Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Ia diwajibkan bagi orang yang mampu. Ibadah ini dikaitkan dengan kemampuan karena membutuhkan pengorbanan besar berupa kemampuan materi dan kekuatan fisik. Apabila sebuah ibadah dikaitkan langsung dengan kemampuan, berarti menunjukkan kesempurnaan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala dalam meletakkan ibadah tersebut.
Orang yang beriman akan menerima ketentuan ibadah tersebut tanpa berat hati. Mereka mengetahui bahwa tidak ada satu pun bentuk syariat yang diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melainkan maslahatnya kembali bagi hamba. Tidak terkait sedikit pun dengan kebutuhan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap mereka.
Di sisi lain, dikaitkannya ibadah haji ini dengan kemampuan hamba menunjukkan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala yang tinggi terhadap mereka. Semuanya ini telah Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam firman-Nya,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٍ
“Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.” (al-Maidah: 6)
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan.” (al-Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍۚ
“Dan Allah tidak menjadikan atas kalian dalam agama ini kesukaran.” (al-Hajj: 78)
Baca juga:
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan para sahabat. Beliau berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
“Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji, maka berhajilah kalian!”
Seseorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali.
Beliau melanjutkan, “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Apabila aku melarang kalian dari sesuatu, tinggalkanlah.” (HR. al-Bukhari no. 6744 dan Muslim no. 2380 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada seorang pun yang memberatkan diri padanya melainkan dia tidak akan sanggup. Berusahalah untuk tepat, mendekatlah, dan bergembiralah. Dan gunakan waktu pagi dan petang serta sebagian dari waktu malam.” (HR. al-Bukhari no. 38 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Ibnul Munayyir berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat salah satu tanda kenabian. Kita telah menyaksikan, orang-orang sebelum kita juga telah menyaksikan, setiap orang yang berdalam-dalam menyelami agama akan tidak sanggup. Hal ini tidak berarti tidak boleh mencari yang lebih sempurna dalam ibadah karena hal itu terpuji.
Yang dilarang ialah berlebih-lebihan yang akan menyebabkan kebosanan, berlebih-lebihan menjalankan amalan sunnah sehingga meninggalkan yang lebih utama, atau melaksanakan kewajiban di luar waktunya, seperti seseorang yang semalam suntuk untuk qiyamul lail (shalat malam) hingga dia terlalaikan dari shalat Subuh secara berjamaah atau sampai keluar dari waktu yang terbaik atau sampai terbit matahari yang akhirnya keluar dari waktu yang diwajibkan.” (Lihat Fathul Bari, 1/118)
Orang beriman sangat bergembira dengan semua bentuk ibadah yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka memiliki kesiapan untuk menjalankannya. Mereka juga memiliki keberanian untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap tegar dan bersemangat, sekalipun anjuran Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya itu dianggap kecil dan sepele oleh kebanyakan orang.
Sikap inilah yang digambarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman bila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi di antara mereka, mereka mengatakan, ‘Kami mendengar dan kami taat’.” (an-Nur: 51)
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)
Baca juga:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
“Demi Rabb-mu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapatkan rasa berat pada diri-diri mereka (untuk menerima) apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan sebenar-benarnya.” (an-Nisa: 65)
Salah satu perintah syariat adalah menunaikan ibadah haji. Pelaksanaan ibadah ini memiliki amalan-amalan yang berbeda dengan ibadah lainnya. Amalan haji sangat membutuhkan keikhlasan niat yang tinggi, kejujuran iman, ketabahan jiwa, dan ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang sempurna, kekuatan material, dan spiritual. Hal ini terbukti dari awal perintah memakai pakaian ihram sampai akhir pelaksanaan ibadah tersebut.
Ada beberapa pesan berharga untuk saudaraku yang hendak menunaikan ibadah haji.
Keikhlasan adalah sebuah amalan hati yang sangat erat hubungannya dengan kemurniaan akidah dan tauhid seseorang. Tauhid yang benar akan membuahkan keikhlasan yang murni dan hakiki. Keikhlasan yang murni merupakan perwujudan ketulusan persaksian hamba terhadap kalimat laa ilaha illallah, tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Seseorang harus membangun semua ibadahnya di atas akidah yang benar. Sebab, akidah yang benar merupakan penentu diterimanya amalan seseorang. Berdasarkan hal inilah, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan akidah dan tauhid sebagai rukun Islam pertama melalui lisan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam itu dibangun di atas lima dasar, yaitu mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa pada bulan Ramadan.” (HR. al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 19, 20, 21, 22 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)
Jibril berkata dalam hadits Umar radhiallahu anhu,
يَا مُحَمَّدُ، أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
“Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!” Beliau menjawab, “Engkau mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, dan haji ke Baitullah bila engkau mampu menempuh perjalanan ke sana.” (HR. Muslim no. 9)
Baca juga:
Apabila akidah seseorang menyelisihi akidah yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, tentu akan rusak niatnya. Atau niatnya akan tercampuri dengan niatan yang lain. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, dia berangkat menunaikan ibadah haji dibarengi dengan niat yang mengandung kesyirikan kepada Allah. Misalnya, niat meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di makam beliau, atau di sisi kuburan-kuburan yang dianggap memiliki berkah dan keramat. Atau berniat meminta keberkahan hidup, kekayaan, naik pangkat, laris dalam berniaga, lulus dalam ujian, meminta harta benda, dan segala yang berbau keuntungan duniawi, kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Membangun ibadah haji di atas kemurnian akidah akan berbuah nilai positif di dunia setelah melakukan ibadah tersebut dan di akhirat karena mendapatkan haji mabrur yang diterima. Berbeda halnya dengan orang yang membangun ibadah hajinya di atas kerusakan akidah, seperti:
Subhanallah. Kalau demikian, siapa yang akan melaksanakan beban (syariat)?!
Dalam kesempatan lain dia mengucapkan, “Tiadalah anjing dan babi melainkan tuhan kita.”
dan berbagai bentuk akidah rusak lainnya.
Niat merupakan asas pertama dan utama diterimanya amal. Jadi, apabila niat telah rusak, akan rusak pula yang lain. Perusak niat yang paling berbahaya ialah riya dan sum’ah, yaitu ingin memperdengarkan amalan-amalan atau perjalanan yang penuh kenangan dan peristiwa aneh dengan tujuan mendapatkan pujian.
Baca juga:
Betapa banyak orang yang tidak mendapatkan haji yang mabrur karena memiliki niat yang rusak. Misalnya, ingin menjadi orang terhormat karena bergelar haji di depan namanya, disanjung, dipuji, disebut pak haji, dan sebagainya.
Kewajiban mengikhlaskan niat ini telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan baginya agama.” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu sah dengan niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dia telah hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrah untuk dunia yang ingin diperoleh atau wanita yang ingin dinikahinya, dia telah berhijrah kepada apa yang dia telah niatkan.” (HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 3530)
Setiap amalan tergantung niatnya. Niat tersebut kembali kepada keikhlasan, yaitu niat yang satu untuk Dzat yang satu, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. (Fathul Bari, 1/14)
Baca juga:
Hadits di atas menjelaskan tentang kedudukan niat sebagai landasan diterimanya amal seseorang. Oleh karena itu, banyak komentar para ulama tentang kedudukan hadits niat ini.
Imam asy-Syafii rahimahullah mengatakan, “Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab dalam bidang ilmu.”
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Tidak ada hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang lebih padat, lebih kaya, dan lebih banyak faedahnya daripada hadits ini (yakni hadits tentang niat).”
Ibnu Mahdi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini masuk pada tiga puluh bab dalam bidang ilmu.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Sepantasnya hadits ini diletakkan dalam setiap bab ilmu.” (Fathul Bari, 1/13)
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا
“Allah telah mensyariatkan bagi kalian agama yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh.” (asy-Syura: 13)
Abul Aliyah rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mewasiatkan kepada mereka agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.” (Fathul Bari, 1/13)
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Setiap amalan yang tidak diniatkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, maka amalan tersebut adalah batil, tidak memiliki buah di dunia dan di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum Wal Hikam, hal. 11)
Mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam pelaksanaan ibadah haji merupakan syarat kedua diterimanya amalan haji seseorang setelah syarat ikhlas. Mulai awal pelaksanaan haji sampai akhirnya, tidak diperbolehkan mengada-adakan sesuatu sedikit pun. Apabila ada amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan kami yang tidak ada ajarannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2499 dan Muslim no. 3242)
Sekecil dan seringan apa pun, amalan ibadah haji tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam hal ini, segenap kaum muslimin tidak boleh berpedoman dengan pengajaran dan bimbingan orang tua dahulu atau guru-guru kita. Namun, harus berpedoman dengan dalil-dalil.
Baca juga:
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan,
“Semua amalan yang dilakukan harus di bawah ketentuan hukum-hukum syariat. Hukum syariat menjadi hakim terhadap semua amalan, baik dalam hal perintah maupun larangan. Jadi, barang siapa yang amalannya berjalan di bawah ketentuan syariat dan sesuai dengannya, ia diterima. Apabila keluar dari hukum syariat, amalan tersebut tertolak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 83)
Dengan kedua syarat di atas, seseorang akan bisa meraih keutamaan haji mabrur, yaitu haji yang diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, menurut salah satu pendapat ulama. Tanda diterimanya ibadah haji adalah dia pulang dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya dan tidak kembali kepada perbuatan maksiat. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah haji yang tidak dijangkiti penyakit riya. Ada pula yang berpendapat maksudnya adalah haji yang tidak diiringi kemaksiatan setelahnya.
An-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat ini. Yang paling mashur adalah pendapat bahwa haji mabrur ialah haji yang tidak dicampuri dengan kemaksiatan. (Syarh Muslim, 5/119)
Jamaah haji sangat mengidamkan keutamaan ini. Namun, di antara mereka ada yang tidak memperhatikan kiat yang akan mengantarkan dirinya untuk mendapatkannya. Apabila seseorang tidak membangun ibadah hajinya di atas kedua landasan di atas, dia tidak akan mendapatkannya. Hal itu merupakan sesuatu yang pasti berdasarkan dalil-dalil di atas.
Baca juga:
Tentang haji mabrur, telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak sabdanya.
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ. قِيلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُورٌ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang amalan yang paling utama lalu beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ditanyakan kepada beliau, “Kemudian apa?” Beliau berkata, “Berjihad di jalan Allah.” Ditanyakan lagi kepada beliau, “Kemudian apa?” Beliau berkata, “Haji yang mabrur.” (HR. al-Bukhari no. 25 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha bertanya,
يَا رَسُولَ اللهِ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ؟ قَالَ: لاَ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Wahai Rasulullah, kami berpendapat bahwa jihad adalah amalan yang paling utama. Tidakkah kami ikut berjihad?” Beliau berkata, “Tidak. Akan tetapi, jihad yang paling utama (bagi wanita) adalah haji mabrur.”
Dalam riwayat Imam an-Nasai rahimahullah disebutkan dengan lafaz,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، أَلاَ نَخْرُجُ فَنُجَاهِدَ مَعَكَ فَإِنِّي لاَ أَرَى عَمَلاً فِي الْقُرْآنِ أَفْضَلَ مِنَ الْجِهَادِ. قَالَ: لاَ وَلَكِنَّ أَحْسَنَ الْجِهَادِ وَأَجْمَلَهُ حَجُّ الْبَيْتِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita keluar ikut berjihad bersamamu karena aku tidak melihat di dalam Al-Qur’an ada amalan yang lebih utama daripada jihad?” Beliau bersabda, “Tidak. Akan tetapi, sebaik-baik jihad dan yang paling indah adalah haji ke Baitullah, yaitu haji yang mabrur.” (Dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasai, no. 2628)
Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.” (HR. al-Bukhari no. 1650 dan Muslim no. 2403 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan haji yang mabrur dan tidak ada balasan bagi haji yang mabrur melainkan surga. An-Nawawi menjelaskan, “Pelaku haji tersebut tidak hanya terhapus dosa-dosanya, bahkan dia mesti masuk ke dalam surga.” (Syarh Shahih Muslim, 5/119)
Baca juga:
Demikianlah kedudukan dua syarat diterimanya setiap amalan hamba, yaitu ikhlas dan mencontoh Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam. Karena itu, yang dituntut dari seorang hamba ialah bagaimana dia memperbaiki ibadahnya, tidak hanya bagaimana memperbanyaknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ
“Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa yang paling baik amalannya.” (al-Mulk: 2)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Makna ayat ini adalah Dia-lah yang telah menjadikan makhluk dari tidak ada menjadi ada, untuk menguji mereka siapa yang paling baik amalnya.”
Muhammad bin Ajlan rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/414)
Beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan salah satu rukun iman yang enam dan merupakan intisari keimanan terhadap rukun iman yang lain. Apabila keimanan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak benar, hal itu akan menjadi barometer kepincangan imannya terhadap rukun iman yang lain.
Keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala mencakup banyak perkara, di antaranya:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ
“Demikianlah bahwa Allah adalah al-Haq (untuk disembah) dan apa yang mereka sembah selainnya adalah batil dan Allah Mahakaya dan Mahabesar.” (al-Hajj: 62)
Pengagungan terhadap selain Allah subhanahu wa ta’ala banyak bentuknya. Di antaranya mengagungkan kuburan tertentu, orang tertentu, tempat yang dikeramatkan, pohon, batu, jimat, jin, dan sebagainya. Semuanya akan merusak keimanan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan akan mengarah pada tercabutnya keimanan dari diri mereka.
Di antara lima rukun Islam, yang paling besar dan paling utama adalah persaksian terhadap dua kalimat syahadat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” (Muhammad: 19)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman pula,
شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Allah telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia, malaikat, dan orang-orang yang berilmu ikut mempersaksikan dengan penuh keadilan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dan Dia Mahamulia dan Mahabijaksana.” (Ali Imran: 18)
Dia yang memiliki dunia dan akhirat. Tidak ada pencipta selain-Nya dan tidak ada yang sanggup mengatur urusan makhluk ini kecuali Dia. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus para nabi dan menurunkan kitab-kitab untuk kemaslahatan hamba dan untuk menyeru mereka menuju keberhasilan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Termasuk tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya malam dan siang, matahari dan bulan. (Oleh karena itu) janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, tetapi sujudlah kalian kepada Allah yang telah menciptakannya, jika kalian hanya beribadah kepada-Nya.” (Fushshilat: 37)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ يُغۡشِي ٱلَّيۡلَ ٱلنَّهَارَ يَطۡلُبُهُۥ حَثِيثًا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتِۢ بِأَمۡرِهِۦٓۗ أَلَا لَهُ ٱلۡخَلۡقُ وَٱلۡأَمۡرُۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari. Kemudian Dia ber-istiwa di atas ‘Arsy. Allah menutup siang dengan malam yang terjadi dengan cepat (dan Dialah yang telah menciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang yang semuanya tunduk di bawah perintah-Nya. Ketahuilah, hak Allah untuk mencipta dan memerintah, dan Mahasuci Allah Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
Mengimani nama dan sifat Allah tanpa tanpa memalingkan dan menyelewengkan maknanya sedikit pun dari apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, serta tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat-sifat makhluk.
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Allah memiliki nama-nama yang baik, maka berdoalah kalian dengannya dan biarkanlah orang-orang yang menyeleweng dari nama-nama Allah. Mereka pasti akan dibalas atas apa yang telah mereka perbuat.” (al-A’raf: 180)
وَلَهُ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
“Dan bagi Allah perumpamaan yang tinggi di langit-langit dan di bumi, dan Dia Mahamulia dan Mahabijaksana.” (ar-Rum: 27)
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11)
Larangan berbicara tentang Allah subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu telah diperingatkan oleh-Nya dalam firman-Nya,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولًا
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” (al-Isra: 36)
Baca juga:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنًا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Rabb-ku telah mengharamkan kekejian yang nampak maupun yang tidak nampak, mengharamkan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar dan mengharamkan kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak pernah Allah turunkan keterangan tentangnya, dan mengharamkan berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu’.” (al-A’raf: 33)
Demikianlah beberapa kiat untuk memperbaiki keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar semua amal yang kita kerjakan dibangun di atas keimanan kepada-Nya. Apabila seseorang membangun ibadah haji di atas keimanan kepada-Nya, tentu semua niatan akan diarahkan kepada-Nya. Dia tentu tidak akan keluar dari tuntunan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dalam pelaksanaan haji tersebut.
Dengan demikian, dia bisa mendapatkan haji mabrur di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah buah keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a‘lam.