Asysyariah
Asysyariah

beberapa peristiwa yang terjadi sebelum perang uhud

13 tahun yang lalu
baca 9 menit
Beberapa Peristiwa Yang Terjadi Sebelum Perang Uhud

Perang Badr telah berakhir dan menyisakan kemenangan bagi kaum muslimin. Tak lama berselang, kembali kaum muslimin menghadapi peperangan yang tidak kalah sengit yaitu Perang Uhud. Kaum musyrikin benar-benar berusaha melampiaskan dendam kesumat mereka saat dikalahkan kaum muslimin pada Perang Badr. Berikut ini beberapa kisah peristiwa penting yang terjadi sebelum Perang Uhud.

Perang Uhud terjadi setahun setelah perang Badr Kubra. Kekalahan kaum musyrikin di Badr menorehkan luka dan dendam di hati bangsa Quraisy. Mereka sangat terpukul. Sejumlah tokoh dan panutan mereka tewas. Abu Sufyan bin Harb sebagai pemimpin masyarakat bernadzar tidak akan membasahi kepalanya dengan air sampai dapat memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

 

Peristiwa Sebelum Perang Uhud

Ibnu Hisyam rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah (az-Zaad, 3/189) menceritakan, “Abu Sufyan berangkat dengan sekitar dua ratus pasukan berkuda hingga tiba di al-‘Uraidh di pinggir kota Madinah. Dia bermalam di tempat Salam bin Misykam al-Yahudi. Salam menjamunya dengan khamr dan mencarikan berita tentang kaum muslimin. Esok harinya mereka menebang beberapa pokok (pohon) kurma dan membunuh seorang Anshar dan sekutunya. Setelah itu mereka kembali.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar hal ini, beliau berusaha mengejar mereka. Tapi sampai di Qarqaratil Kudr, Abu Sufyan berhasil lolos dan mereka melemparkan sawiq (gandum) yang mereka bawa sebagai bekal, untuk meringankan tunggangan mereka agar lebih cepat melarikan diri. Barang-barang tersebut diambil kaum mukminin. Oleh para ahli sejarah, peristiwa ini dinamakan Perang Sawiq. Ini terjadi dua bulan setelah peristiwa Badr. ”

 

Terbunuhnya Ka’b bin Al-Asyraf

Dia adalah salah seorang tokoh Yahudi. Ibunya seorang wanita Bani Nadhir.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan dari Ibnu Ishaq (al-Fath, 7/421), “Dia adalah orang Arab dari Bani Nabhan, inti dari kabilah Thayyi’. Ayahnya pernah berhutang darah di masa jahiliah kemudian lari ke Madinah dan menjadi sekutu Bani Nadhir dan menjadi bangsawan mereka. Ayahnya menikah dengan ‘Uqailah binti Abil Huqaiq dan lahirlah Ka’b.

Dia seorang pria tinggi besar dan gagah. Selalu menyerang kaum muslimin dengan syair-syairnya. Pada waktu peristiwa Badr, dia datang ke Makkah, singgah di Ibnu Wada’ah as-Sahmi ayah al-Muththalib. Hassan menyerangnya dengan syair namun dia balas menyerang (dengan mengganggu) istrinya, Atikah bintu Usaid bin Abil ‘Ash bin Umayyah, maka wanita itu pun mengusirnya. Dia kembali ke Madinah dan di sana mengganggu wanita muslimah.

Ketika Ka’ab menolak untuk menghentikan gangguannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Sa’d bin Mu’adz mengutus beberapa orang untuk membunuhnya.

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhuma sebagai berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau membunuh Ka’b al-Asyraf? Karena dia sudah menyakiti Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya.”

Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah, lalu berkata, “Ya Rasulullah, Anda suka kalau dia saya bunuh?”

“Ya,” kata beliau.

Muhammad bin Maslamah berkata, “Izinkan saya mengatakan sesuatu.”[1]

Beliau berkata, “Katakanlah.”

Maka Muhammad bin Maslamah menemui Ka’b dan berkata, “Sesungguhnya orang ini (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) meminta kami bersedekah. Dan dia betul-betul telah menyulitkan kami. Dan saya datang mau meminjam sesuatu kepadamu.”

Katanya, “Dan juga, demi Allah, kamu betul-betul akan semakin jemu terhadapnya.”

Kata Muhammad, “Sesungguhnya kami sudah mengikutinya dan kami tidak suka membiarkannya sampai jelas bagaimana akhir urusannya ini. Dan kami ingin kau pinjamkan kami satu atau dua wasaq kurma.”—Dan ‘Amr (perawi) tidak pernah menyebut satu atau dua wasaq, lalu saya tanya: “Dalam riwayat ini ada kalimat satu atau dua wasaq?” Katanya: “Saya duga memang ada.”

Kata Ka’b, “Ya. Berilah aku jaminannya.”

Kata mereka, “Apa yang kau inginkan?”

Kata Ka’b, “Wanita (istri) kalian jadi jaminannya.”

Kata mereka, “Bagaimana kami memberimu jaminan wanita-wanita kami, sedangkan engkau adalah orang Arab yang paling tampan?”

Dia berkata lagi, “Jadikan jaminannya anak-anak kalian.”

Kata mereka, “Bagaimana mungkin kami memberi jaminan anak-anak kami, lalu salah satu dari mereka akan dicaci-maki? Lalu diejek, “Dia jaminan satu atau dua wasaq kurma. Ini aib bagi kami. Tapi kami akan beri jaminan senjata.”

Dia pun menjanjikan akan memberikannya. Kemudian pada malam harinya, Muhammad datang bersama Abu Na’ilah—saudara susu Ka’b. Dan Ka’b mengundang mereka masuk ke dalam benteng, dia turun menyambut mereka. Istrinya berkata, “Mau keluar ke mana saat-saat seperti ini?”

Katanya, “Itu adalah Muhammad bin Maslamah dan saudaraku, Abu Na’ilah.”—Kata rawi selain ‘Amr:

Wanita itu berkata, “Aku mendengar suara seperti tetesan darah.”

Katanya, “Itu adalah saudaraku Muhammad, dan saudara susuku Abu Na’ilah. Sesungguhnya orang yang terhormat, kalau diundang bertarung di malam hari pun akan dia jawab.”

Muhammad ternyata memasukkan pula dua orang lainnya.—Ditanyakan kepada Sufyan, “Apakah disebutkan namanya oleh ‘Amr?” Katanya, “Sebagian.” Kata ‘Amr: “Datang bersamanya dua orang.” Rawi selain ‘Amr mengatakan, “Abu ‘Abs bin Jabr, al-Harits bin Aus, dan ‘Abbad bin Bisyr. “ Kata ‘Amr, “Datang bersamanya dua orang laki-laki.”

Maka kata Muhammad, “Kalau dia sudah datang, saya akan memegang rambutnya dan menciumnya. Kalau kalian lihat saya sudah menguasai kepalanya, kalian tebaslah dia.”

Kata Murrah: “Kemudian saya akan upayakan kalian menciumnya.”—

Turunlah Ka’b menyandang senjatanya dalam keadaan dia menebarkan bau harum. Dia berkata, “Saya tidak lihat hari yang seperti ini harumnya (yakni lebih harum).”

Kata rawi selain ‘Amr: “Ka’b berkata, “Di sisiku ada seorang wanita Arab yang paling cantik dan harum.”

Kata ‘Amr, Muhammad mengatakan, “Apakah kau izinkan saya mencium kepalamu?”

Kata Ka’b, “Ya. Ciumlah.”

Kemudian dia mengarahkan kepada teman-temannya untuk mencium, lalu dia berkata lagi, “Apakah kau izinkan saya?”

Kata Ka’b, “Ya.”

Maka ketika sudah mantap dia memegang kepala Ka’b, dia berkata, “Kerjakan.” Mereka pun membunuhnya. Kemudian mereka datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakannya.”

Dikisahkan, setelah berhasil membunuhnya, mereka pulang ke Madinah. Setiba di Baqi’il Gharqad mereka bertakbir, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malam itu sudah berdiri untuk shalat. Mendengar suara takbir ini, beliaupun bertakbir, tahu kalau tugas mereka berhasil. Mereka menemui beliau, dan beliau berkata, “Wajah-wajah beruntung.”

Mereka berkata, “Wajahmu juga, wahai Rasulullah.”

Kemudian mereka lemparkan kepalanya di hadapan beliau, dan beliau memuji Allah ‘azza wa jalla atas terbunuhnya musuh Allah ‘azza wa jalla ini.

 arabian-sword

Terbunuhnya Abu Rafi’

Peristiwa ini, kata az-Zuhri sebagaimana dinukil al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, 7/427) terjadi setelah terbunuhnya Ka’b al-Asyraf.

Tokoh ini juga sangat hebat permusuhannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ia mendukung setiap bentuk tindakan yang membahayakan dan melecehkan beliau. Dia dibunuh oleh beberapa orang sahabat Anshar.

Al-Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa orang sahabat Anshar untuk membunuh Abu Rafi’ al-Yahudi yang selalu menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberikan dukungan untuk hal-hal seperti itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim beberapa orang dan mengangkat Abdullah bin ‘Atik sebagai pimpinan.

Waktu itu Abu Rafi’ tinggal di sebuah benteng di daerah Hijaz. Ketika mereka mendekati benteng, matahari sudah hampir tenggelam, orang-orang sudah mulai istirahat. Abdullah menyuruh teman-temannya agar duduk di tempat mereka dan dia sendiri akan meminta izin masuk ke benteng. Dia pun membelitkan pakaiannya ke kepalanya seakan-akan mau buang hajat. Orang-orang mulai masuk. Penjaga benteng melihat Abdullah (kemudian) memanggilnya agar masuk karena pintu akan dikunci.

Setelah orang-orang masuk ke dalam benteng, pintu gerbang dikunci. Kemudian Abdullah mengambil kunci itu dan membukanya. Ada yang berbincang-bincang malam itu di dekat Abu Rafi’.

Dia tinggal di tempat yang tinggi. Setelah orang-orang yang berbincang-bincang dengannya malam itu pergi, saya naik ke rumahnya.

Kata Abdullah: Setiap saya membuka pintu, maka pintu itu ditutup dari dalam. Saya berkata, “Kalau orang-orang ini sudah mengetahui keberadaan saya, mereka tidak akan sampai kepada saya hingga saya membunuhnya.”

Saya pun tiba di tempatnya, ternyata dia di rumah yang gelap di tengah-tengah keluarganya. Saya tidak tahu di bagian mana dia berada. Saya berkata, “Abu Rafi’!”

Dia berseru, “Siapa ini?”

Saya segera menyerang ke arah suaranya sambil membabatkan pedang, ternyata tidak berhasil. Dia berteriak.

Saya pun keluar dari rumah itu dan saya diam saja beberapa saat, kemudian masuk kepadanya dan berkata, “Suara apa tadi, hai Abu Rafi’?”

Dia berkata, “Celakalah ibumu. Ada seseorang yang menyerangku dengan pedang.”

Saya pun membabatkan pedang ke arahnya sampai betul-betul mengenainya, namun belum membunuhnya. Setelah itu saya tekankan pedang itu hingga menembus punggungnya. Saya pun berhasil membunuhnya. Kemudian saya buka semua pintu sampai pada sebuah jendela. Kemudian melompat ke tanah. Tapi kaki saya patah, saya pun mengikatnya dengan sorban dan saya beranjak hingga tiba di pintu gerbang.

Saya berkata dalam hati, “Saya tidak akan keluar malam ini sampai saya tahu betul bahwa dia sudah mati.”

Begitu terdengar kokok ayam, berteriaklah seseorang mengatakan bahwa Abu Rafi’ tewas. Saya pun pergi menemui teman-teman saya yang menunggu. Saya berkata kepada mereka, “Berhasil. Allah ‘azza wa jalla sudah membunuh Abu Rafi’.”

Kami pun tiba di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya bercerita, dan beliau berkata kepada saya, “Julurkan kakimu.”

Saya menjulurkan kaki saya dan beliau mengusapnya. Maka seakan-akan kaki itu tidak pernah sakit sama sekali.

Kisah ini diceritakan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada “Kitabul Maghazi’ hadits no. 4037 (lihat al-Fath, 7/426).

(bersambung insya Allah)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar


[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Tampaknya ia meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merekayasa sesuatu dalam rangka memperdaya Ka’b bin al-Asyraf. Oleh karena itu, al-Bukhari memberikan judul di atas hadits ini dengan ‘Bab Dusta dalam Peperangan’.”