Ada beberapa aturan atau hukum yang diatur oleh syariat dalam hal poligami, di antaranya:
1. Tidak boleh mengumpulkan dua perempuan bersaudara dalam ikatan pernikahan.
Artinya, seorang lelaki tidak boleh menikahi seorang perempuan kemudian menikahi lagi saudara perempuan istri, yakni iparnya. Sama saja, apakah itu adik atau kakak ipar, sekandung, seayah, atau seibu dengan istri, lalu keduanya dikumpulkan dalam pernikahan (dijadikan madu satu dengan yang lainnya).
Ketika Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan tentang perempuan-perempuan yang haram dinikahi, termasuk yang haram dilakukan adalah,
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan kalian mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara, terkecuali apa yang telah lalu.” (an-Nisa: 23)
Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, seorang ummul mukminin, pernah berkata kepada suaminya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apakah kamu menyenangi hal itu1?” “Iya. Toh, saya tidak sendirian sebagai istrimu, saya dapati saya punya madu (istri-istrimu yang lain),” jawab Ummu Habibah. “Aku suka saudara perempuanku ikut menyertaiku dalam kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh hal itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah berkata lagi, “Kami membicarakan bahwa Anda ingin menikahi putri Abu Salamah.” “Putri Ummu Salamah?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkan. “Iya,” jawab Ummu Habibah. Rasulullah n menjelaskan, “Andainya pun ia bukan rabibahku (putri istriku) yang dalam asuhanku, ia tetap tidak halal bagiku, karena ia adalah putri dari saudara laki-lakiku sesusuan. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah (budak Abu Lahab). Janganlah kalian (para istriku) menawarkan kepadaku (untuk kunikahi) putri-putri kalian dan jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.” (HR. al-Bukhari no. 5101 dan Muslim no. 3571)
2. Tidak boleh mengumpulkan istri dengan bibinya, dari pihak ayah ataupun ibu (‘ammah dan khalah) dalam pernikahan.
Berarti, tidak boleh setelah menikahi si istri lalu menikahi bibinya, atau sebaliknya, menikah dulu dengan si bibi lalu menikahi keponakannya. Demikian pendapat yang rajih, dan ini adalah pendapat jumhur ulama (Fathul Bari, 9/202).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
نَهَى النَّبِيُّ أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَالْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang perempuan dinikahi setelah ‘ammahnya dan seorang perempuan dinikahi setelah memperistri khalahnya.” (HR. al- Bukhari no. 5110 dan Muslim no. 3429)
Yang haram hanyalah apabila mereka disatukan dalam pernikahan, yakni dijadikan madu. Adapun apabila istrinya sudah meninggal atau bercerai darinya, tidak apa-apa si suami menikahi adik perempuan, kakak perempuan, atau bibi istrinya.
3. Boleh memberikan mahar yang berbeda antara satu istri dan istri yang lain, baik dalam hal jumlah atau macamnya.
Dalilnya apa yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal pemberian mahar pernikahannya dengan istri-istri beliau. Beliau tidaklah menyamakan satu istri dengan istri yang lain. Ketika menikahi Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Raja Najasyi menyerahkan mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebesar empat ribu dirham5. (HR. Abu Dawud no. 2107, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah bintu Huyai radhiyallahu ‘anha dari perbudakan dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maharnya. (HR. al-Bukhari no. 5086 dan Muslim no. 3482)
4. Boleh menyelenggarakan walimah pernikahan dengan seorang istri lebih meriah daripada walimah pernikahan dengan istri yang lain.
Tsabit al-Bunani, seorang tabi’in yang mulia dan murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, mengatakan, “Disebut-sebut tentang pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha di sisi Anas radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi n menyelenggarakan walimah pernikahan beliau dengan salah satu dari istri-istri beliau melebihi walimah yang diadakannya saat menikahi Zainab’.” (HR. al-Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 3489)
Al-Kirmani mengatakan, bisa jadi, sebab Zainab radhiyallahu ‘anha dilebihkan dalam walimah daripada istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wata’ala atas nikmat yang dilimpahkan kepada beliau, yaitu Allah Subhanahu wata’ala menikahkan Zainab dengan beliau lewat wahyu. (Fathul Bari, 9/296)
5. Setiap istri ditempatkan di rumah tersendiri karena demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wata’ala menyatakan dalam al- Qur’an,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Tetaplah kalian (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kalian.” (al-Ahzab: 33)
Demikian pula ayat,
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
“Dan ingatlah apa yang dibacakan dalam rumah-rumah kalian dari ayatayat Allah dan hikmah….” (al-Ahzab: 34)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wata’ala menyebutkan lafadz buyut (bentuk jamak dari kata bait) yang bermakna rumah rumah, yang berarti rumah Nabi tidak hanya satu, tetapi berbilang.
Hadits – hadits juga banyak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan istri-istri beliau dalam rumah yang terpisah. Di antaranya hadits Aisyah berikut ini radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ,كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتِ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَة حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Saat sakit yang mengantarkan kepada kematian Rasulullah n, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. ( HR. al- Bukhari no. 5217)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah salah seorang istrinya, istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya.” (HR. al-Bukhari no. 5225)]
Para istri sebaiknya ditempatkan di rumah tersendiri karena berkumpulnya mereka rawan memunculkan kecemburuan dan pertikaian. Dikhawatirkan saat suami menggauli salah satu istrinya, istri yang lain akan melihatnya. Demikian kata al- Hasan al-Bashri rahimahullah. (al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, 4/388)
6. Boleh menempatkan istri-istri dalam satu rumah apabila mereka ridha.
Al-Imam Ibnu Qudamah t menerangkan, “Tidak boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, karena mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan. Apabila keduanya
dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika suaminya “mendatangi” istri yang lain. Namun, jika kedua istri ridha, hal itu dibolehkan.
Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya. Demikian pula, apabila keduanya ridha suami tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Namun, apabila keduanya ridha suami mencampuri salah satunya dan yang lainnya menyaksikan, hal ini tidaklah diperbolehkan. Sebab, hal ini adalah perbuatan yang rendah, tidak pantas, dan menjatuhkan kehormatan. Karena itu, walaupun keduanya ridha, tetap tidak diperkenankan. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl an Yajma’a Baina Imra’ataihi fi Maskan Wahid”)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan bolehnya mengumpulkan istri dalam satu rumah apabila mereka ridha. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/140)
7 . Seorang istri boleh mengirimkan hadiah kepada suaminya saat si suami sedang berada di rumah istri yang lain.
Dalil kita adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan tentang seorang ummul mukminin yang mengirimkan hadiah sepiring makanan kepada Rasulullah n saat beliau berada di rumah istri beliau yang lain, dan beliau tidak mengingkari perbuatan tersebut.
8. Suami harus berlaku adil dalam hal nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Demikian pula dalam urusan mabit (bermalam), dijatahnya istri-istrinya, malam dan siangnya dengan adil.
Suami bisa menggilir semalamsemalam, atau sesuai kesepakatan yang ada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri membagi giliran istri-istrinya sehari semalam, sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
وَكَانَ يَقْسِمُ لِكُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا غَيْرَ أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا وَلَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ النَّبِيِّ, تَبْتَغِي بِذَلِكَ رِضَا زَوْجِ رَسُوْلِ اللهِ
“Beliau membagi giliran setiap istrinya sehari semalam, kecuali Saudah bintu Zam’ah, ia telah menghadiahkan hari dan malamnya untuk Aisyah guna mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. al-Bukhari no. 2688)
Apabila seorang istri ditambah hari gilirannya, istri yang lain pun ditambah, berdasar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha saat pengantin barunya,
إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ لَكِ وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي
“Apabila engkau mau, aku akan mencukupkan tujuh hari bersamamu. Namun, kalau aku memberikan waktu tujuh hari denganmu, berarti aku juga memberikan tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.” (HR. Muslim no. 3606)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata ketika menjelaskan ucapan al-Khiraqi, “Masalah: Sandaran pembagian giliran adalah malam hari”, “
Tidak ada perselisihan dalam hal ini, karena waktu malam itu untuk istirahat/menenangkan diri dan berdiam. Seseorang berdiam di rumahnya pada waktu malam, menenangkan diri dengan keluarganya, dan biasanya tidur di tempat tidurnya bersama istrinya. Adapun siang hari adalah waktu untuk mengurusi penghidupan, keluar rumah, mencari rezeki, dan menyibukkan diri. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا
“Dan Dia menjadikan malam sebagai waktu ketenangan.” (al-An’am: 96)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا () وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Kami menjadikan malam sebagai pakaian dan siang untuk mengurusi penghidupan.” (an-Naba: 10—11)
وَمِن رَّحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Termasuk rahmat-Nya, Dia menjadikan bagi kalian malam dan siang agar kalian mendapatkan ketenangan di dalamnya (di waktu malam) dan agar kalian bisa mencari sebagian keutamaan- Nya (pada siang hari).” (al-Qashash: 73)
Berdasarkan hal ini, seorang lelaki membagi giliran di antara istrinya semalam demi semalam, sedangkan siang harinya ia mengurusi pekerjaan, memenuhi hakhak manusia, dan melakukan urusan mubah yang dia inginkan. Berbeda halnya apabila ia termasuk orang yang bekerja di waktu malam, seperti penjaga keamanan (satpam) dan yang semisalnya, ia menunaikan giliran istri-istrinya di siang hari, sedangkan malam hari baginya seperti siang bagi orang lain.” (al- Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “Fashl at-Taswiyah baina an-Nisa fin Nafaqah wal Kiswah”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, malam menjadi sandaran giliran di saat seseorang bermukim. Adapun saat safar, patokan giliran adalah saat singgah di suatu tempat. (Fathul Bari, 9/386)
Namun, riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyebutkan Saudah menghadiahkan malam dan siangnya untuk Aisyah, menunjukkan siang juga masuk dalam pembagian mengikuti malam. Yang dimaksud dengan siang hari adalah hari yang mengikuti malam yang sudah lewat. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, fashl an-Nahar Yadkhulu fil Qism Taba’an Lil lail)
9. Istri yang sedang haid, nifas, atau sakit juga tetap mendapat pembagian giliran.
Demikian yang dinyatakan oleh ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah ( al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Yuqsamu lil Maridhah…”).
Al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan demikian. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bermalam di rumah istri beliau yang haid dan tidur bersamanya. Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin bercampur (selain jima’) dengannya, beliau perintahkan si istri untuk bersarung (menutupi tubuh bagian bawah), lalu beliau pun mencampurinya. Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menguasainya?” (HR. al-Bukhari no. 302 dan Muslim no. 677)
Maimunah radhiyallahu ‘anha pun memberitakan sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah x. (HR. al-Bukhari no. 303 dan Muslim no. 678)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Wajib bagi suami berlaku adil di antara istri-istrinya. Setiap istri berhak mendapatkan giliran sehari semalam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebagian ulama berpendapat, giliran hanya wajib pada malam hari, tidak pada siang hari. Hak istri tidak gugur pada saat sakit dan haid. Suami harus berada di samping istrinya pada hari gilirannya dan malamnya. Wajib bagi suami berlaku adil di antara para istri di saat sakit (suami) sebagaimana yang ia lakukan di saat sehatnya. Lain halnya jika ia tidak kuasa untuk bergerak, maka ia tinggal di rumah istrinya tempat ia jatuh sakit (yang membuatnya tidak bisa bergerak/ sakit parah) di situ. Apabila telah sehat, ia memulai lagi giliran yang baru. (al- Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/139)
10. Bermalam di samping seorang istri tidak berarti harus jima’ dengannya.
Yang penting, si suami bermalam di rumah istri tersebut, maka hal tersebut sudah mencukupi. Namun, tentu disenangi apabila suami tidak menyia-nyiakan istrinya. (al-Minhaj, 9/288)
1 1 . Suami tidak wajib menyamakan istri-istrinya dalam hal cinta, kecondongan hati, dan jima’. Namun, apabila suami bisa menyamakan, hal itu baik dalam tinjauan keadilan. Kalaupun tidak, tidak ada dosa bagi suami.
12. Tidak boleh mendahulukan satu istri selain dalam hal awal mendapatkan giliran sehingga dilakukan undian, kecuali apabila para istri ridha mengikuti kehendak suami, siapa istri yang digilirnya terlebih dahulu.
Disebutkan dalam al-Majmu’, (18/110), “Apabila suami hendak membagi giliran (di antara para istrinya) ia tidak boleh memulai dari salah seorang istri tanpa keridhaan istri-istri yang lain, kecuali dengan undian. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Siapa yang memiliki dua istri lalu condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil), maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017)
Selain itu, memulai dari salah seorang istri tanpa melakukan undian akan mengundang perasaan tidak suka/iri. Apabila ia mengutamakan satu istrinya dalam hal giliran baik dengan undian maupun tidak, ia wajib mengqadha (menggantinya) untuk istri-istri yang lain. Sebab, kalau ia tidak qadha berarti ia telah condong/melebihkan salah seorang istrinya dari yang lain sehingga ia masuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits.”
13. Saat giliran seorang istri, maka pada malam hari suami tidak boleh pergi ke rumah istrinya yang lain kecuali karena suatu keperluan yang darurat. Apabila sampai suami melakukannya, hal itu adalah pelanggaran terhadap sikap adil.
Dalilnya adalah kisah malam giliran Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan Aisyah untuk memenuhi ajakan Jibril ziarah ke Baqi’, namun disangka oleh Aisyah hendak ke tempat istri yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu menyatakan, “Apakah engkau menyangka Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu7?” (HR. Muslim no. 974)
Darurat yang dimaksud contohnya sakit, atau si madu dikhawatirkan meninggal, atau ia dipaksa oleh penguasa untuk ke tempat madu istrinya. Apabila demikian, ia boleh keluar dan wajib baginya mengqadha waktu yang terpotong dari istri yang punya hak giliran. (al- Majmu’, 18/119)
14. Boleh para istri berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran untuk bercerita atau berbincang-bincang sampai datang waktu tidur, kemudian masing-masing pulang ke rumah mereka. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Hal ini dilakukan oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا
“Mereka (para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 3613)
15. Hukum asalnya dan yang lebih utama, suami menggilir istriistrinya dengan mendatangi mereka di rumah masing-masing, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini lebih bagus dari sisi pergaulan suami istri, lebih menjaga istri, dan lebih menutupinya. Namun, apabila suami memiliki tempat atau kamar khusus, kemudian memanggil istri yang sedang memperoleh giliran ke tempatnya, hal itu dibolehkan. Sebab, memindahkan istri ke mana saja yang ia inginkan adalah hak suami, dan sudah menjadi kewajiban bagi istri untuk mengikuti suaminya. (al-Mughni, “Kitab ‘Isyratun Nisa”, “fashl Al-Aula an Yakuna li Kulli Wahidah min hunna Maskan”, dan al- Minhaj, 10/289)
16. Tidak boleh menggauli istri yang bukan gilirannya kecuali dengan keridhaan istri yang sedang memperoleh giliran.
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan kepadakeponakannya, Urwah bin az-Zubair, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak mengutamakan sebagian kami dari yang lain dalam hal berdiamnya beliau di sisi kami saat pembagian giliran. Hampir setiap hari beliau berkeliling ke tempat kami seluruhnya, lalu beliau mendekati setiap istrinya tanpa melakukan jima’. Tatkala beliau sampai ke rumah istri yang mendapat giliran hari itu, beliau pun bermalam di rumahnya.” (HR. Abu Dawud no. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Abi Dawud)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, boleh bagi suami untuk masuk menemui istri-istrinya seluruhnya pada hari giliran salah seorang dari mereka, tetapi ia tidak boleh menggauli istri yang bukan hari gilirannya. (Zadul Ma’ad, 4/20)
Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah juga menyatakan demikian. Jadi, suami dibolehkan bermesraan, menyentuh/ meraba, dan mencium istri yang bukan gilirannya (asal bukan jima’). (Subulus Salam, 6/145)
17. Seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada madunya.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anha yang memberikan hari dan malamnya untuk Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. al-Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
18. Mengundi para istri apabila ada yang hendak dibawa safar.
Walaupun dalam masalah ini adaperbedaan pendapat, antara yang mengatakan wajib diundi, seperti al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, dan yang berpendapat tidak wajib (Subulus Salam 6/146)9, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Apabila ingin safar, beliau n mengundi di antara istri istrinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, beliau membawanya dalam safar. (HR. al- Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Suami tidak boleh mengkhususkan salah seorang istrinya untuk safar bersamanya kecuali dengan undian.” (al-Muhalla, 10/63)
Setelah pulang dari safar yang sebelumnya dilakukan undian untuk menentukan istri mana yang akan diajak, si suami tidak mengqadha giliran untuk istri yang tidak diajak safar.
Demikian pendapat kebanyakan ulama. Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan alasan seperti itu dalam Zadul Ma’ad.
Adapun kalau safarnya tanpa undian, dibawa siapa saja dari istri yang diinginkan oleh suami, Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan tiga pendapat, apakah suami harus mengqadha untuk istri yang tidak diajak safar ataukah tidak.
1. Tidak mengqadha, sama saja dilakukan undian atau tanpa undian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan al-Imam Malik.
2. Diqadha untuk istri-istri yang ditinggal dan tidak diajak safar, sama saja apakah dilakukan undian atau tidak. Ini adalah mazhab Zhahiri.
3. Kalau dilakukan undian, suami tidak mengqadha; apabila tanpa undian, suami harus mengqadha. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan asy- Syafi’i. Wallahu a’lam. (Zadul Ma’ad, 4/20)
19. Seorang perempuan dibenci “memanas-manasi” madunya dengan apa yang tidak ada padanya.
Ketika ada seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, saya memiliki madu. Apakah saya berdosa apabila saya mengatakan kepadanya bahwa saya diberikan harta ini-itu dari suamiku, padahal sebenarnya suamiku tidak memberikannya?” Rasulullah rahimahullah menjawab,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Orang yang berhias-hias (mengakungaku) dengan apa yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. al- Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 5549 dari Asma radhiyallahu ‘anha)
Biasanya, perempuan melakukannya karena ingin membuat marah atau memanas-manasi madunya (Fathul Bari, 9/394 ).
Perbuatan seperti ini jelas tercela Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang tidak wajibnya membagi sama rata di antara para istri dalam urusan jima’ (berhubungan badan).”
Mampu Bersikap Adil Adalah Nikmat Menikah lebih dari satu istri bagi yang mampu adalah sebuah kelebihan. Namun, hal itu haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu disertai kewajiban menghindari sikap-sikap yang tercela. Ia harus mengedepankan sikap adil dan menjauhi bentuk-bentuk kezaliman.
Al – Imam Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Nikmat Allah Subhanahu wata’ala terbesar kepada seorang hamba adalah dimudahkan untuk memiliki sikap adil dan cinta kepada keadilan, serta dimudahkan untuk berada di atas kebenaran dan cinta kepada kebenaran.” (Mudawatun Nufus hlm. 90) Semoga Allah Subhanahu wata’ala memudahkan setiap hamba yang berusaha menegakkan sunnah Nabi-Nya. Wallahul muwaffiq.
Ditulis oleh Al Ustadz Muslim Abu Ishaq al Atsari