Menegakkan keadilan dan kejujuran dalam pergaulan sesama manusia merupakan bagian terpenting yang diseru oleh agama Islam ini. Keadilan dan kejujuran adalah fondasi kokoh langgengnya sebuah peradaban, sebagaimana kezaliman adalah faktor utama terpuruknya umat, hancurnya peradaban, lenyapnya ketenangan, dan datangnya kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتِلۡكَ ٱلۡقُرَىٰٓ أَهۡلَكۡنَٰهُمۡ لَمَّا ظَلَمُواْ وَجَعَلۡنَا لِمَهۡلِكِهِم مَّوۡعِدًا
“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (al-Kahfi: 59)
Kezaliman, dalam bentuk apa pun, kesudahannya sangatlah mengerikan. Andaikan suatu gunung berbuat zalim kepada gunung yang lain, niscaya gunung yang zalim itu akan dihancurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah atsar sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, seperti yang disebutkan dalam Shahih al-Adab al-Mufrad, no. 457.
Gunung yang tersusun dari bebatuan besar dan keras saja akan dihancurkan jika berlaku aniaya, lantas bagaimana kiranya dengan manusia yang lemah ini?
Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat
Salah satu contoh kezaliman yang bisa meretakkan sendi-sendi kehidupan adalah berbuat curang dalam menakar, menimbang, mengukur, dan yang sejenisnya.
Kalau kezaliman tersebut dilakukan oleh orang kafir, mungkin masih “bisa dipahami”; karena ketidakpercayaan mereka dengan Hari Pembalasan, menjadi sebab terbesar terjerumusnya mereka ke dalam kejahatan tersebut.
Akan tetapi, alangkah memilukannya apabila kecurangan itu dilakukan oleh seorang yang mengaku muslim. Apakah dia belum tahu bahwa salah satu sebab binasanya kaum Nabi Syuaib alaihis salam adalah kecurangan mereka dalam menakar dan menimbang?! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِلَىٰ مَدۡيَنَ أَخَاهُمۡ شُعَيۡبًاۚ قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥۖ قَدۡ جَآءَتۡكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمۡۖ فَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ وَلَا تَبۡخَسُواْ ٱلنَّاسَ أَشۡيَآءَهُمۡ وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَاۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٌ لَّكُمۡ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus) Syuaib, saudara mereka sendiri. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah. Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Rabbmu. Sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan jangan kamu merugikan manusia sedikit pun. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang beriman.’” (al-A’raf: 85)
Baca juga: Kisah Nabi Syuaib
Ternyata, peringatan Nabi Syuaib alaihis salam tidak mereka hiraukan. Bahkan, mereka terus-menerus melakukan perbuatan jahat mereka, hingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan azab-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan azab yang ditimpakan kepada mereka, sebagaimana firman-Nya,
فَأَخَذَتۡهُمُ ٱلرَّجۡفَةُ فَأَصۡبَحُواْ فِي دَارِهِمۡ جَٰثِمِينَ
“Lalu datanglah gempa menimpa mereka, dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka.” (al-A’raf: 91)
Kehancuran kaum Nabi Syuaib alaihis salam memang telah berlalu. Namun, disebutkannya kisah mereka dalam Al-Qur’an, adalah agar orang-orang yang setelah mereka bisa mengambil pelajaran.
Secara umum dan dalam bentuk apa pun, seseorang diharamkan untuk melenyapkan dan merampas harta orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Harta seorang muslim tidaklah halal (untuk diambil), kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Bahkan, di saat perkumpulan akbar, ketika Haji Wada’ (perpisahan), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khotbah di hadapan puluhan ribu manusia, yang di antara isinya adalah haramnya menumpahkan darah kaum muslimin dan merampas harta mereka, sebagaimana haramnya (sucinya) hari Arafah, di bulan Dzulhijjah, dan di Tanah Suci Makkah. (Lihat Shahih Muslim, no. 1218)
Baca juga: Menjaga Kesucian Darah Harta dan Kehormatan Sesama Muslim
Pesan-pesan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam khotbah di Arafah tergolong wasiat beliau yang terakhir. Tidak lebih dari empat bulan setelah itu beliau meninggal dunia.
Termasuk konsekuensi keimanan adalah seseorang menginginkan kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia menginginkan kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri. Seseorang belumlah dikatakan sebagai muslim sejati jika muslim lainnya belum bisa terhindar dari kejahatan lisan dan tangannya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah membukakan banyak pintu usaha yang halal bagi para hamba-Nya agar mereka bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Hanya orang-orang jahatlah yang menganggap bahwa usaha yang halal belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Oleh karena itu, mereka tidak pernah memedulikan cara apa yang mereka tempuh untuk memperoleh harta. Lantas, apa gunanya kekayaan yang menumpuk apabila akhirnya ia masuk neraka?
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِينَ ١ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ ٢ وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ ٣
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” (al-Muthaffifin: 1—3)
Wahai para pedagang! Wahai orang-orang yang melaksanakan akad jual-beli!
Perhatikan dan renungkan ayat-ayat tersebut agar Anda mengetahui bahwa apabila Anda berbuat curang dalam menakar, menimbang, mengukur, dan semisalnya; kecelakaan hidup akan selalu menyertai Anda.
Baca juga: Adab Jual Beli
Janganlah Anda merelakan diri Anda untuk dimasukkan ke dalam dahsyatnya azab neraka, demi secuil kesenangan dunia yang hanya sebentar ini. Demi Allah, masih banyak rezeki Allah subhanahu wa ta’ala yang bertebaran dan belum digali.
Bersabarlah meniti usaha yang jujur dan mohonlah berkah-Nya selalu. Andaikan Anda belum mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, janganlah bersedih hati. Biarpun sedikit tetapi diberkahi Allah subhanahu wa ta’ala, itu jauh lebih mulia daripada mendapat banyak harta yang kesudahannya adalah kehancuran.
Jika Anda tetap ingin tergolong sebagai umat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, buanglah jauh-jauh keinginan Anda untuk berbuat curang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa menipu, dia tidak termasuk golongan kami.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)
Baca juga: Sikap-Sikap Baik dalam Bermuamalah
Ingatlah selalu bahwa jika daging Anda tumbuh dari sesuatu yang haram, pakaian dan minuman Anda pun didapatkan dengan cara yang haram; doa dan permohonan Anda akan sangat jauh kemungkinannya untuk dikabulkan.
Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menyelisihi janji-Nya untuk mengabulkan permohonan para hamba-Nya. Namun, syarat dan adab berdoa tetaplah harus terpenuhi.
Ada beberapa faktor yang mendorong seorang untuk berani berbuat curang, di antaranya:
Di mata orang yang rakus, jalan yang terang akan menjadi gelap. Yang dia pikirkan hanyalah cara agar hasratnya bisa terpenuhi. Dia tak lagi berbelas kasih kepada orang lain. Agamanya sendiri pun ia korbankan.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Kerusakan yang diakibatkan oleh dua serigala lapar yang dilepas pada (kawanan) kambing, tidaklah lebih besar daripada (kerusakan yang ditimbulkan) seseorang yang berambisi terhadap harta dan kedudukan, dalam merusak agamanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan celaan terhadap orang-orang yang berlaku curang dalam menakar dan menimbang, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan pula hal yang mendorong mereka melakukan hal tersebut, sebagaimana firman-Nya,
أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٍ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦
“Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam?” (al-Muthaffifin: 4—6)
Ternyata, yang membuat mereka berani melakukan kecurangan adalah ketidakpercayaan mereka terhadap Hari Akhir. Padahal, seandainya mereka mengimaninya dan mengetahui bahwa mereka akan berdiri di hadapan-Nya—Dzat yang akan menghitung seluruh perbuatannya, baik sedikit maupun banyak, niscaya ia akan menghentikan perbuatannya dan bertobat. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Baca juga: Hisab, Pasti Terjadi
Jawaban apa yang akan ia kemukakan nanti di Hari Kiamat, saat seseorang ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala mengenai asal-usul hartanya? Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ، وَما ذَا عَمِلَ فِيْما عَلِمَ
“Kaki Bani Adam tidak akan bisa berpindah dari hadapan Rabbnya, pada Hari Kiamat, hingga ia ditanya tentang lima hal. Tentang umurnya, untuk apa ia habiskan? Tentang masa mudanya, untuk apa ia pergunakan? Tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan? Dan apa yang telah ia amalkan dari ilmunya?” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2416)
Segala kesesatan yang ada di muka bumi ini pada dasarnya berasal dari salah satu hal ini: kebodohan dan mengikuti hawa nafsu.
Oleh karena itu, tugas para ulama dan dai untuk menyadarkan manusia dari setiap penyimpangan, merupakan tugas yang sangat besar. Sungguh, media untuk memberikan bimbingan keagamaan sangatlah luas; bisa berupa tulisan, ceramah, dan yang semisalnya.
Baca juga: Menepis Godaan Syubhat dan Syahwat
Apabila mereka gencar memberikan bimbingan, kebaikan akan kian tersebar dan kejelekan akan meredup. Ini merupakan tugas mulia yang membuat umat ini meraih predikat sebagai umat terbaik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Berangkat dari keimanan yang mendalam serta rasa tanggung jawab yang besar terhadap umat, para ulama hendaknya selalu bersemangat untuk mengajak umat kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Inilah kewajiban yang dipikulkan oleh Allah di pundak mereka.
Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini adalah bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala untuk kaum mukminin agar ada segolongan orang dari mereka (para dai) yang terjun ke medan dakwah, untuk mengajak dan mengarahkan manusia menuju jalan-Nya.
Termasuk pula dalam kelompok ini, para ulama yang mengajarkan agama dan para juru nasihat yang mengajak pemeluk agama (selain Islam) untuk masuk ke dalam Islam.
Mereka mengajak manusia agar kembali kepada jalan yang lurus, berjihad di jalan Allah, terjun untuk mengawasi kondisi manusia, dan mengingatkan manusia agar senantiasa berpegang teguh dengan syariat agama Islam, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.
(Mereka juga terjun) memeriksa takaran dan timbangan, memantau para pedagang di pasar, serta mencegah mereka dari penipuan dan transaksi yang batil.” (Taisir al-Karimir Rahman)
Jika kewajiban ini diabaikan hingga kemungkaran merajalela, niscaya petaka akan menimpa setiap orang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا مُنْكَرًا فَلَمْ يُغَيِّرُوهُ يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابِهِ
“Sesungguhnya manusia, apabila ia melihat kemungkaran dan tidak mengubahnya, bisa jadi Allah akan segera menimpakan azab-Nya secara merata.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani)
Kekuasaan adalah amanah yang harus diemban, untuk mengatur kehidupan manusia agar selalu berada pada jalan yang lurus.
Menebarkan keadilan serta mewujudkan rasa aman dan nyaman pada rakyat, harta mereka, dan kehormatan mereka; adalah tanggung jawab pemerintah. Mereka (pemerintah) juga dituntut untuk menindak setiap pelaku kezaliman dan menutup setiap celah yang bisa mengganggu stabilitas masyarakat.
Pada suatu saat, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati setumpuk makanan. Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut. Ternyata, beliau mendapatkan bagian tengah makanan itu basah.
Beliau bertanya kepada penjual makanan tersebut, “Apa ini?”
“Terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawab si penjual.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas, agar orang-orang bisa melihatnya? Barang siapa menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Muslim)
Ketegasan penguasa dalam menindak para penipu dan para pelaku kecurangan, bisa menekan gelombang aksi penipuan.
Baca juga: Kisah Seguci Emas
Apabila di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja ada pedagang yang berusaha menipu pembeli demi meraih keuntungan, tentu hal tersebut sudah menjadi rahasia umum di zaman sekarang. Bahkan, kebanyakan pedagang melakukan praktik demikian.
Anda mendapati sebagian mereka meletakkan buah-buahan yang sudah busuk, di antara buah yang masih bagus dan segar, untuk mengelabui pembeli. Ada yang mencampur BBM dengan bahan lain demi meraup keuntungan berlipat. Ada yang timbangan dan takarannya dibuat berbeda, ada yang untuk membeli dan ada yang untuk menjual; dan masih banyak lagi contohnya.
Maka dari itu, pemerintah tidak boleh menganggap ringan masalah ini. Jika dibiarkan, krisis agama yang kian menyebar tak akan bisa mencegah krisis ekonomi yang semakin membuat negerinya terpuruk.
Wallahu a’lam.