(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
Di balik kekalahan yang dialami kaum muslimin dalam perang Uhud, tersimpan banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik.
Ibnul Qayyim t mengatakan (Zaadul Ma’ad 3/210):
“Az-Zuhri, ‘Ashim bin ‘Umar, Mu-hammad bin Yahya bin Hibban dan yang lainnya menyebutkan bahwa peristiwa Uhud ini adalah hari-hari ujian dan saringan (pembersihan). Allah U menguji kaum mukminin melalui peristiwa Uhud ini. Melalui peristiwa ini pula, semakin jelaslah siapa yang dengan lisannya menyimpan kemunafikan dan menampilkan keislaman. Dan Allah I memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya sebagai syuhada`.”
Allah I mengisahkan peristiwa Uhud dalam ayat-ayat-Nya yang mulia, agar menjadi pelajaran yang berharga bagi kaum muslimin hingga hari kiamat.
Firman Allah I:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu, (untuk) menempatkan mukminin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ketika dua golongan darimu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu hendak-lah karena Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (Ali ‘Imran: 121-122)
Al-Imam Al-Qurthubi t mene-rangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Anshar. Hal itu terjadi setelah membelotnya Abdullah bin Ubay bin Salul, pentolan munafikin, dengan mem-bawa sepertiga pasukan. Namun Allah I memelihara hati orang-orang Anshar, sehingga mereka tidak ikut berbalik.
Kemudian dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya.”(Ali ‘Imran 143)
Al-Imam Al-Qurthubi t mengata-kan, ayat ini berkenaan dengan sebagian shahabat Anshar yang tertinggal dari perang Badr, dan mereka ingin turut serta berperang demi memperoleh syahadah. Namun ketika pertempuran berkecamuk, sebagian mereka surut. Akan tetapi ada pula yang tetap tabah dan pantang mundur, di antaranya Anas bin An-Nadhr z. Ketika dia melihat kaum muslimin bercerai-berai dia berkata:
“Ya Allah aku meminta uzur kepada-Mu dari apa yang mereka -yakni kaum muslimin- lakukan, dan aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang didatangkan kaum musyrikin.”
Kemudian dia mengambil pedangnya dan berpapasan dengan Sa’d bin Mu’adz, lalu berkata kepadanya: ”Mau ke mana, hai Sa’d? Sungguh aku mencium bau harumnya surga di balik bukit Uhud ini. Diapun maju bertempur dengan sengit sampai gugur sebagai kembang syuhada` dengan hampir 80 bekas tebasan dan tusukan pedang, tombak atau panah. Hampir tidak ada yang mengenalnya kecuali saudarinya melalui jari-jarinya.1
Peristiwa Uhud ini cukup memilukan. Al-Yaman, ayahanda shahabat Hudzaifah terbunuh di tangan kaum muslimin karena salah bunuh. Hamzah Singa Allah dan Rasul-Nya, gugur sebagai syuhada`, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun demikian hikmah yang terkandung dalam peristiwa ini sangat banyak. Di antaranya sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar t (Fathul Bari, 7/433):
“Para ulama menjelaskan bahwa dalam kisah perang Uhud ini, juga dengan musibah yang dialami kaum muslimin, mengandung beberapa pelajaran atau faedah serta hikmah rabbaniyah yang sangat agung, di antaranya:
q Memahamkan kepada kaum mus-limin betapa buruknya akibat kemaksiatan dan mengerjakan apa yang telah dilarang, yaitu ketika barisan pemanah meninggal pos-pos mereka yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah n agar mereka berjaga di sana.
q Sudah menjadi kebiasaan bahwa para rasul itu juga menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan. Sebagaimana dijelaskan dalam kisah dialog Abu Sufyan dan Hiraqla (Heraklius). Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan keme-nangan, tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar, mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
q Ditundanya kemenangan pada sebagian pertempuran, adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Maka keti-ka kaum mukminin diuji lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang munafikin dalam keadaan ketakutan.
q Allah I mempersiapkan bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri kemuliaan-Nya yang tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Maka Dia tetapkan beberapa sebab sebagai ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
q Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi para wali Allah I.
q Allah I menghendaki kehancuran musuh-musuh-Nya maka Dia tetapkan sebab yang mendukung hal itu, seperti kekufuran, kejahatan dan sikap mereka melampaui batas dalam menyakiti para wali-Nya. Maka dengan cara itulah Allah I menghapus dosa kaum mukminin.
q Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah n. Allah I meneguhkan mereka, mencela mereka yang berbalik ke belakang, baik karena Rasulullah n terbunuh atau meninggal dunia.
q Hikmah lain adalah adanya pem-bersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin.
Pertempuran Usai
Setelah peperangan usai, Abu Sufyan mendaki sebuah bukit dan berteriak: “Apakah Muhammad (n) ada di antara kalian?!” Namun kaum muslimin tidak menjawabnya. Kemudian dia berteriak lagi: “Apakah Ibnu Abi Quhafah (Abu Bakr) ada di antara kalian?!” Tidak juga dijawab. Akhirnya dia berteriak lagi: “Apakah ‘Umar bin Al-Khaththab ada di antara kalian?!” Juga tidak dijawab. Dan dia tidak menanyakan siapapun kecuali tiga orang ini, karena dia dan kaumnya mengerti bahwa mereka bertiga adalah pilar-pilar Islam. Lalu dia berkata: “Adapun mereka bertiga, kalian sudah mencukupkan mereka.”
‘Umar z tak dapat menahan emo-sinya untuk tidak menyahut: “Wahai musuh Allah, sesungguhnya orang-orang yang kau sebut masih hidup! Dan semoga Allah menyisakan untukmu sesuatu yang menyusahkanmu.”
Abu Sufyan berkata: “Di kalangan yang mati ada perusakan mayat, saya tidak memerintahkan dan tidak pula menyu-sahkan saya.” Kemudian dia berkata: “Agungkan Hubal!”
Lalu Nabi n berkata: “Mengapa tidak kalian jawab?” Kata para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?” Kata beliau: “Allah Lebih Tinggi dan Lebih Mulia.”
Abu Sufyan berkata lagi: “Kami punya ‘Uzza, sedangkan kalian tidak.”
Kata Rasulullah n: “Mengapa tidak kalian balas?”
Kata para shahabat: “Apa yang harus kami katakan?”
Katakanlah: “Allah adalah Maula (Pelindung, Pemimpin) kami, sedangkan kalian tidak mempunyai maula satupun.”2
Perintah Rasulullah n agar mereka membalas ketika Abu Sufyan merasa bangga dengan sesembahan-sesembahan dan kesyirikannya, dalam rangka peng-agungan terhadap tauhid sekaligus menunjukkan Keperkasaan dan Kemuliaan Dzat yang diibadahi oleh kaum muslimin.
Kemarahan ‘Umar mendengar kata-kata Abu Sufyan menunjukkan penghinaan, keberanian, terang-terangan kepada musuh tentang kekuatan dan keperkasaan mereka bahwa mereka bukanlah orang yang hina dan lemah.
Berikut ini beberapa hukum dan fiqih yang terkandung dalam peristiwa Uhud yang dinukil Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (3/211), antara lain:
q Bahwa jihad harus segera dija-lankan. Sehingga siapa yang telah memakai pakaian perangnya dan melakukan bebe-rapa sebab untuk berperang serta bersiap untuk berangkat, dia tidak boleh kembali sampai dia memerangi musuhnya.
q Kaum muslimin tidak diwajibkan keluar menghadapi musuh, apabila diserbu oleh musuh mereka di kampung-kampung mereka. Bahkan hukumnya boleh, tetap berada di rumah-rumah mereka dan memerangi musuh dari rumah-rumah tersebut, jika memang hal tersebut lebih memungkinkan untuk dapat mengalahkan musuh. Sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam peristiwa Uhud.
q Bolehnya melakukan serangan total ke jantung pertahanan musuh seperti yang dilakukan Anas bin An-Nadhr dan lain-lainnya.
q Kalau imam mendapat musibah, dia boleh shalat mengimami sambil duduk dan makmum juga ikut duduk.
q Bolehnya berdoa mati di jalan Allah I dan mendambakan hal tersebut.
q Menurut As-Sunnah, (jenazah) syuhada` tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.3
q Bolehnya menguburkan dua atau tiga orang dalam satu liang.4
q Menurut As-Sunnah, syuhada` dikubur di tempat dia terbunuh, tidak dipindah ke lain tempat.
q Apabila kaum muslimin membunuh seorang yang disangka kafir, maka tanggung jawab imam untuk menyerahkan diat (denda)-nya dari Baitul Mal.
Selengkapnya lihat Zaadul Ma’ad (3/210-222). Wallahul Muwaffiq.
1 HR. Al-Bukhari dalam Al-Maghazi.
2 HR. Al-Bukhari (7/269-272), Ahmad (4/293), lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/201).
3 Walaupun menurut sebagian pendapat lain hukumnya adalah sunnah bukan wajib, lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/213).
4 HR. Al-Bukhari (7/286), Abu Dawud (3138), At-Tirmidzi (1036), An-Nasa`i (4/62), Ibnu Majah (1514) dari hadits Jabir z. Tetapi ini berlaku dalam kondisi darurat, lihat tahqiq Zaadul Ma’ad (3/215).