicara melalui lidahnya’.” (Idhahu ad-Dilalah, lihat Majmu’ al-Fatawa, 19/10)
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (al-Baqarah: 275)
“Maksudnya, orang-orang yang menjalankan praktik riba ketika di dunia, pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia. Orang itu seakan-akan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, 3/96)
“Ayat ini adalah argumen yang mementahkan pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin, menganggap bahwa yang terjadi hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia, dan setan sama sekali tidak dapat merasuki manusia.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/355)
“Maknanya, mereka tidak akan bangkit dari kuburnya pada hari kiamat kecuali seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat setan itu merasukinya.” (Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 1/359)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa masuknya jin dalam tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu, dan rasa cinta kepada manusia. Ini sebagaimana yang terjadi dia antara manusia satu sama lain. Terkadang, atau bahkan mayoritas, karena dendam dan kemarahan atas perbuatan sebagian manusia, seperti buang air kecil, menuangkan air panas yang mengenai sebagian mereka, dan membunuh sebagian mereka meskipun manusia tidak mengetahuinya.
Kalangan jin juga banyak melakukan kezaliman. Mereka banyak pula yang bodoh. Karena itu, mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke dalam tubuh manusia terkadang karena keisengan sebagian jin dan tindakan jahat yang dilakukannya. (Idhahu ad-Dilalah fi ‘Umumi ar-Risalah, hlm. 16)
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
“Orang yang melawan permusuhan jin dengan cara yang adil sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya, dia tidak menzalimi jin. Dia justru taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong orang yang terzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang sesuai dengan syariat, tidak mengandung syirik dan kezaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini, jin tidak akan mengganggunya. Bisa jadi, karena jin tahu bahwa dia orang yang adil atau karena jin tidak mampu mengganggunya.
Akan tetapi, apabila jin itu dari kalangan yang sangat jahat, bisa jadi tetap akan mengganggunya, hanya saja jin itu lemah. Untuk yang seperti ini, semestinya seseorang melindungi diri dengan membaca Ayat Kursi, al-Falaq, an-Nas (atau bacaan lain yang semakna, -ed.), shalat, berdoa, dan semacamnya, yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa ….” (Idhahu ad-Dilalah, hlm. 138)
Pembaca, demikian beberapa hal yang dapat kami paparkan. Mudah-mudahan dapat mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal ’ilmu ’indallah.
[1] Di antara ulama yang berpendapat hal itu terlarang adalah Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Saya tidak mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan jin. Justru yang bisa dijadikan pendukung dari zahir ayat adalah tidak bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin asy-Syibli dalam bukunya, Aakamul Mirjan, mengemukakan bahwa sekelompok tabiin membenci pernikahan jin dengan manusia. Di antara mereka adalah al-Hasan, Qatadah, az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, dan sejumlah ulama mazhab Hanafi.