Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan pentingnya kaum muslimin untuk bersungguh-sungguh mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya. Telah dijelaskan pula bahwa hal itu adalah salah satu prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah dan metode para salaf sejak zaman dahulu sampai sekarang. Silakan disimak kembali:
Seri 17: Bersungguh-Sungguh Mendoakan Kebaikan untuk Pemerintah pada Masa Wabah
Pada artikel kali ini, akan dijelaskan beberapa manfaat dan faedah dari salah satu ibadah yang mulai banyak ditinggalkan kaum muslimin, yaitu mendoakan kebaikan untuk pemerintah.
Ketika seorang muslim mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya, sesungguhnya dia sedang merealisasikan penghambaan dan peribadahan kepada Allah. Sebab, sikap mendengar dan taatnya seorang muslim kepada pemerintahnya (dalam perkara selain maksiat), berlandaskan perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Setiap muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemerintah), baik dalam hal yang dia suka maupun dia benci; kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, dia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839. Lafaz hadits di atas adalah riwayat Imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma)
Oleh karena itu, seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada pemerintahnya dalam rangka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Termasuk bentuk mendengar dan taat kepada pemerintah adalah mendoakan kebaikan untuk mereka.
الدُّعَاءُ لِلسُّلْطَانِ الْوَاجِبُ الطَّاعَةُ، مَشْرُوعٌ بِكُلِّ حَالٍ
“Doa untuk penguasa yang merupakan kewajiban dan ketaatan, disyariatkan pada segala keadaaan.” (Al-Intishaf fima Tadhammanahu al-Kasysyaf minal I’tizal 4/106)
إِنِّي لَأَرَى طَاعَةَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ، وَفِي عُسْرِي وَيُسْرِي، وَمَنْشَطِي وَمَكْرَهِي، وَأَثَرَةٍ عَلَيَّ. وَإِنِّي لَأَدْعُو لَهُ بِالتَّسْدِيدِ وَالتَّوْفِيقِ، فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Sungguh, aku berpendapat wajibnya menaati amirul mukminin (pemimpin negara) saat sendirian maupun di depan khalayak umum, pada waktu susahku maupun lapangku, saat aku suka ataupun benci, demikian pula ketika pemimpin tidak menunaikan hakku. Sungguh, aku senantiasa mendoakannya (pemimpin) untuk diluruskan dan mendapat taufik setiap siang dan malam.” (al-Bidayah wa an-Nihayah 10/372)
Dalam ucapan al-Imam Ahmad, “Sungguh, aku senantiasa mendoakannya.” terdapat penegasan dan pengikraran akidah dan prinsip (Ahlussunnah Wal Jamaah) untuk mendengar dan taat kepada pemerintah (dalam perkara selain maksiat). (ad-Du’aa` Li Wulatil Amr, Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan—Kerajaan Arab Saudi hlm. 11)
Bahkan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa mendoakan kebaikan untuk pemerintah adalah termasuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah yang paling afdal,
الدُّعَاءُ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ مِنْ أَعْظَمِ الْقُرُبَاتِ، وَمِنْ أَفْضَلِ الطَّاعَاتِ
“Doa kebaikan untuk pemerintah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling agung dan ketaatan yang paling utama.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Syaikh Ibn Baz 8/209)
Ketika seorang muslim mendoakan kebaikan untuk pemerintahnya, sesungguhnya dia sedang merealisasikan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, mendoakan kebaikan untuk pemerintah adalah bentuk dalam realisasi “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada pemerintah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama ini adalah ‘an-Nashiihah’.” Kami (para sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-nya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim ad-Daari radhiyallahu anhu)
An-Nawawi menyebutkan pendapat al-Khaththabi ketika menjelaskan bahwa di antara cakupan “an-Nashiihah” (ketulusan) kepada para pemimpin kaum muslimin adalah,
أَنْ يُدْعَى لَهُمْ بِالصَّلَاحِ
“Mereka (para pemimpin) didoakan agar mendapatkan kebaikan.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj 1/144)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
إِنِّي لَأَدْعُو لَهُ [أَيْ السُّلْطَانِ] بِالتَّسْدِيدِ وَالتَّوْفِيقِ–فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ–وَالتَّأْيِيدِ وَأَرَى ذَلِكَ وَاجِبًا عَلَيَّ
“Sungguh, siang dan malam aku mendoakan kebaikan untuknya (yakni pemimpin) agar diluruskan, diberi taufik, dan agar dia dikuatkan. Aku berpendapat bahwa hal itu merupakan sebuah kewajiban atas diriku.” (As-Sunnah karya al-Khallal hlm. 83)
Ketika kita mendoakan kebaikan untuk pemerintah kita, secara umum, hal ini juga mencakup seluruh jajaran dan pejabat resmi pemerintah. Apabila yang kita doakan bukan seorang muslim, kita doakan supaya mereka mendapatkan hidayah untuk memeluk agama Islam dan mendapatkan taufik.
Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah mengatakan,
“Adapun ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) bagi pemimpin kaum muslimin, mencakup seluruh jajaran pemerintahan, mulai dari pimpinan negara, gubernur, hakim tinggi, dan setiap yang memiliki kekuasaan; baik (wewenangnya) kecil maupun besar. Sebab, mereka memiliki tugas-tugas dan urusan-urusan yang lebih berat dari selain mereka (rakyat biasa). Oleh karena itu, ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) wajib ditunaikan bagi mereka (pemerintah) sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka.
‘An-Nashiihah’ (ketulusan) diwujudkan dengan mengakui sahnya kepemimpinan dan kekuasaan mereka, wajib menaati mereka dalam hal yang makruf, tidak memberontak kepada mereka, … dan mendoakan mereka agar mendapat kebaikan dan taufik, karena baiknya pemerintah adalah kebaikan bagi rakyatnya.” (Lihat ar-Riyaadh an-Naadhirah wa al-Hadaaiq an-Nayyirah az-Zaahirah fi al-‘Aqaa`id wa al-Funuun al-Mutanawwi’ah al-Faakhirah hlm. 41)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengatakan, “Merupakan konsekuensi baiat (janji setia) adalah menunaikan ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) kepada pemerintah. Termasuk dalam ‘an-Nashiihah’ (ketulusan) adalah mendoakan mereka agar diberi taufik, hidayah, niat dan perbuatan yang baik, serta teman dekat yang baik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/209)
Apabila seseorang mendoakan pemerintahnya dengan kebaikan, sungguh dia telah mengenakan salah satu atribut (ciri khas atau sifat) Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Imam Abu Muhammad al-Barbahari (wafat 329 H) rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًى، وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلَاحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ إِنْ شَاءَ اللهِ.
“Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa, ketahuilah (secara umum) dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Sebaliknya, jika engkau melihat seseorang mendoakan penguasa dengan kebaikan, ketahuilah dia adalah seorang pemegang sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah hlm. 113)
Jika suatu pemerintahan itu baik, rakyat pun akan baik. Berikutnya, kondisi kehidupan rakyatnya akan stabil dan tenteram. Oleh karena itu, mari kita memperbanyak doa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala, supaya pemerintah kita menjadi baik, lurus, dan senantiasa mendapatkan petunjuk dan taufik.
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Abu Bakr ash-Shiddiq dalam Shahih al-Bukhari. Dari sahabat Qais bin Abi Hazim bahwa seorang perempuan pernah bertanya kepada Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu anhu,
مَا بَقَاؤُنَا عَلَى هَذَا الْأمْرِ الصَّالِحِ الَّذِي جَاءَ اللَّهُ بِهِ بَعْدَ الْجَاهِلِيَّةِ؟
“Apa yang dapat melanggengkan kondisi baik yang telah Allah karuniakan setelah masa jahiliah ini, (wahai Abu Bakr)?”
بَقَاؤُكُمْ عَلَيْهِ مَا اسْتَقَامَتْ بِكُمْ أَئِمَّتُكُمْ
“Kalian akan langgeng di atasnya (dalam kondisi yang baik) selama pemimpin kalian lurus istiqamah.” (Shahih al–Bukhari no. 3834)
اعْلَمُوا أَنَّ النَّاسَ لَنْ يَزَالُوا بِخَيْرٍ مَا اسْتَقَامَتْ لَهُمْ وُلَاتُهُمْ وَهُدَاتُهُمْ
“Ketahuilah, manusia akan senantiasa berada di dalam kebaikan selama pemerintah (umara) dan pembimbing (ulama) mereka juga lurus dan istiqamah.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 16651)
إِنَّمَا زَمَانُكُمْ سُلْطَانُكُمْ، فَإِذَا صَلَحَ سُلْطَانُكُمْ صَلَحَ زَمَانُكُمْ، وَإِذَا فَسَدَ سُلْطَانُكُمْ فَسَدَ زَمَانُكُمْ
“Sungguh, (keadaan) zaman kalian sesuai dengan (kondisi) sultan kalian. Apabila sultan (pemimpin) kalian baik, akan baik pula zaman kalian. Sebaliknya, apabila sultan kalian jelek, akan jelek pula zaman kalian.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 16652)
Ibnul Munayyir rahimahullah menukil dari sebagian (ulama) salaf bahwa ketika mereka mendoakan seorang pemimpin yang zalim, ada yang bertanya, “Apakah engkau mendoakan kebaikan untuknya (pemimpin) padahal dia zalim?!”
Ulama tersebut menjawab,
إِي -وَاللهِ-، أَدْعُو لَهُ إِنَّ مَا يَدْفَعُ اللهُ بِبَقَائِهِ أَعْظَمُ مِمَّا يَدْفَعُ بِزَوَالِهِ.
“Ya, demi Allah! Aku mendoakan kebaikan untuknya (pemimpin). Sungguh, kejelekan yang Allah cegah dengan adanya pemimpin, lebih besar daripada kejelekan yang akan muncul dengan tidak adanya pemimpin.”
Ibnul Munayyir mengomentari, “Terlebih lagi apabila doa tersebut mengandung permintaan agar pemimpin tersebut diperbaiki, diluruskan, dan diberi taufik.” (Al-Intishaf fima Tadhammanahu al-Kasysyaf minal I’tizal 4/106)
لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِي الْإِمَامِ
“Seandainya aku memiliki satu doa yang pasti terkabul, tidak akan kugunakan kecuali untuk kebaikan pemimpin.”
Kemudian beliau ditanya,
وَكَيْفَ ذَلِكَ، يَا أَبَا عَلِيٍّ؟ فَسِّرْ لَنَا هَذَاِ
“Wahai Abu Ali (yakni al-Fudhail), terangkan kepada kami hal itu!”
Beliau menjawab,
مَتَى مَا صَيَّرْتُهَا فِي نَفْسِي لَمْ تُجِزْنِي، وَمَتَى صَيَّرْتُهَا فِي الْإِمَامِ فَصَلَاحُ الْإِمَامِ صَلَاحُ الْعِبَادِ وَالْبِلَادِ
“Jika kugunakan doa itu untuk diriku sendiri, manfaatnya hanya untuk diriku. Namun, apabila kugunakan untuk mendoakan pemimpin; dia akan menjadi baik, dan akan menjadi baik pula para hamba dan negeri-negeri.”
Ketika mendengar kalimat-kalimat al-Fudhail bin ‘Iyadh di atas, Imam Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah kagum. Kemudian, ia pun mencium kening al-Fudhail seraya berkata kepadanya, “Wahai pembimbing kebaikan, siapa lagi yang bisa semisal ini selainmu?” (Hilyatul Auliya` 8/91—92)
Apabila pemerintah mengetahui bahwa rakyat mendoakan kebaikan untuk mereka, mereka akan merasa sangat senang. Hal ini akan membuat mereka semakin mencintai rakyatnya dan mendorong mereka untuk selalu mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Bahkan, mereka akan membalas doa rakyat dengan doa pula.
Dalam kitab as-Sunnah (133—134), Abdullah bin Imam Ahmad menyebutkan kisah bahwa ayahanda beliau, Imam Ahmad, menulis sebuah risalah (surat) untuk Khalifah al-Mutawakkil sebagai jawaban atas pertanyaan beliau tentang Al-Qur’an. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan sungguhan (dalam rangka mendapatkan ilmu), bukan sekadar untuk menguji.
Abdullah bin Imam Ahmad berkata, “Ketika ayahanda selesai menulis jawaban, beliau memerintahkan kami untuk terlebih dahulu menunjukkan (surat tersebut) kepada Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan, sang menteri Khalifah al-Mutawakkil.
Imam Ahmad meminta musyawarah kepada menteri tentang gaya bahasa yang layak bagi pemimpin, bukan tentang isinya. Tentu, ini merupakan langkah yang baik dan hikmah. Sebab, menteri Khalifah tentu lebih mengetahui tentang perkara-perkara yang dapat melunakkan hati Khalifah.
Ketika Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan membaca surat jawaban tersebut, dia berkata, “Perlu untuk ditambahkan doa untuk Khalifah di dalamnya, karena hal tersebut akan menggembirakan beliau.”
Mendengar saran itu, Imam Ahmad menambahkan sejumlah doa dalam surat jawabannya tersebut. Di antara yang beliau tuliskan dalam surat tersebut,
وَإِنِّي أَسْأَلُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُدِيمَ تَوْفِيقَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَعَزَّهُ اللهُ بِتَأْيِيدِهِ
“Aku memohon kepada Allah azza wa jalla untuk melanggengkan taufik bagi Amirul Mukminin (pemimpin). Semoga Allah memuliakan beliau dengan pertolongan-Nya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا؛ بِدَعْوَتِهِمْ، وَصَلَاتِهِمْ، وَإِخْلَاصِهِمْ
“Sungguh, Allah akan menolong umat ini dengan sebab orang-orang lemah di antara mereka; yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka.” (HR. an-Nasa`i no. 3178 dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i no. 3178)
Mohon kita renungi bersama hadits di atas. Kemudian, mari kita amalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Mari kita perbanyak lantunan doa-doa kita untuk kebaikan negeri dan pemerintah kita, terkhusus pada waktu-waktu mustajabah. Bersungguh-sungguhlah memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam mendoakan kebaikan untuk para pemimpin.
“Sudahkah kita mendoakan kebaikan untuk negeri dan pemerintah kita, hari ini?”
“Kapan terakhir kali Anda mendoakan kebaikan untuk negeri dan pemerintah?”
“Pada sepertiga malam terakhir kemarin, apakah Anda beribadah dan berdoa?”
Mari kita perbaiki shalat kita, keikhlasan kita, dan ketakwaan kita. Apakah masih ada kekurangan dalam shalat kita? Apakah wudhu dan shalat kita sudah sesuai dengan tuntunan Nabi? Sudahkah kita shalat tepat waktu? Bagaimana kekhusyukannya? Sudah ikhlaskah kita dalam beribadah? Apakah kita sudah bertakwa?
Mari masing-masing kita muhasabah dan introspeksi diri. Arahkan jari telunjuk kita kepada diri kita sendiri. Sungguh, jika seluruh kaum muslimin mengamalkan bimbingan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong umat ini.
Demikian sebagian manfaat dan faedah mendoakan kebaikan untuk pemerintah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita taufik untuk istiqamah di atas agama Islam dan sunnah (ajaran) Nabi shallallahu alaihi wa sallam.