Asysyariah
Asysyariah

bahaya yang mengancam keharmonisan rumah tangga

12 tahun yang lalu
baca 14 menit
Bahaya yang Mengancam  Keharmonisan Rumah Tangga

 Sesungguhnya di antara doa seorang mukmin yang diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an adalah,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

 “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)

Menurut penafsiran salaf, maksud penyejuk mata di sini bukanlah bagusnya fisik, melainkan tumbuhnya mereka dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menyebabkan mata sejuk memandangnya di dunia dan di akhirat. Al-Hasan al- Bashri rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim ketaatan istri, saudara, dan temannya kepada Allah Subhanahu wata’ala.  Sungguh, demi Allah, tiada sesuatu yang menyejukkan mata seorang muslim yang melebihi melihat anak, cucu, saudara, atau temannya taat kepada Allah Subhanahu wata’ala. (Tafsir Ibnu Katsir 3/342)

Kehidupan rumah tangga termasuk salah satu sisi kehidupan terpenting yang dilalui oleh pria dan wanita karena telah mengambil bagian yang terbesar dalam kehidupan mereka. Karena itu, apabila rumah tangga ini dibangun di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan cinta yang sejati, kecocokan yang sempurna dan saling adanya pengertian, niscaya kehidupan mereka akan bahagia.

Ketenteraman dan cinta kasih akan senantiasa menaungi kehidupan mereka. Ini artinya bahwa suami istri sedang membangun sebuah generasi yang tahu tentang arti kehidupan. Anak-anak mereka akan tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang kondusif dan dipenuhi cinta kasih.

Rumah Tangga Bahagia

Pernikahan bukan sekadar bersenangsenang menyalurkan kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan pernikahan, jenis manusia terus berlanjut keberadaannya untuk memakmurkan bumi ini sampai batas waktu yang Dia  tentukan.

Dengan pernikahan pula, seseorang akan mendapatkan ketenteraman batin dan terhindar dari penyimpangan seksual, dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

 “Di antara tanda-tanda kekuasaan- Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)

Pernikahan sebagai tali ikatan cinta yang suci antara pria dan wanita menuntut masing-masing pihak untuk menunaikan kewajibannya terhadap yang lain. Setiap pihak menjalankan tugasnya dan mampu memainkan perannya demi terwujudnya keharmonisan rumah tangga yang didambakan.

Suami, sebagai kepala keluarga berkewajiban memberikan bimbingan agama kepada istrinya serta mencukupi nafkah lahir dan batin. Adapun istri, sebagai orang yang ditugasi mengurusi rumah, diharuskan menjaga harta suami, menaatinya dalam perkara kebaikan, serta mengurusi anak dan mendidiknya. Apabila suami istri tulus menjalankan tugasnya, pahala dari Allah Subhanahu wata’ala telah menunggunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah Subhanahu wata’ala  kecuali engkau diberi pahala atasnya, sampaipun makanan dan minuman yang engkau suapkan untuk mulut istrimu.” (Muttafaqun alaihi dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda,

إِذَاصَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَاوَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa di bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan’.” (HR. Ibnu Hibban dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)

Di antara suami istri hendaknya ada saling pengertian dan tidak bersikap egois. Ketika melihat ada kekurangan dari pihak lain, janganlah hal ini dijadikan sebagai sebab untuk menanam kebencian kepadanya yang nantinya akan mengganggu keharmonisan. Ia hendaknya melihat banyak sisi kebaikannya dan kelebihan yang disandangnya. Namun, tentu tak ada masalah apabila dia berusaha memperbaiki kekurangannya dengan cara yang bijak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخِرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Apabila ia tidak menyukai suatu perangai pada dirinya, ia akan suka darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim)

Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Bimbingan dari Nabi n bagi suami dalam hal bergaul dengan istrinya ini adalah faktor terbesar untuk (mewujudkan) hubungan rumah tangga yang harmonis. Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang mukmin (suami) dari pergaulan yang jelek terhadap istrinya.

Tentunya, larangan terhadap sesuatu (mengandung) perintah untuk melakukan yang sebaliknya. Beliau memerintah suami untuk memerhatikan apa yang dimiliki oleh istrinya, berupa perangai yang indah dan hal yang sesuai dengan dirinya, lalu ia jadikan hal ini sebagai pembanding terhadap perangai istrinya yang tidak dia sukai….

Seorang yang adil akan menutup mata dari kekurangan (istrinya) karena telah lebur dalam kebaikannya yang banyak. Dengan demikian, hubungan akan tetap langgeng. Akan tertunaikan pula hakhaknya yang wajib dan yang sunnah. Boleh jadi, (dengan sikap seperti ini) seorang istri akan berusaha memperbaiki apa yang tidak disukai oleh suaminya. Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan istrinya dan (hanya) melihat kejelekannya walaupun kecil, hal ini tentu bukan sikap yang adil. Orang seperti ini kecil kemungkinannya akan bisa hidup harmonis bersama istrinya.” (Bahjah  Qulubil Abrar hlm. 101)

Demikian pula sikap seorang istri ketika melihat kekurangan yang ada pada suaminya. Adapun menuntut penampilan yang selalu prima dan pelayanan yang selalu sempurna tentu sulit, bahkan hampir-hampir mustahil.

Badai Rumah Tangga

Kadang ketenteraman rumah tangga terusik dengan adanya problem yang berasal dari pribadi suami atau istri. Hal ini membutuhkan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar bahtera rumah tangga tetap terkendali. Apabila kita telusuri, banyak sekali faktor yang memicu munculnya problem.

Dari pihak suami, misalnya, terkadang ia tidak perhatian terhadap istrinya dari sisi pemberian nafkah, pembagian giliran bermalam yang tidak adil bagi yang beristri lebih dari satu, hubungan ranjang yang tidak memuaskan (egois), kasar dan kakunya perangai terhadap istri, anak, atau mertuanya, serta kurang memedulikan kebutuhan istri dan anakanaknya berupa perasaan aman dan nyaman.

Adapun dari pihak istri, terkadang seorang suami merasa tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari istrinya. Terkadang seorang istri sibuk dengan aktivitas di luar rumah sehingga kebutuhan suaminya kurang terpenuhi. Demikian pula pendidikan terhadap anak kurang maksimal. Bisa juga karena perangai istri yang buruk dan tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan terhadap suaminya.

Intinya, apa pun faktor pemicu ketidakharmonisan tersebut sangat membutuhkan solusi yang cepat dan tepat. Mereka yang sedang dilanda masalah keluarga harusnya menyadari butuhnya mempelajari kembali kewajibankewajiban yang harus ditunaikan terhadap yang lainnya. Mereka membutuhkan bimbingan agama dan nasihat orang yang berilmu. Seorang suami hendaknya ingat firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)

Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ

“Cukup seseorang dikatakan berdosa manakala ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam Riyadhush Shalihin)

Seorang suami yang baik akan menyadari kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Dia akan membuang sikap egois dan siap menjadi suami yang perhatian terhadap istrinya, sekaligus bapak yang sayang terhadap anakanaknya dan tahu kebutuhan mereka. Seorang istri yang salehah akan selalu ingat besarnya hak suami atasnya sebagaimana sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ يَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintah seorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dan selainnya)

Dia juga tidak melakukan suatu aktivitas yang sifatnya tidak mendesak yang menyebabkan suaminya terhalangi mengungkapkan gejolak cinta yang terpendam dalam hatinya atau setidaknya mengurangi kenikmatannya. Istri salehah teringat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa padahal suaminya hadir (ada di sisinya) kecuali dengan seizinnya dan tidak boleh ia memberi izin (seorang memasuki) rumahnya kecuali dengan seizin suami.” ( HR. al-Bukhari dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Istri yang salehah juga siap mengoreksi diri demi tergapainya kebahagiaan rumah tangga. Sudah saatnya bagi suami istri untuk mempelajari agama ini secara umum dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga secara khusus, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan rumah tangga mereka.  Suami istri juga perlu selalu membangun komunikasi yang baik. Dengan demikian, ketegangan dalam rumah tangga akan hilang, setidaknya bisa diminimalisir mudaratnya.

Mewaspadai Bahaya dari Luar

Keharmonisan hidup berumah tangga adalah nikmat yang besar. Dan, setiap merasakan nikmat duniawi pasti akan selalu ada orang yang tidak menyenanginya. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Kehidupan rumah tangga beliau yang harmonis sempat diguncang oleh dahsyatnya isu yang ditiupkan oleh orang-orang munafik.

Alkisah, Rasulullah n dan para sahabat dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau waktu itu juga membawa istrinya. Di tengah perjalanan, istri beliau, Aisyah, ingin buang hajat. Rombongan pun berhenti menunggu Aisyah. Setelah selesai hajatnya, Aisyah kembali ke tengah rombongan dan naik di atas sekedupnya.

Tetapi, ia ingat bahwa kalungnya tertinggal. Dia pun turun kembali dan mencarinya. Setelah kembali lagi, ia dapatkan rombongan telah pergi jauh tak terkejar. Aisyah memutuskan untuk tetap di situ. Secara kebetulan, lewatlah sahabat Shafwan bin Mu’aththal radhiyallahu ‘anhuma yang tertinggal di belakang rombongan karena suatu keperluan. Ia pun melihat seorang wanita yang tertinggal dari rombongan.

Setelah mendekat ia pun tahu bahwa ia adalah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Shafwan mendudukkan kendaraannya lalu Aisyah menaikinya. Shafwan lantas menuntun kendaraannya hingga masuk kota Madinah tanpa ada pembicaraan antara keduanya. Orang-orang munafik memanfaatkan kejadian ini untuk menebarkan isu miring bahwa Aisyah berbuat yang tidak baik dengan Shafwan. Keharmonisan rumah tangga Nabi n pun terguncang dalam beberapa hari dan para sahabat pun ikut bersedih karenanya. Lalu Allah Subhanahu wata’ala menurunkan ayat yang menegaskan kesucian Aisyah radhiyallahu ‘anha dari apa yang dituduhkan kepadanya. (Lihat Tahdzib Sirah Ibni Hisyam hlm. 109—195)

Dari kisah tersebut kita bisa mengambil faedah, di antaranya bahwa keharmonisan rumah tangga bisa terancam karena adanya faktor dari luar. Berikut di antara faktor tersebut:

1. Setan

Kedengkian setan terhadap manusia yang sudah tertanam semenjak Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Adam di hadapan para malaikat terus muncul dari waktu ke waktu. Di antara bukti nyatanya sebagaimana tersebut dalam hadits (yang artinya),

“Setan telah berputus asa untuk disembah oleh orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia (berusaha) untuk mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim)

Juga disebutkan dalam hadits riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda (yang artinya),

“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu ia mengutus pasukannya. Yang paling dekat kedudukannya dari iblis adalah yang paling besar upaya menggodanya. Salah satu pasukannya datang (kepada iblis) lalu berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kamu belum berbuat apa-apa.’ Datang (lagi) salah satu dari mereka lalu berkata, ‘Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga aku memisahkan antara ia dan istrinya.’ Iblis mendekatkannya dan berkata, ‘Kamu bagus’.” ( HR. Ahmad 3/314 dan Muslim)

Tujuan Iblis terbesar adalah memutuskan keturunan manusia sehingga lenyap keberadaannya dan menjatuhkan manusia ke dalam perzinaan yang merupakan dosa besar yang paling jahat. (Faidhul Qadir 2/517)

Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dari godaan setan.

2. Orang yang iri dan tidak suka melihat keharmonisan rumah tangga orang lain

Rasa iri orang semacam ini terkadang semata-mata ingin agar suami istri itu ribut dan bercerai. Ada pula orang yang sifat irinya diikuti keinginan untuk terjadinya perceraian lalu ia akan menikah dengan salah satunya. Orang yang iri terkadang tega melakukan cara-cara yang bengis dan keji, seperti pembunuhan atau menyampaikan berita dusta kepada salah satu dari suami istri, sehingga timbul percekcokan yang berujung perceraian padahal berita itu belum ditelusuri kebenarannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

مَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 325)

Semoga Allah Subhanahu wata’ala melindungi kita dari kejahatan orang yang hasad/iri dengki.

3. Bermudah-mudah dengan ipar

Tidak sedikit suami bermudah-mudah dengan saudara perempuan istrinya, demikian pula seorang istri dengan saudara laki-laki suaminya. Terkadang mereka masuk kepada yang lain berduaan saja padahal bukan mahramnya. Dalam benak sebagian orang, hal itu dianggap perkara lumrah dan tidak akan terjadi apa-apa, toh itu hanya ipar. Kenyataannya, tidak sedikit keharmonisan keluarga menjadi hancur berantakan karena sikap bermudah-mudah yang seperti ini.

Bahkan, dalam kondisi tertentu sampai terjadi pertumpahan darah karenanya dan terputusnya tali silaturahmi. Ini semua akibat melanggar tuntunan agama. Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang lelaki besepisepian dengan seorang wanita kecuali bersama wanita itu ada mahramnya.” (Muttafaqun ’alaihi)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda (yang artinya),

“Hati-hatilah kalian dari masuk kepada para wanita!” Ada seorang lelaki dari Anshar bertanya, “Apa pendapat Anda tentang al-hamwu (ipar dan kerabat suami)?” Nabi bersabda, “Al-hamwu itu maut.” (Muttafaqun ’alaihi)

Maksudnya, masuknya ipar atau kerabat suami kepada wanita itu seperti maut, yaitu membinasakan.

Al – Munawi rahimahullah berkata ,“Diserupakan dengan maut dari sisi sama kejelekannya dan merusaknya sehingga hal ini sangat diharamkan…. Masuknya ipar kepada wanita akan mengantarkan kepada kematian agama atau kematian (berakhirnya) wanita itu karena diceraikan saat suaminya cemburu atau dirajamnya ia apabila berzina dengan ipar.” (Faidhul Qadir 3/160)

4. Mertua

Terkadang seorang mertua mendengar problem anaknya dengan suami/istrinya. Tidak jarang, seorang mertua memberikan pembelaan terhadap anaknya tanpa melihat yang benar. Karena campur tangan mertua yang tidak mencarikan solusi yang terbaik, permasalahan semakin melebar dan perselisihan semakin tajam. Padahal yang seharusnya dilakukan oleh mertua adalah mencari jalan agar suasana menjadi sejuk.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari marah kepada istrinya, Fathimah, putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Ali keluar menuju masjid dan berbaring dengan bersandar ke tembok masjid. Nabi n datang menemui Ali yang saat itu punggungnya penuh dengan debu. Rasulullah n mengusap debu dari punggung Ali dan memintanya untuk duduk. (lihat Shahih al-Bukhari no. 6204)

Seperti inilah seorang mertua yang bijak, berusaha untuk memadamkan api kemarahan dan mendinginkan suasana.

5. Pergaulan yang tidak selektif

Tidak semua orang pantas untuk dijadikan teman bergaul karena ada jenis manusia yang memiliki perangai jahat. Sementara itu, agama seseorang sangat dipengaruhi oleh teman sepergaulannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang mengikuti agama (perangai) teman sepergaulannya, maka hendaknya seorang dari kalian melihat orang yang ia jadikan teman.” ( HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Asy- Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)

Parahnya, seorang lelaki terkadang menjalin pertemanan dengan perempuan yang bukan mahram, demikian pula sebaliknya. Terkadang juga mereka bercerita/curhat tentang problem rumah tangga masing-masing. Akibatnya, seorang wanita berani bersikap kasar terhadap suaminya dan seorang suami sudah tidak peduli lagi dengan istrinya. Bahkan, ada yang sampai terjadi perzinaan dengan teman curhatnya. Wal ‘iyadzu billah.

Sungguh, ketika keimanan telah menipis dan nyaris hilang serta sifat malu menjadi suatu yang langka, sudah semestinya seseorang berhati-hati demi keselamatan agamanya dan keharmonisan rumah tangganya. Jangan menjadi orang yang latah dan hanya ikut-ikutan.

Waspadalah dari bahaya yang mengancam, seperti bergabung dengan situs jejaring sosial yang kadang dimanfaatkan untuk kejahatan. Akhirnya, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi taufik kepada seluruh muslimin baik rakyat maupun penguasanya untuk kembali kepada jalan-Nya yang lurus demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan Doa.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.