(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Afifuddin)
Bila kita melihat sepintas kepada aktivitas dakwah Islam yang ada, akan nampak adanya kegairahan yang demikian tinggi melanda para aktivis dakwah dengan sebuah tujuan yang tentu mulia: menegakkan agama Allah I. Saking bergairahnya, tak sedikit di antara mereka yang senantiasa melakukan inovasi dalam dakwah agar aktivitas dakwahnya diterima umat. Ada yang berdakwah lewat nyanyian, musik, lawakan, sinema elektronik (sinetron), cerita-cerita fiktif, dan seterusnya. Ada lagi yang lebih “serius”, di antaranya ada yang suka melakukan pengeboman di sana-sini, dakwah lewat parlemen, atau berseru kian kemari mengajak umat mendirikan Khilafah Islamiyyah. Mari kita timbang semua itu dengan pembahasan berikut ini.
Tidak syak (diragukan) lagi bahwa dakwah ilallah adalah amalan yang mulia lagi agung dalam agama ini. Namun realita umat Islam masa kini dalam mengarungi “samudra” dakwah sangatlah memilukan. Terlalu banyak penyimpangan terhadap rambu-rambu dakwah, segala cara dan upaya dilakukan tanpa kontrol, bahkan dengan terang-terangan mengedepankan slogan “Tujuan membolehkan segala macam wasilah (cara).” Slogan milik kelompok sempalan Ikhwanul Muslimin inilah yang kini marak di medan dakwah. Sungguh sangat ironis!!
Lalu bagaimana sesungguhnya konsep Salafus Shalih dalam berdakwah? Metode apa saja yang mereka gunakan?
Dakwah adalah Ibadah
Perlu diketahui bersama bahwa dakwah adalah amalan ibadah kepada Allah U, dengan beberapa argumentasi sebagai berikut:
1. Dakwah adalah tugas para Nabi dan Rasul
Para nabi dan rasul diutus oleh Allah I untuk mendakwahkan satu prinsip: “Beribadah hanya kepada Allah I tanpa berbuat syirik.” Allah I berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)
2. Dakwah adalah perintah Allah I kepada Rasulullah n. Allah I berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (An-Nahl: 125)
3. Dakwah adalah perintah Allah I kepada umat Islam dan tanda keberuntungan mereka. Allah I berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
4. Dakwah adalah jalan yang ditempuh Rasulullah n dan para pengikutnya. Allah I berfirman:
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” (Yusuf: 108)
5. Dakwah dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya untuk mengangkat umat Islam menjadi umat terbaik. Allah I berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
6. Para da’i ilallah adalah orang yang terbaik ucapannya. Allah I berfirman:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa dakwah adalah amalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah I, karena dakwah merupakan salah satu perintah-Nya, menjadi sunnah para Nabi dan Rasul serta para pengikutnya, dan ada keutamaan besar bagi orang yang melakukannya (da’i). Ini selaras dengan definisi ibadah yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t:
“(Ibadah adalah) sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah I baik ucapan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin.”
Ibadah Harus dengan Dua Syarat Asasi
Para ulama menyebutkan bahwa ibadah tidak akan diterima oleh Allah I melainkan harus memenuhi dua syarat asasi, yaitu:
1. Ikhlas
Allah I berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim dan yang lainnya, (semua) dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi dari Umar bin Al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya (sah tidaknya) amalan itu tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan (pahala amalnya) sesuai dengan niatnya.”
Hadits ini adalah barometer untuk menilai semua perkara batin dan niat, sementara ikhlas adalah martabat (posisi) tertentu pada niat.
2. Ittiba’ (Mengikuti) ar-Rasul n
Yaitu bahwa sebuah amalan harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah n. Allah I berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Bila tidak, maka amal tersebut pasti tertolak sebagai disebutkan di dalam hadits ‘Aisyah x yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami (tidak ada Sunnahnya) maka amalan tersebut tertolak (tidak diterima).”
Karena itu, di dalam berdakwah haruslah diniati dengan ikhlas karena Allah I semata. Jangan melakukan dakwah untuk kelompoknya (hizb-nya), partainya, atau untuk kepentingan diri sendiri. Dalam berdakwah harus pula sesuai dengan contoh dari Rasulullah n, baik dalam hal materi dakwah (apa dulu yang harus didakwahkan), tujuan, maupun konsep dan wasilah (cara) dakwah itu sendiri.
Cara Dakwah adalah Tauqifiyyah
Dari dua prinsip di atas, yaitu prinsip dakwah adalah ibadah dan prinsip ibadah harus disertai rasa ikhlas dan mengikuti Sunnah Rasulullah n, para ulama menyata-kan bahwa wasilah (cara) dakwah adalah tauqifiyyah yakni harus dengan contoh dari Rasulullah n dan para shahabatnya. Tidak boleh bagi siapapun untuk mem-buat wasilah dakwah sesuai dengan hawa nafsunya, sesuai dengan hizb, golong-an, partainya, atau masyarakat tempat ia berada.
Prinsip di atas akan semakin gamblang bila ditambah argumentasi-argumentasi berikut:
a. Allah I telah menyempurnakan agama ini, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)
Maka segala permasalahan yang berkaitan dengan agama dan keduniaan yang dibutuhkan oleh umat manusia, semua telah dibahas dalam agama ini, baik secara nash Al-Quran dan As-Sunnah maupun dalil-dalil umum, yang merupakan suatu kaidah yang mencakup beragam permasalahan baik masalah akidah, tauhid, ibadah, dakwah, akhlak, maupun muamalah.
Sehingga kaum muslimin pada khususnya tidak perlu lagi ideologi-ideologi Dajjal dari Barat dan Timur dalam urusan agama dan dunia mereka. Wallahul muwaffiq.
b. Allah I telah mewajibkan kepada umat manusia dan kaum muslimin pada khususnya untuk menaati Rasu-lullah n dan mengaitkan kebahagiaan seseorang dengan sikap taat pada Rasulullah n tersebut. Seba-liknya, Allah I melarang manusia untuk bermaksiat kepada beliau n dan mengaitkan sikap tersebut dengan keseng-saraan bagi orang yang melakukannya.
Banyak ayat yang menerangkan tentang prinsip agung ini, di antaranya yaitu:
“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)
Dan firman-Nya:
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Jin: 23)
Maka, konsekuensi dari ketaatan ini adalah kita menaati dan mengamalkan Sunnah-sunnah beliau, termasuk di dalamnya Sunnah beliau di dalam berdakwah kepada Allah I.
c. Rasulullah n telah memerintahkan umat ini untuk mengerjakan segala kebaikan dan melarang dari setiap kejelekan, menghalalkan untuk mereka segala perkara yang thayyib (baik) dan melarang dari perkara yang khabits (jelek). Ini merupakan sifat kena-bian Rasulullah n, sebagaimana disebut-kan dalam firman Allah I:
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (Al-A’raf: 157)
Allah I juga berfirman tentang Nabi-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Di dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr c, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan menjadi kewajibannya untuk menunjuki umatnya segala kebaikan yang dia ketahui untuk mereka, dan melarang mereka dari segenap kejelekan yang dia ketahui untuk mereka.”
Bila tiga prinsip di atas telah dipahami, maka kita dengan mantap bisa memastikan bahwa Rasulullah n telah menjelaskan kepada umatnya wasilah-wasilah dakwah baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun keduanya. Bagaimana mungkin Rasulullah n dengan demikian jelas memaparkan kepada umatnya tentang adab-adab buang hajat, namun sama sekali tidak menyinggung masalah wasilah dakwah yang mana agama ini tidak tegak dan lurus tanpa amalan tersebut (dakwah)?
Penjelasan-penjelasan dan praktek beliau inilah yang harus dijadikan sebagai konsep baku secara syar’i dalam berdakwah dan memilih wasilah dakwah. Dengan cara inilah orang-orang yang menyimpang diluruskan, orang-orang yang bingung dalam beragama diberi bimbingan.
Cara inilah yang ditempuh Rasulullah n untuk mengeluarkan umat manusia dari kegelapan kekufuran, kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan menuju cahaya ilmu, tauhid, As-Sunnah, dan ketaatan kepada Allah I.
Jalan inilah yang ditempuh oleh para shahabat yang mulia, para tabi’in, dan para ulama Ahlus Sunnah sepanjang masa di manapun mereka berada. Bahkan mereka bersikap sangat keras dalam mengingkari siapa saja yang menyelisihi prinsip ini atau mengada-adakan cara baru dalam hal yang mulia ini.
Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan masyarakat yang Islami seperti yang pernah terjadi di masa shahabat melainkan dengan wasilah-wasilah syar’i dan upaya-upaya yang selaras dengan Manhaj Salaf. Hal ini sebagaimana pernah ditegaskan oleh Al-Imam Malik t:
“Tidak ada (cara) yang bisa memperbaiki keadaan akhir umat ini kecuali dengan (cara) yang telah membuat baik generasi awal (umat ini).”
Menambah-nambahi prinsip syar’i di atas dengan wasilah-wasilah baru (baca: bid’ah) yang tidak ada contohnya dari Rasulullah n berarti berupaya untuk menambahi syariat Islam yang telah sempurna dan ini merupakan tindakan yang keluar dari jalan kaum mukminin. Allah I dalam firman-Nya memberi ancaman:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Amalan ini sia-sia lagi tertolak, sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain, hadits dari ‘Aisyah x bahwa Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam agama ini perkara yang bukan bagian darinya (dari agama), maka amalan tersebut tertolak.”
Ringkas kata, dakwah ilallah terdiri dari dua unsur, yaitu tujuan (ghayah)