Asysyariah
Asysyariah

banyak jalan untuk beramal

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Memiliki keluarga sakinah penuh mawaddah wa rahmah adalah dambaan setiap insan. Apatah lagi keseharian keluarga tersebut sarat dengan ketaatan kepada Rabbul Izzah, selalu bersemangat beramal takwa dan tidak mau tertinggal dalam kebaikan.

Tergambarlah di benak kita betapa indahnya rumah tangga Rasulullah n. Rumah tangga yang dipenuhi ketakwaan kepada Allah l, yang anggota-anggotanya hanya menghendaki keridhaan Allah l dan berharap kebahagiaan di negeri akhirat. Dalam kitab yang mulia, kita dapati Allah l memberikan bimbingan kepada istri-istri Nabi-Nya untuk memenuhi hari-hari mereka di rumah-rumah mereka dengan ibadah kepada Allah l. Dia Yang Mahasuci berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, serta membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” (al-Ahzab: 33—34)
Walaupun pembicaraan dalam ayat-ayat di atas ditujukan kepada istri-istri Nabi n, kita pun dapat mengambil pelajaran bahwa Allah l cinta apabila hamba-hamba-Nya memakmurkan rumah tangga mereka dengan ketaatan kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap orang yang akan membangun ataupun yang telah membangun mahligai rumah tangga hendaklah mencita-citakan dan mewujudkan hari-hari dalam rumah tangga yang dipenuhi ibadah kepada Ar-Rahman.
Seorang suami ataupun istri tidak boleh pernah merasa lemah untuk beramal kebaikan, dengan alasan tidak mampu. Sungguh jalan-jalan kebaikan itu banyak dan berbilang, tidak hanya satu. Singkat kata, banyak jalan untuk berbuat baik. Kalau tidak bisa melakukan satu kebaikan, masih terbuka pintu untuk melaksanakan kebaikan yang lain. Dan Allah l Maha Mengetahui kebaikan yang dilakukan hamba-hamba-Nya.
“Apa yang kalian lakukan dari kebaikan maka sungguh Allah mengetahuinya.” (al-Baqarah: 215)
Abu Dzar Jundab ibnu Junadah z berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: الْإِيْمَانُ بِاللهِ وَالْجِهَادُ فِي سَبِيْلِهِ. قُلْتُ: أَيُّ الرِّقَابِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: أَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا وَأَكْثَرُهَا ثَمَنًا. قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ أَفْعَلْ؟ قَالَ: تُعِيْنُ صَانِعًا أَوْ تَصْنَعُ لِإِخْرَقَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ ضَعُفْتُ عَنْ بَعْضِ الْعَمَلِ؟ قَالَ: تَكُفُّ شَرَّكَ عَنِ النَّاسِ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah l dan jihad di jalan-Nya.” Aku bertanya lagi, “Budak yang bagaimanakah yang lebih utama dimerdekakan?” “Yang paling disenangi oleh pemiliknya dan paling mahal harganya,” jawab Rasulullah. “Kalau aku tidak bisa melakukannya?” tanyaku lagi. “Engkau berbuat baik kepada seseorang atau engkau bantu orang yang tidak cakap dalam pekerjaan yang berupaya dilakukannya,” jawab beliau. Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku tidak mampu melakukan sebagian amalan?” Beliau menjawab, “Engkau tahan kejahatanmu (perbuatan jelekmu) dari orang-orang maka hal itu merupakan sedekah darimu untuk dirimu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari sini kita dapatkan faedah bahwa menahan diri dari berbuat kejelekan dan menyakiti orang lain termasuk amalan iman. Pahalanya tidak kurang dari pahala sedekah dan berbuat kebaikan. (Bahjatun Nazhirin, 1/199)
Setiap keluarga muslim tidak boleh meremehkan satu kebaikan pun sehingga ditinggalkan begitu saja, padahal dari kebaikan yang dianggap kecil itu mungkin seseorang dapat meraup pahala yang besar. (Fathul Bari, 5/146)
Abu Hurairah z mengabarkan dari Nabi n sabda beliau:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِي الْمُسْلِمِيْنَ
“Sungguh aku melihat ada seorang lelaki berpindah dari satu tempat ke tempat lain di surga (untuk berlezat-lezat dengan kenikmatannya), disebabkan sebuah pohon yang dipotongnya dari jalanan karena pohon tersebut mengganggu kaum muslimin yang lewat di jalan tersebut.” (HR. Muslim no. 6614)
Dalam satu riwayat:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيْقٍ، فَقَالَ: وَاللهِ، لَأُنـَحِّيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
Seseorang melewati dahan pohon yang berada di atas jalanan, maka ia berkata, “Demi Allah! Sungguh aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan kaum muslimin agar tidak mengganggu mereka.” Orang ini pun dimasukkan ke dalam surga. (HR. Muslim no. 6613)
Dalam riwayat al-Bukhari (no. 2472) dan Muslim (no. 4917) disebutkan bahwa Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى طَرِيْقٍ فَأَخَّرَهُ، فَشَكَرَاللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala seseorang sedang berjalan di sebuah jalanan, ia mendapati ada dahan/ranting berduri di atas jalanan. Ia pun menyingkirkannya. Allah l pun mensyukuri perbuatannya hingga Allah l mengampuninya.”
Subhanallah! Sekadar menghilangkan gangguan dari jalanan ternyata memiliki keutamaan dan teranggap sebagai amalan yang menjadi sebab pelakunya masuk surga. (Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin, 1/529)
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan keutamaan setiap perbuatan yang memberikan kemanfaatan bagi kaum muslimin dan keutamaan menghilangkan/menyingkirkan bahaya dari mereka.” (al-Minhaj, 16/386)
Masih hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيْقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيْهَا فَشَرِبَ، ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ. فَقَالَ الرُّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبُ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلَ الَّذِي كَانَ قَدْ بَلَغَ مِنِّي. فَنَزَلَ بِئْرًا فَمَلَأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيْهِ حَتَّى رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ اللهُ لَهُ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ فَقَالَ: فِي كُلِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Ketika seseorang sedang berjalan di satu jalanan, ia merasakan kehausan yang sangat. Lalu ia mendapati sebuah sumur. Ia pun turun ke dalam sumur tersebut untuk minum darinya. Setelah ia keluar dari dalam sumur, ternyata didapatinya seekor anjing sedang menjulur-julurkan lidah menjilati tanah yang basah karena hausnya. Orang itu berkata, “Sungguh anjing ini merasakan kehausan yang sangat seperti yang aku rasakan tadi.” Ia pun turun kembali ke dalam sumur, lalu dipenuhinya sepatunya dengan air kemudian ia naik dalam keadaan sepatu berisi air itu ia tahan dengan mulutnya. Setelahnya anjing itu diberinya minum. Maka Allah mensyukuri perbuatannya dan diberikanlah ampunan untuknya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah kita dapat pahala ketika berbuat baik kepada hewan?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada setiap makhluk yang hidup ada pahalanya.” (HR. al-Bukhari no. 2363, 2466, 6009, dan Muslim no. 5820)
Dalam riwayat al-Bukhari ada tambahan:
فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
“Allah pun memasukkan orang itu ke dalam surga (setelah wafatnya).”
Hadits di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak meremehkan amalan kebaikan, karena terkadang amal itu menjadi sebab diampuninya dosa. Sungguh benar Rasulullah n dengan sabdanya:
الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحِدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ
“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya.”1 (HR. al-Bukhari no. 6488)
Orang ini melakukan amalan yang ringan lalu Allah l mensyukuri perbuatannya, mengampuni dosa-dosanya, serta memasukkannya ke dalam surga. (Syarhu Riyadhush Shalihin, 1/528)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa berbuat baik kepada hewan ada pahalanya. Setiap hewan yang Anda berbuat baik kepadanya dengan memberinya minum atau makan, atau Anda melindunginya dari panas atau dari dingin, baik hewan itu milik Anda maupun milik orang lain, atau hewan liar (tidak ada pemiliknya), maka Anda beroleh pahala di sisi Allah l. Ini berbuat baik kepada hewan. Bagaimana lagi jika terhadap manusia? Apabila Anda berbuat baik kepada manusia tentu pahalanya lebih besar. Karena itulah, Nabi n bersabda:
مَنْ سَقَى مُسْلِمًا عَلَى ظَمَإٍ سَقَاهُ اللهُ مِنَ الرَّحِيْقِ الْمَخْتُوْمِ
“Siapa yang memberi minum seorang muslim yang kehausan maka Allah akan memberinya minum dari ar-rahiq al-makhtum2.”
Seandainya anak Anda yang kecil berdiri di samping kulkas seraya berkata kepada Anda, “Minta minum!” Lalu Anda beri minum si anak yang sedang haus, berarti Anda telah memberi minum seorang muslim yang sedang kehausan (walaupun anak kita sendiri). Allah l akan memberi Anda minum dari ar-rahiq al-makhtum. Sungguh ini pahala yang besar. Untuk Allah l sajalah segala pujian.
Ini adalah ghanimah (keuntungan besar). Akan tetapi, di mana orang yang mau menerimanya? Di manakah orang yang ikhlas niatnya dan berharap pahala dari Allah l? Oleh karena itu saya berpesan kepada Anda, wahai saudaraku, juga untuk diri saya sendiri, agar selalu bersemangat meraih kesempatan beramal dengan niat yang baik/ikhlas, hingga akan bertambah tabungan pahala kebaikan di sisi Allah l pada hari kiamat kelak.
Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat. Betapa banyak pula amalan yang besar menjadi kecil karena kelalaian/tidak ada keikhlasan dan tidak mengharap pahala Allah l semata.” (Syarhu Riyadhush Shalihin, 1/528—529)
Rasulullah n pernah berpesan kepada Abu Dzar z:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ
“Jangan sekali-kali engkau meremehkan kebaikan sedikitpun, walau berupa engkau bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.” (HR. Muslim no. 6633)
Dari sini kita semakin menyadari, tidaklah pantas kita meninggalkan satu kebaikan karena meremehkan atau menganggapnya kecil dan tidak berarti.
Untuk wanita muslimah, baik dari kalangan ibu-ibu ataupun remaja putri, ada pula pesan khusus Rasulullah n. Beliau bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga meremehkan untuk memberikan pemberian/hadiah kepada tetangganya walaupun hanya berupa sepotong kaki kambing.” (HR. al-Bukhari no. 6017 dan Muslim no. 2376 dari Abu Hurairah z)
Setiap keluarga muslim memiliki kesempatan untuk memperbanyak amal kebaikan, termasuk bersedekah. Sedikitnya harta yang dimiliki oleh seseorang tidaklah menjadi alasan untuk tidak bersedekah, karena sungguh banyak jalan untuk berderma. Bukankah Rasulullah n bersabda:
كُلُّ مَعْوُرْفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap perbuatan ma’ruf adalah sedekah.” (HR. Muslim no. 2325)
Di zaman Rasulullah n, ada orang-orang miskin yang mengadu:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالْأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ بِهِ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنَ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Wahai Rasulullah, orang-orang yang berharta telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sementara kami tidak punya apa-apa untuk disedekahkan).” Rasulullah n bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian apa yang dapat kalian sedekahkan? Sungguh setiap tasbih itu sedekah. Setiap takbir adalah sedekah. Setiap tahmid merupakan sedekah. Demikian pula setiap tahlil adalah sedekah. Amar ma’ruf itu sedekah. Nahi mungkar juga sedekah. Bahkan pada kemaluan kalian (atau jima yang kalian lakukan dengan istri/budak yang dimiliki) ada sedekah3.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami memuaskan syahwatnya lalu ia mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Apa pendapat kalian andai ia meletakkan kemaluannya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian pula apabila ia meletakkan kemaluannya pada yang halal, ia akan beroleh pahala.” (HR. Muslim no. 2326 dari Abu Dzar z)
Sebelum menutup lembaran ini, satu hadits lagi akan kita bawakan sebagai berita gembira bagi setiap keluarga kaum muslimin bahwa banyak cara bagi mereka untuk beroleh pahala dari Allah l. Abu Hurairah z berkata, “Rasulullah n bersabda:
ماَ مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَا أََكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ، وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ
“Tidak ada seorang muslim pun menanam sebuah pohon melainkan apa yang dimakan dari pohon tersebut merupakan sedekahnya. Apa yang dicuri dari pohon tersebut juga teranggap sedekah darinya. Apa yang dimakan oleh binatang buas dari pohon tersebut teranggap sedekahnya pula. Demikian juga yang dimakan oleh burung adalah sedekahnya. Tidaklah seseorang mengurangi (mengambil sesuatu dari) pohonnya melainkan teranggap sebagai sedekahnya.” (HR. Muslim no. 3945)
Bila demikian banyak cara mendulang pahala dan banyak jalan untuk beramal, kenapa kita sebagai keluarga muslim merasa lemah untuk beramal?
Wallahu ta’ala a’lam.

Catatan Kaki:

1 Demikianlah, surga itu mudah diperoleh dengan niat yang lurus dan amalan ketaatan. Dan terkadang amal ketaatan itu berupa amalan yang ringan. (Fathul Bari, 11/390)

2 Khamr di surga yang disebutkan oleh Allah l dalam surat al-Muthaffifin ayat 25. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/14), Abu Dawud no. 1682, dan at-Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini gharib, dan lebih tepat keadaannya mauquf, bukan marfu’.
Asy-Syaikh al-Albani mendhaifkannya dalam al-Misykat no. 2449, karena dalam sanadnya ada Athiyyah al-‘Aufi. Riwayat yang mauquf juga melalui jalan ‘Athiyyah.

3 Di sini ada dalil bahwa urusan mubah bisa menjadi amalan ketaatan apabila disertai niat yang benar. Jima’ teranggap ibadah apabila seorang suami meniatkan untuk memenuhi hak istrinya dan dalam rangka bergaul
yang ma’ruf dengan istrinya sebagaimana yang diperintahkan Allah l. Atau dia niatkan untuk beroleh anak yang saleh, atau untuk menjaga kehormatan diri, kehormatan istri, dan menahan keduanya dari melihat yang haram, berpikir tentangnya atau berkeinginan kepada yang haram, ataupun tujuan-tujuan baik lainnya. (al-Minhaj, 7/93)