Asysyariah
Asysyariah

berani mengakui kesalahan dan kembali kepada kebenaran

13 tahun yang lalu
baca 15 menit
Berani Mengakui Kesalahan dan Kembali Kepada Kebenaran

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٨٣

“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, “Negeri akhirat itu, telah dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab-kitab-Nya dan dikabarkan pula oleh para rasul-Nya. Surga adalah tempat tinggal yang di dalamnya terkumpul segala kenikmatan serta bebas dari segala kekotoran dan kesusahan.

Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersiapkan surga tersebut bagi hamba-hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, terlebih lagi melakukannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala, “dan (tidak pula) berbuat kerusakan” mencakup seluruh kemaksiatan.

Apabila mereka tidak memiliki keinginan untuk sombong dan melakukan kerusakan di muka bumi, konsekuensinya adalah keinginan mereka diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tujuan mereka adalah negeri akhirat. Keadaan mereka adalah tawadhu (merendahkan diri) terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, tunduk terhadap kebenaran, dan beramal saleh.”

Dari penjelasan asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah tersebut kita mendapatkan kesimpulan bahwa tawadhu itu ada dua macam: tawadhu (tunduk) terhadap kebenaran dan tawadhu (merendahkan diri) terhadap hamba-hamba-Nya.

 

Tawadhu terhadap Kebenaran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للهِ إَلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Tidaklah seseorang tawadhu (tunduk) kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakannya.”

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “(Makna tawadhu) adalah engkau tunduk terhadap kebenaran dan menaatinya, dari siapa pun kebenaran itu engkau dapatkan. Walaupun kebenaran itu dari orang yang paling bodoh sekalipun, kamu harus menerimanya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hlm. 226)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila seseorang menghadapi kebenaran dengan tunduk, taat, merendahkan diri, dan masuk di bawah perbudakannya, kebenaran itulah yang senantiasa menjadi pengaturnya, sebagaimana tuan mengatur budaknya. Hamba yang seperti inilah yang akan mendapatkan akhlak tawadhu.” (Madarijus Salikin, 2/346)

 

Tawadhu (Merendahkan Diri) terhadap Hamba-Hamba-Nya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu sehingga seseorang tidak merasa lebih mulia daripada yang lainnya dan tidak berbuat zalim terhadap orang lain.” (HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar radhiallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh merasa lebih tinggi dan lebih mulia daripada yang lainnya dalam hal ilmu, nasab, harta, kepemimpinan, dan sebagainya. Bahkan, seorang muslim wajib merendahkan diri terhadap saudara-saudaranya yang mukmin, sebagaimana akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sosok yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/257)

padi-merunduk

Beliau rahimahullah juga berkata, “Di antara kebiasaan baik yang dimiliki oleh as-salafush shalih rahimahumullah adalah menganggap orang yang lebih muda sebagai anak, yang lebih tua sebagai ayah, dan yang sebaya dengannya sebagai saudara dekat. Mereka melihat orang yang lebih tua dengan pandangan penghormatan dan pemuliaan, serta melihat orang yang lebih muda dengan pandangan kasih sayang.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/261—262)

Di antara penghalang terbesar yang menghalangi seseorang untuk bersikap tawadhu adalah sebagai berikut.

 

  1. Kesombongan

Inilah sifat Iblis–laknat Allah subhanahu wa ta’ala atasnya–yang menyeretnya untuk durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ ١٢

Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Orang yang sombong menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih mulia daripada orang lain. Akibatnya, dia merasa lebih senang, bangga, dan cenderung kepada pendapat yang dia yakini.” (at-Tabashshurah, 2/222)

Adapun pengikut kebenaran, mereka tawadhu dan curiga, jangan-jangan kesalahan itu ada pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, mereka gigih mencari kebenaran dan tidak enggan meneliti ulang pendapat-pendapatnya, terlebih lagi pada permasalahan yang rumit. (ash-Shawarif ‘anil Haq, hlm. 39)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau saja ahli bid’ah itu tawadhu terhadap Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh mereka akan mengikuti keduanya dan tidak akan mengadaadakan bid’ah. Akan tetapi, mereka merasa bangga dengan pendapat mereka sehingga justru mengikuti perkara yang diada-adakan.” (at-Tadzkirah fil Wa’zhi, hlm. 97)

ilalang 

  1. Kedengkian

Kedengkian[1] (hasad) merupakan perkara yang haram dan akhlak yang sangat tercela berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَٱعۡفُواْ وَٱصۡفَحُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ١٠٩

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 109)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تَحَاسَدُوا

“Janganlah kalian saling mendengki.”

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Oleh karena itu, engkau mendapati orang-orang Yahudi keras kepala dan terus-menerus di atas kebatilannya. Hal ini disebabkan oleh kesombongan, kedengkian, kekerasan hati, dan berbagai hawa nafsu yang ada di dalam hati mereka.” (Naqdhul Manthiq, hlm. 27)

Al-‘Allamah al-Mu’allimi rahimahullah berkata, “(Jika) kedengkian itu (ada di dalam hati seseorang), akibatnya apabila ada orang lain yang menjelaskan kebenaran, dia akan berpandangan bahwa dengan menerimanya berarti dia mengakui keutamaan, keilmuan, dan kebenaran orang tersebut, sehingga orang tersebut mulia di mata manusia dan bisa jadi orang yang mengikutinya akan bertambah banyak. Sungguh engkau akan mendapati kebanyakan orang yang berambisi untuk menyalahkan pendapat orang lain dari kalangan ulama walaupun dengan cara yang batil, adalah karena kedengkiannya terhadap mereka dan upayanya menjatuhkan kedudukan mereka di mata umat manusia.” (at-Tankil, 2/195)

 

  1. Membanggakan diri (ujub)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلَمَّا جَآءَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِ فَرِحُواْ بِمَا عِندَهُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ٨٣

“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keteranganketerangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” (Ghafir: 83)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ هَوًى مُتَّبَعًا وَشُحًّا مُطَاعًا وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِي رَأْيٍ بِرَأْيِهِ، فَعَلَيْكَ بِخَاصَّة ِنَفْسِكَ

“Apabila kamu melihat hawa nafsu diikuti, kerakusan ditaati, dan setiap orang yang memiliki pendapat merasa bangga dengan pendapatnya, wajib bagimu memerhatikan keselamatan dirimu.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Tsa’labah radhiallahu ‘anhu)

Hammad bin Ibrahim hafizhahullah berkata, “Sifat bangga diri akan membawa pemiliknya mengagungkan dirinya. Dia merasa sangat senang dengan apa saja yang dirinya berada di atasnya dan puas dengan apa yang dia miliki. Dia pun berpandangan bahwa kebenaran hanya akan muncul dari dirinya, seakanakan dialah penanggungjawabnya. Inilah sifat orang-orang kafir (sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas). Apabila seseorang telah bangga dengan dirinya dan puas dengan apa yang dia miliki, sungguh telah sempurna kerugian yang ada pada dirinya. Hal itu karena tidak mungkin dia mau melihat pendapat orang lain, lebih-lebih menerimanya, walaupun pendapat tersebut benar.” (ash-Shawarif, hlm. 95)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Tidakkah kamu melihat bahwa orang yang mengagungkan dirinya dengan cara yang batil itu akan senantiasa membela seluruh pendapatnya, walaupun pendapatnya salah?” (Majmu’ al-Fatawa, 10/292)

Beliau rahimahullah juga berkata, “Membanggakan diri termasuk perbuatan mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan dirinya. Inilah keadaan orang yang sombong. Orang yang beramal karena riya (ingin mendapatkan pujian) tidak mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (hanya kepada-Mulah kami menyembah). Adapun orang yang membanggakan dirinya tidak mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan).” (al-Fatawa al-Kubra, 5/247—248)

 

  1. Taklid

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِذۡ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُواْ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ ٱلۡعَذَابَ وَتَقَطَّعَتۡ بِهِمُ ٱلۡأَسۡبَابُ ١٦٦ وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ لَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةٗ فَنَتَبَرَّأَ مِنۡهُمۡ كَمَا تَبَرَّءُواْ مِنَّاۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡ حَسَرَٰتٍ عَلَيۡهِمۡۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ ١٦٧

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.

Dan orang-orang yang mengikuti berkata, “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka, amal perbuatannya menjadi penyesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (al-Baqarah: 166—167)

Orang yang taklid akan memegangi pendapat seorang alim secara mutlak dalam segala hal. Dengan bersikap seperti ini, tidak diragukan lagi bahwa tanpa dia sadari, dia telah memberikan derajat ma’shum (terjaga dari kesalahan) kepada orang alim tersebut. Tidak ada seorang pun yang pendapatnya benar secara mutlak melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kebenaran berkisar bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Pahala tergantung pada apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertolongan akan didapatkan oleh orang yang menolong beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kebahagiaan akan diraih oleh orang yang mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga shalawat Allah subhanahu wa ta’ala dan para malaikat-Nya terlimpahkan kepada orang-orang yang beriman kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang mengajarkan agamanya kepada umat manusia, karena kebenaran itu berkisar pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Minhajus Sunnah, 5/233)

Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Orang yang taklid akan ridha ditipu oleh akalnya.” (Mudawatun Nufus, hlm. 74)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Sesungguhnya taklid itu tidak mewariskan apa-apa selain kebodohan.” (Minhajus Sunnah, 5/281)

Benarlah ucapan beliau berdua rahimahumallah, tidak ada keraguan tentangnya. Puncak tujuan orang yang taklid adalah menyenangkan atau menghibur orang alim. Oleh karena itu, dia mengambil pendapatnya dalam keadaan tidak mengetahui dalilnya, tidak mengetahui apakah pendapat tersebut memiliki dalil yang sahih, dan tidak mengetahui apakah dalil tersebut tepat pada tempatnya. Dia juga tidak mengetahui hakikat pendapat yang menyelisihinya, tidak mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan, terlebih lagi pendapat yang benar. Thariqah (metode) ini akan mewariskan kebodohan dan kejumudan dalam berpikir bagi pemiliknya. (ash-Shawarif ‘anil Haq, hlm. 30—31)

Abdul Qadir bin Badran rahimahullah berkata, “Taklid akan menjauhkan seseorang dari kebenaran dan melariskan kebatilan.” (al-Madkhal ila Madzhabil Imam Ahmad, hlm. 495)

Al-’Allamah al-Mu’allimi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, Allah subhanahu wa ta’ala kadang-kadang menjatuhkan sebagian orang-orang ikhlas dalam suatu kesalahan sebagai ujian dan cobaan bagi yang lain, apakah mereka akan mengikuti kebenaran dan meninggalkan pendapatnya yang salah, ataukah mereka justru tertipu dengan keutamaan dan kemuliaannya.

Orang yang ikhlas ini tentunya dimaafkan atas kesalahannya, bahkan mendapat pahala disebabkan oleh ijtihad dan niatnya. Akan tetapi, barangsiapa yang mengikutinya dalam keadaan tertipu oleh keagungannya tanpa memerhatikan dalil-dalil yang hakiki dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia tidak dimaafkan. Bahkan, dia berada di atas bahaya yang besar.

Ketika Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha pergi ke Bashrah sebelum terjadinya Perang Jamal, Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu memerintahkan kepada anaknya, al-Hasan, dan ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma agar mengikutinya, supaya mereka berdua menasihati umat manusia. Di antara nasihat Ammar radhiallahu ‘anhu terhadap penduduk Bashrah adalah, “Demi Allah, sesungguhnya Aisyah radhiallahu ‘anha adalah istri Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat. Akan tetapi, kalian diuji dengannya supaya diketahui apakah kalian menaati-Nya atau menaati Aisyah radhiallahu ‘anha.” (Raf’ul Isytibah, hlm. 152—153)

 embun-2

Faedah

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Perbedaan antara taklid terhadap orang yang alim dalam seluruh pendapatnya dan menjadikan pemahaman orang tersebut sebagai alat bantu untuk memahami agama ialah bahwa orang yang taklid mengambil pendapat orang yang alim tanpa memerhatikan dalil al-Kitab dan as-Sunnah, sedangkan yang kedua kedudukannya seperti penunjuk jalan. Penunjuk jalan yang mahir bagi seseorang yang dalam perjalanan seperti pembimbing yang mengantarkan kepada dalil.” (Irsyadun Nuqqad, hlm. 105)

 

  1. Ambisi terhadap kedudukan dan kepemimpinan

Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata, “Tidak akan berbahagia orang yang dari dirinya tercium bau ambisi kepemimpinan.” (as-Siyar, 13/15)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hati-hatilah kalian dari syahwat yang tersembunyi!” Beliau ditanya, “Apakah syahwat yang tersembunyi itu?” Beliau menjawab, “Ambisi terhadap kepemimpinan.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Orang yang berambisi terhadap kepemimpinan, walaupun dengan cara yang batil, akan ridha dengan ucapan-ucapan yang mengagungkannya meskipun batil. Dia akan marah karena ucapan-ucapan yang mencela ataupun mengkritiknya meskipun ucapan itu benar. Adapun orang yang beriman akan ridha dengan ucapan-ucapan yang benar, baik menguntungkan maupun merugikannya, karena Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, serta membenci kedustaan dan kezaliman.” (Majmu’ al-Fatawa, 10/600)

Cara yang benar untuk mendapatkan kepemimpinan dalam agama adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Dengan kesabaran dan keyakinan akan didapatkan kepemimpinan dalam agama.”

 

  1. Fanatisme golongan (hizbiyyah)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Para penuntut ilmu harus membersihkan diri dari penyakit fanatisme kelompok atau golongan, yaitu mencanangkan prinsip loyalitas dan kebencian/permusuhan berdasarkan kelompok atau golongan tertentu. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi manhaj salaf. As-Salafus Shalih tidak bergolong-golongan, bahkan mereka hanya satu golongan. Mereka bersatu di bawah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (al-Hajj: 78)

Tidak ada fanatisme golongan, loyalitas, dan permusuhan ataupun kebencian, melainkan sesuai dengan apa yang datang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Kitabul ‘Ilmi, hlm. 81)

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Fanatisme merupakan musibah yang menimpa mayoritas orang yang menisbatkan diri kepada kelompok tertentu, baik dalam ilmu maupun agama, baik yang belajar fiqih, sufi, maupun yang lainnya. Fanatisme juga menimpa orang yang menisbatkan diri kepada pemimpin yang diagungkan di kalangan mereka dalam urusan agama selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain tidak mau menerima ilmu agama, baik pendapat maupun riwayat, melainkan yang datang dari kelompoknya, mereka juga tidak mengetahui hal apa saja yang diharuskan oleh kelompoknya. Padahal agama Islam ini mewajibkan untuk mengikuti kebenaran secara mutlak, baik secara pendapat maupun riwayat, tanpa menentukan orang atau golongannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Iqtidha’, 1/86)

 

Berani Mengakui Kesalahan dan Kembali kepada Kebenaran

Khalid bin Ma’dan rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencari pujian dengan menyelisihi kebenaran, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala membalik pujian itu menjadi celaan. Namun, barangsiapa berani menghadapi cacian dalam mengikuti kebenaran, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala membalik cacian itu menjadi pujian.” (Siyar A’lamin Nubala,

Tersebut sebuah atsar dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu di dalam as-Sunanul Kubra karya al-Imam al-Baihaqi (10/119), bahwa beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, “Janganlah keputus anmu yang sebelumnya menghalangimu untuk mengoreksinya. Setelah engkau mendapatkan petunjuk tentang pendapat yang benar dalam permasalahan tersebut, kembalilah kepada kebenaran. Kebenaran itu sebenarnya sudah terdahulu dan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu pun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada bersikeras di dalam kebatilan.”

Surat yang ditulis Umar radhiallahu ‘anhu untuk Abu Musa ini telah diterima sepenuhnya oleh umat, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam I’lamul Muwaqqi’in (1/86).

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebenaran, terimalah walaupun dia orang yang jauh dan engkau benci. Barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, tolaklah walaupun dia orang yang dekat dan engkau cintai.” (al-Kabir lith-Thabarani, 9/106)

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا تِالِّبَاعِهِ

وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا جِالْتِنَابِهِ

Ya Allah, tampakkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami rezeki untuk mengikutinya.

Tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan berilah kami rezeki untuk menjauhinya. Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan


[1] Lihat rubrik “Akhlak” edisi 50.