“Seorang hamba, belumlah sempurna imannya, sampai aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih ia cintai dibandingkan keluarganya, harta, dan seluruh manusia”
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah (15) dan al-Imam Muslim rahimahullah (44) meriwayatkannya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Adapun lafadz di atas adalah lafadz hadits riwayat al-Imam Muslim rahimahullah.
Untuk hadits ini, al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberikan judul Bab “Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda beriman”.
Adapun al-Imam an-Nawawi rahimahullah membuat judul untuk hadits riwayat Muslim, Bab “Kewajiban untuk Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Melebihi Keluarga, Anak, Orang Tua, dan Seluruh Manusia”.
Siapakah yang disebutkan sebagai objek pembanding di dalam hadits? Anak, orang tua, harta, ataukah seluruh manusia? Seluruhnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul Bari, 1/81) menerangkan seluruh lafadz dari hadits di atas dari berbagai riwayat. Ksimpulannya, ketika seluruh lafadz hadits dikumpulkan, ternyata yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah harta benda, diri sendiri, anak, orang tua, dan siapa pun orangnya.
Mengapa beliau mengatakan “dan seluruh manusia” setelah menyebutkan “anak dan orang tua”?
Hal ini disebut dengan ‘athful ‘am ‘alal khas, menyebutkan yang umum setelah yang khusus. Cara mengartikan hadits di atas adalah ‘seorang hamba belum dikatakan sempurna imannya sampai ia lebih mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan siapa pun dan apa pun, termasuk ayah ibunya, anak, kerabat, harta benda, pangkat, dan segala hal yang ia cintai’.
Bagaimana halnya dengan kecintaan terhadap diri sendiri? Bahkan, terhadap diri sendiri sekalipun!
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Belum cukup! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sampai aku lebih engkau cintai meski dibandingkan dengan dirimu sendiri!”
Sabda itu diucapkan karena Umar radhiallahu ‘anhu menyatakan, “Wahai Rasulullah, sungguh Anda lebih aku cintai dibandingkan semua hal, kecuali diriku sendiri.”
Lantas Umar radhiallahu ‘anhu berkata,
“Sungguh, sekarang demi Allah, sungguh Anda lebih aku cintai meski dibandingkan diriku sendiri.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sekarang ini (barulah benar), wahai Umar!” (HR . al-Bukhari no. 6632)
Lukisan Cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Para sahabat adalah orang-orang yang telah membuktikan iman dengan selalu mendahulukan, mengutamakan, dan mengedepankan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas segalanya.
Lihatlah bagaimana mereka rela mengorbankan harta benda dan jiwa raga untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah seperti apa mereka telah mencurahkan waktu dan tenaga demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Bakr radhiallahu ‘anhu sendirian menghadapi sejumlah orang Quraisy yang mengganggu Rasulullah radhiallahu ‘anhu. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dengan mantap selalu membenarkan berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun dianggap tidak masuk akal oleh kaum Quraisy. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu yang dengan setia mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi apa pun. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah contoh pembuktian cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu pun demikian. Beliau yang beberapa kali mengatakan, “Izinkan aku memenggal leher orang itu, wahai Rasulullah!”, karena rasa cemburunya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula sikap Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqsah, Abu Ubaidah, Abdurrahman bin Auf, dan sahabat lainnya radhiallahu ‘anhum. Setiap kali membaca kehidupan mereka, kita pasti menemukan besarnya cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul Bari, 1/81—82) berkata, “Termasuk dalam hal ini adalah menolong sunnahnya, membela syariatnya, dan menghadapi para penentangnya. Amar ma’ruf nahi mungkar juga termasuk di dalam hadits ini.”
Artinya, apa yang telah dilakukan oleh ulama ahli hadits menjadi bagian dari bukti cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meninggalkan kampung halaman, berkeliling dari satu negeri ke negeri lainnya, berpisah dengan keluarga bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun lamanya, menembus panasnya siang, melewati dinginnya malam, bahkan sakit pun seakan tidak terasa. Apalagi hanya lapar dan haus dahaga.
Sebut saja nama Syu’bah bin al-Hajjaj rahimahullah. Beliau berkeliling dari Kufah menuju Makkah, dari Makkah berlanjut ke Madinah, lalu berangkat ke Basrah dan kembali ke Kufah. Perjalanan itu ditempuh hanya untuk memastikan kebenaran sebuah hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ringkas kata, apa yang telah dilakukan oleh ulama ahli hadits menjadi bukti nyata pengamalan mereka terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Selalu dan siap berkorban apa pun demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni dengan memperjuangkan kemurnian ajaran-ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dan Cintanya kepada Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di masa kita, nama asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah haruslah dimasukkan dalam contoh dan teladan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai beliau buktikan dengan kegemaran dan kesenangannya membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang melebihi manisnya membaca kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, menurut beliau.
“Sungguh, dengan segala puji untuk Allah, saya sangat mencintai kitabullah dan Sunnah al-Gharra’. Apalagi dua kitab Shahih. Membaca dua kitab Shahih bagi saya adalah kenikmatan yang paling manis di dunia ini,” tulis asy-Syaikh Muqbil dalam Muqaddimah ash-Shahihul Musnad.
Beliau melanjutkan, “Sungguh, ketika membuka Shahih al-Bukhari dan saya membaca, Qaalal Imamul Bukhaari rahimahullah, haddatsana Abdullah bin Yusuf, qaala haddatsana Maalik; Atau saya membuka Shahih Muslim lalu membaca, Qaalal Imam Muslim rahimahullah, haddatsanaa Yahya bin Yahya, qaala qara’tu ‘ala Maalik.”
Ketika membaca demikian dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, apa yang beliau rasakan?
“Saya langsung lupa dengan seluruh kesibukan dan persoalan dunia,” lanjutnya.
Inilah puncak cinta! Saat semua kepenatan, kesulitan, dan kesusahan hidup menjadi hilang, pergi dan terhapus dengan membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap nama perawi yang disebut akan mengingatkan kita tentang sosok manusia-manusia penyabar, zuhud, qana’ah, bertakwa, dan bersyukur.
Setiap hadits yang dibaca pasti menjadi tuntunan dan pegangan hidup.
Setiap hadits yang ditelaah akan menjadi pelita penerang.
Hal ini ditanamkan betul kepada murid-murid beliau, yakni kegemaran untuk membaca kitab-kitab hadits. Hal ini terbukti dengan waktu pelajaran kitab hadits yang beliau berikan. Sejumlah kitab hadits beliau bacakan, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Jami’ at-Tirmidzi, Mustadrak al-Hakim, dan lainnya.
Barangkali, inilah salah satu rahasia cinta beliau kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjaga cinta itu dengan selalu membaca dan menggali dalam-dalam ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat sempurna.
Karya asy-Syaikh Muqbil dalam Bidang Hadits
Dengan membaca, melihat, dan meneliti karya-karya asy-Syaikh Muqbil rahimahullah, kita akan menyimpulkan betapa mendalamnya cinta beliau kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya adalah karya beliau yang diberi judul ash-Shahihul Musnad. Ini adalah sebuah karya yang menyuguhkan dengan apik hadits-hadits sahih yang berada di luar Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hadits yang dimuat dipilih melalui syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Sebuah karya monumental di bidang hadits dengan susunan musnad (diurutkan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadits).
Lihatlah pula karya beliau yang lain, al-Jami’us Shahih. Inilah satu warisan di bidang hadits dengan mengurutkan bab demi bab berdasarkan judul pembahasan bab-bab fikih. Sebuah bukti kedalaman fikih beliau yang didasari oleh hadits-hadits sahih.
Ada pula al-Jami’us Shahih fil Qadar, karya beliau dalam pembahasan qadha dan takdir dengan menyebutkan riwayat sahih.
Kitab asy-Syafa’ah juga tidak boleh terlewatkan untuk disebut sebagai bukti kecintaan beliau kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kitab asy-Syafa’ah adalah karya beliau dalam pembahasan syafaat dengan menyebutkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang sahih maupun yang dhaif, disertai dengan keterangannya.
Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul adalah karya beliau dalam bidang tafsir dengan menyebutkan hadits-hadits sabab nuzul (sebab turunnya ayat al-Qur’an). Kitab ini merupakan komitmen beliau untuk memurnikan pembahasan sabab nuzul hanya pada hadits sahih. Kitab ini menjadi bahan skripsi beliau di Universitas Islam Madinah.
Terkait bukti-bukti kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan dan pesuruh Allah subhanahu wa ta’ala, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mengumpulkan hadits sahih yang menerangkan mukjizat dan tanda kerasulan. Kumpulan hadits ini dituangkan dalam sebuah kitab dan diberi judul ash-Shahihul Musnad min Dalail an-Nubuwwah.
Ringkasnya, karya beliau sangat menekankan pada penyebutan hadits sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan syarat ketat dan seleksi yang cermat. Sebut saja sebagai contoh tambahan dalam hal ini adalah Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah, Dzammul Mas’alah, Syar’iyyatus Shalat fin Ni’al, dan Hukmul Jam’i baina ash-Shalatain fis Safar.
Asy-Syaikh Muqbil dan Sanad Hadits
Cinta asy-Syaikh Muqbil kepada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatanya benar-benar istimewa. Hal ini dibuktikan dengan semangat dan tekad beliau untuk selalu menyebutkan lafadz hadits secara lengkap. Tidak semata menyebutkan lafadz hadits, beliau pun selalu berusaha mengiringkannya dengan sanad hadits. Sanad hadits artinya mata rantai para perawi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada ulama yang menyampaikan hadits tersebut.
Coba baca dan teliti karya beliau yang tersebut di atas! Hampir semua hadits yang disebutkan selalu disertakan sanadnya. Apa alasan beliau?
Di dalam Muqaddimah ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menerangkan, “Adapun alasan menyebutkan lafadz hadits secara lengkap, karena banyaknya faedah di sana. Adapun sebab mengiringkannya dengan sanad, karena para ulama kita tidak akan menerima sebuah hadits kecuali disertai oleh sanadnya.”
Setelah itu, beliau menukilkan pernyataan demi pernyataan ulama yang menekankan pentingnya sanad sebuah hadits. Di antara yang beliau nukilkan adalah pernyataan Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah, “Bagiku, sanad merupakan bagian dari beragama. Kalau sanad tidak ada, pasti semua orang bisa berbicara semaunya.”
Nah, di sinilah rahasia semangat asy-Syaikh Muqbil rahimahullah untuk selalu menyebutkan sanad hadits. Beliau mendidik dan menggembleng murid-muridnya— juga kita semua—agar tidak sembarangan dan tidak sesuka hati untuk berbicara atas nama agama, kecuali dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan menyebutkan sanad hadits, seseorang telah bertindak ilmiah.
Sikap keras asy-Syaikh Muqbil ditujukan kepada mereka yang secara sengaja dan yang mendasarkan sikap bermudah-mudahan untuk menghilangkan sanad hadits. Marilah membaca ucapan beliau dalam Muqaddimah ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul!
“Dengan demikian, mereka yang menghilangkan sanad dari karya tulisnya, menyebutkan hadits-hadits tanpa sanad, bisa dinilai telah berbuat buruk terhadap ilmu dan terhadap pendahulu kita yang saleh, yang telah berjuang keras untuk meneliti sanad dan rela melakukan rihlah (perjalanan panjang) demi mencari sanad hadits,” tulis asy-Syaikh Muqbil.
Asy-Syaikh Muqbil, Ilmu ‘Ilal dan Jarh wat Ta’dil
Siapa pun yang pernah berguru kepada asy-Syaikh Muqbil, walau sekali waktu; atau barangkali mendengar suara beliau melalui rekaman atau membaca tulisannya, pasti mampu menilai dan merasakan luasnya ilmu beliau dalam bidang ‘ilalul hadits dan al-jarh wat ta’dil.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah adalah salah satu keajaiban dalam menghafal nama perawi sekaligus biografinya. Seakan-akan ribuan perawi beliau kuasai. Beliau mempunyai keahlian mumpuni, ketajaman, dan kecermatan dalam hal menilai serta kepiawaian untuk menghukumi sahih atau dhaifnya sebuah hadits.
Bagaimana cara membuktikannya? Karya-karya beliau dalam bidang ‘ilalul hadits dan al-jarh wat ta’dil adalah bukti konkret. Contohnya adalah kitab beliau, Ahaditsu Mu’allah Zhahiruha ash-Shihhah. Kitab ini menghimpun hadits yang secara zahir dinilai sahih, tetapi ternyata menyimpan cacat yang memengaruhi kesahihan. Cacat yang dimaksud sifatnya khafiyyah (tersembunyi, samar, dan tidak terlihat). Akan tetapi, para ulama ahli hadits, kemudian asy-Syaikh Muqbil rahimahullah, mampu menemukannya.
Contoh lain adalah Auhamul Hakim fil Mustadrak. Karya beliau ini sebenarnya berbentuk catatan kaki atau keterangan ringkas tentang kesalahan al-Imam al-Hakim rahimahullah dalam kitab al-Mustadrak yang terlewatkan oleh al-Imam adz- Dzahabi rahimahullah. Adz-Dzahabi sendiri telah berupaya menemukan kesalahan-kesalahan tersebut.
Secara khusus tentang ilmu rijalul hadits, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyusun nama perawi al-Mustadrak karya al-Imam al-Hakim rahimahullah lengkap dengan biografi ringkasnya yang belum disebutkan dalam kitab Tahdzibut Tahdzib. Karya beliau ini diberi judul Tarajim Rijalul Hakim fi Mustadrakihi alladzina laisu fi Tahdzib at-Tahdzib.
Terdapat pula kitab Tarajim Rijal ad-Daruquthni, karya beliau mengenai biografi ringkas para perawi dalam Sunan ad-Daruqthni.
Karya beliau yang bisa disebut monumental adalah Tahqiq al-Ilzamat wat Tatabbu’, hasil penelitian beliau tentang hadits dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang dikritik oleh ad-Daruquthni. Karya ini disebut monumental karena tidak semua orang dapat berbicara tentang kritikan terhadap hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikh Muqbil dan Pujian Ulama
Selain karya yang membuktikan asy-Syaikh Muqbil rahimahullah memang sangat pantas untuk menyandang gelar Muhadditsul Jazirah (ahli hadits dari Jazirah Arab), pujian dan pengakuan para ulama ahli hadits zaman ini pun menguatkan lagi.
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, ulama hadits paling terkemuka abad ini yang merupakan guru asy-Syaikh Muqbil rahimahullah, menukil pendapat asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam bukunya, as-Silsilah adh-Dhai’ifah (5/95), ketika mendhaifkan sebuah hadits.
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Para pakar dalam bidang hadits tidak akan ragu tentang dhaifnya hadits seperti ini. Lihatlah syaikh yang mulia, Muqbil bin Hadi al-Yamani, menyatakan dalam Takhrij ‘ala Ibni Katsir (1/513)—setelah berbicara tentang perawi sanadnya satu per satu, ‘Hadits ini dhaif karena sanadnya terputus, dan Ubaidullah bin al-Walid al-Wushafi yang dhaif’.”
Bukankah pernyataan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di atas adalah bentuk pengakuan akan keilmuan asy-Syaikh Muqbil? Pasti.
Berikutnya adalah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali yang menyatakan dalam takziyahnya sesaat setelah wafatnya asy-Syaikh Muqbil rahimahullah. Di dalam takziyahnya, asy-Syaikh Rabi’ menyebut asy-Syaikh Muqbil dengan, “… Ahli zuhud, ahli wara’ yang saleh, juga seorang ahli hadits yang telah menginjak kehinaan dunia beserta seluruh keindahannya di bawah kedua telapak kakinya.”
Cukuplah bukti-bukti di atas untuk meyakini asy-Syaikh Muqbil rahimahullah sebagai seorang pakar hadits di abad ini.
Beliau rahimahullah adalah orang yang telah menghabiskan umur dan hidupnya berkhidmat untuk hadits-hadits sebagai tanda cintanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau rahimahullah adalah seorang hamba yang meyakini, “Membaca dua kitab Shahih—bagiku—adalah kenikmatan yang paling manis di dunia ini.”
Beliau rahimahullah pun seorang teladan yang saat membaca dan mempelajari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku langsung lupa dengan seluruh kesibukan dan persoalan dunia.”
Lantas, bagaimana halnya dengan diri kita? Apa bukti cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Wallahul Muwaffiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Iben Rifai