Dalam kehidupan rumah tangga, dusta kepada pasangan barangkali telah menjadi hal lumrah. Lebih-lebih bila aroma perselingkuhan sudah merebak di antara mereka. Tak pelak, rasa percaya dan cinta pun akan terurai menjadi kebencian yang berujung pada kehancuran rumah tangga. Namun, dalam keadaan tertentu, dusta terkadang boleh dilakukan suami/istri. Kapan? Simak bahasan berikut.
Saat menjalani kehidupan ini, insan yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir dituntut untuk senantiasa jujur dalam ucapan dan perbuatan. Sebab, kejujuran adalah sifat yang terpuji dalam syariat Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun dusta, lawan dari jujur, adalah sifat yang tercela.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan umatnya untuk berakhlak jujur melalui sabdanya yang mulia,
“Wajib bagi kalian untuk jujur, karena kejujuran akan membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga. Terus-menerus seorang hamba berlaku jujur dan membiasakan sifat ini hingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang shiddiq (jujur).
Hati-hati kalian dari dusta karena dusta akan membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka. Terus-menerus seorang hamba berdusta dan membiasakan sifat ini hingga tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. al-Bukhari no. 6094, Kitab al-Adab, bab Qaulillahi Ta‘ala “Ya Ayyuhal ladzina Amanu ittaqullaha wa Kunu Ma’ash Shadiqin” dan Muslim no. 2607, Kitab al-Birr wash Shilah, bab Qabhul Kadzib wa Husnush Shidq wa Fadhluh.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa kejujuran adalah asas yang berkonsekuensi kebaikan, sementara dusta adalah asas yang berkonsekuensi kejahatan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang baik berada dalam kenikmatan, sedangkan orang-orang jahat berada dalam neraka jahannam.” (al-Infithar: 13—14) (Makarimul Akhlaq, Ibnu Taimiyah, hlm. 126)
Saat menjalani kehidupan berumah tangga, suami dan istri dituntut untuk berpegang dengan sifat jujur dan menjauhi lawannya. Sebab, kejujuran akan mengakibatkan jalannya rumah tangga menjadi lebih baik. Sebaliknya, ketidakjujuran pada akhirnya akan menghancurkan rumah tangga.
Bisa dibayangkan apabila sebuah rumah tangga yang sepasang suami istri tidak jujur kepada pasangan hidupnya. Si istri meminta izin kepada suaminya untuk menghadiri majelis taklim, misalnya. Akan tetapi, ternyata dia keluar rumah tidak hanya hadir di majelis taklim sebagaimana permintaan izinnya kepada suami. Ia malah mampir ke swalayan, jalan-jalan di mall, singgah di rumah teman, ngobrol, dan sebagainya.
Semestinya dia sudah kembali di rumah sebelum zuhur. Akan tetapi, karena mampir ke mana-mana, baru tiba di rumah sore hari. Ia pun mengarang cerita dusta agar suaminya tidak menggerutui keterlambatannya.
Contoh lain, seorang istri membelanjakan harta suaminya dengan seenaknya. Ketika ditanyakan oleh suami, ia berdusta menyebutkan kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Dua contoh di atas, jelas tidak pantas dilakukan oleh seorang istri. Semestinya ia jujur kepada suaminya dalam hal ucapan maupun perbuatannya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menasihati para istri, “Jujurlah Anda kepada suami Anda dalam segala sesuatu, terkhusus tentang apa yang terjadi ketika suami sedang di luar rumah.
Jauhilah dusta dan kepalsuan. Apabila dapat tertutupi satu kali, dusta akan terus dilakukan hingga tersingkap dan akhirnya menghilangkan kepercayaan. Apabila kepercayaan telah hilang, niscaya sebuah rumah tangga tidak akan menjadi tempat ketenangan yang menggembirakan. Tidak pula menjadi tempat tarbiyah yang baik.” (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatil Usrah, hlm. 6)[1]
Menjaga Mawaddah dan Rahmah dalam Rumah Tangga
Ketika bergaul dengan istri, seorang suami semestinya berlaku lembut. Ia
berbicara dengan ucapan yang baik dan dapat menyenangkan istrinya serta menenangkan pikirannya. Perbuatan seperti ini adalah salah satu faktor yang menjadikan cinta istri kepada suaminya tetap bersemi.
Istri pun seharusnya berbuat demikian. Ia berbicara dengan suaminya dengan ucapan yang baik yang dapat menyenangkannya, menenangkan pikiran, dan menggembirakan hatinya. Ini juga merupakan sebab tumbuhnya cinta suami kepada istrinya.
Syariat menghendaki keadaan yang penuh ketenangan, kebahagiaan, cinta, dan kasih sayang dalam sebuah rumah tangga, antara suami dan istrinya serta penghuni rumah lainnya.
Karena itulah, syariat menetapkan aturan agar “keindahan” dalam rumah tangga tetap langgeng. Salah satunya, pada kondisi tertentu, seorang suami atau istri terpaksa tidak berkata jujur kepada pasangannya.
Syariat tidak menyalahkan perbuatan tersebut, selama tidak bertujuan untuk menggugurkan hak istri atau hak suami. Tidak pula bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan hak suami atau istri. Demikian dinyatakan al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah. (Fathul Bari, 5/367)
Contohnya, dengan berlebih-lebihan, suami menggambarkan rasa cintanya kepada si istri dan menyanjung kecantikan istrinya di hadapan si istri. Atau sebaliknya, seorang istri secara berlebih-lebihan mengungkapkan cintanya kepada si suami, berlebih-lebihan memuji sifat keperwiraan sang suami, dan semisalnya. Padahal kenyataannya tidaklah seperti yang diungkapkan dan digambarkan.
Dusta yang semacam ini tidaklah tercela karena bertujuan menyenangkan hati pasangannya, ingin menjaga rasa cinta, dan terus memupuknya agar tetap bersemi indah di dalam jiwa.
Ibnu Hazm rahimahullah menyatakan, “Tidak apa-apa salah seorang dari sepasang suami istri berdusta kepada pasangannya dalam hal yang akan mendatangkan rasa cinta di antara keduanya.” (al-Muhalla, 9/229)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan untuk dusta yang semacam ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan dalam hal dusta dalam rangka memperbaiki hubungan di antara hamba Allah subhanahu wa ta’ala.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu’ith x, salah seorang sahabiyah yang ikut berhijrah di awal Islam dan berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan apa yang pernah didengarnya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Bukanlah pendusta[2], seseorang yang melakukan ishlah (perbaikan) di antara manusia, ia mengatakan kebaikan dan menumbuhkan kebaikan.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2692, kitab ash-Shulh, bab Laisal Kadzib alladzi Yushlihu bainan Nasi; dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2605, kitab al-Birr wash Shilah, bab Tahrimul Kadzib wa Bayanul Mubah minhu)
Ibnu Syihab az-Zuhri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhshah (keringanan) untuk satu kedustaan dalam ucapan manusia kecuali dalam tiga hal: (1) berdusta dalam peperangan, (2) berdusta dalam rangka meng-ishlah (memperbaiki hubungan) di antara manusia, dan (3) pembicaraan seorang suami dengan istrinya dan pembicaraan seorang istri dengan suaminya.”[3]
Asma’ bintu Yazid x berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal berdusta kecuali pada tiga keadaan; (1) seorang suami berbicara dengan istrinya untuk membuat istrinya ridha/senang, (2) dusta dalam peperangan, dan (3) dusta untuk mengishlah/memperbaiki di antara manusia.” (HR. Ahmad 6/459, 461 dan at-Tirmidzi no. 1939, bab Ma Ja’a fi Ishlahi Dzatil Baini; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 545.)
Dalam satu riwayat, “Perkataan suami kepada istrinya dan perkataan istri kepada suaminya.”
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan dusta yang dibolehkan dalam hadits di atas. Sebagian berpendapat, dusta yang sebenarnya/hakiki. Sebagian lainnya berpendapat, tidak boleh berdusta sama sekali dalam satu urusan pun.
Adapun dusta yang dimaksudkan dalam hadits adalah tauriyah. Artinya, seseorang berkata kepada lawan bicaranya dengan ucapan yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi ada sisi benarnya. Ia maksudkan lain, sementara lawan bicaranya memahami lain sesuai dengan zahir ucapannya.
Misalnya, ia berkata kepada seseorang “Si Fulan itu memujimu.” Padahal yang ia maksud: Si Fulan memuji orang yang sejenismu atau semisalmu dari kalangan muslimin. Sebab, setiap orang memuji kaum muslimin tanpa menyebut individu per individu secara khusus.
Atau ia berkata, “Si Fulan mendoakan kebaikan untukmu.” Padahal yang ia maksudkan adalah engkau masuk dalam doa si Fulan yang diucapkan ketika duduk tasyahud dalam shalatnya[4], karena engkau termasuk hamba Allah subhanahu wa ta’ala.
Contoh yang lain, seorang suami berjanji kepada istrinya untuk memberinya sesuatu, sementara ia maksudkan bahwa pemberian itu diberikan apabila Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya. (Syarhu Muslim, 16/158, Fathul Bari, 5/367, Syarhu Riyadhish Shalihin, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 2/30—31)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, walaupun pada asalnya diharamkan, namun pada kondisi tertentu dusta dibolehkan, dengan syarat yang telah aku jelaskan dalam kitab al-Adzkar. Ringkasnya, ucapan adalah perantara kepada tujuan/maksud. Karena itu, setiap tujuan/maksud terpuji yang mungkin dicapai tanpa berdusta, maka diharamkan untuk berdusta.
Namun, apabila tidak mungkin dicapai kecuali dengan berdusta, berdusta dibolehkan.
Selanjutnya, apabila pencapaian maksud tersebut sifatnya mubah, dusta itu hukumnya mubah. Namun, jika sifatnya wajib, dusta dalam hal ini menjadi wajib. Apabila seorang muslim bersembunyi dari seorang zalim yang hendak membunuh atau mengambil hartanya, ia pun menyembunyikan hartanya. Jika kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada muslim tersebut, ia wajib berdusta untuk menyembunyikannya.
Demikian pula apabila dititipi sesuatu (oleh orang lain), sementara ada orang zalim yang ingin mengambilnya. Ia wajib berdusta untuk menyembunyikannya.
Namun, yang lebih hati-hati dari semua ini adalah melakukan tauriyah. Ucapannya dimaksudkan dengan maksud yang benar. Dari sisi ini, ia tidak berdusta, meski secara zahir, lafadz, dan apa yang dipahami oleh lawan bicara, ia berdusta. Seandainya ia tidak bertauriyah dan ia menyebutkan ungkapan yang dusta, pada keadaan ini tidaklah diharamkan.” (Riyadhus Shalihin, bab Bayanu ma Yajuzu minal Kadzib, hlm. 459)
Termasuk maslahat besar yang ingin dicapai adalah langgengnya kebersamaan dan kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga. Karena itu, apabila diperlukan, tidak apa-apa berbicara yang tidak sebenarnya kepada pasangan hidupnya.
Namun, sekali lagi yang tidak boleh dilupakan, dusta tersebut dilakukan dalam rangka menampakkan rasa cinta dan memberi janji yang tidak terkait dengan kewajiban atau semisalnya.
Jika dusta itu mengandung penipuan untuk menghalangi tersampaikannya hak suami atau hak istri, atau bertujuan mengambil sesuatu yang bukan hak si suami atau hak si istri, dusta seperti ini haram dengan kesepakatan ulama. (Syarhu Muslim, 16/158)
Al-Khaththabi rahimahullah menyatakan, “Dusta suami kepada istrinya misalnya dengan menjanjikan sesuatu kepada si istri dan menampakkan kepada si istri rasa cinta yang lebih dari apa yang ada dalam jiwanya. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan kebersamaan dengan pasangannya dan membaikkan budi pekertinya.” (Aunul Ma’bud)
Namun, kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal seperti ini tidak boleh sering dilakukan. Sebab, apabila suatu ketika didapati kenyataan tidak seperti yang diucapkan, terkadang keadaannya terbalik. Inginnya menyenangkan pasangan hidup, namun yang terjadi sebaliknya. Ia marah dan kehilangan kepercayaan. (Syarhu Riyadhish Shalihin 2/30) Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Ceramah ilmiah yang disampaikan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan pada 6 Dzulqa’dah 1411 H, dan kami mengambilnya dari www.alfauzan.net.
[2] Yakni dusta yang tercela. (Syarhu Muslim 16/157)
[3] HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 2605, kitab al-Birr wash Shilah, bab Tahrimul Kadzib wa Bayanul Mubahminhu. Dalam riwayat al-Imam Ahmad 6/404, disebutkan bahwa Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x berkata,
رَخَّصَ النَّبِيُّ مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ :فِي الْحَرْبِ، وَفِي اْلإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ. وَفِي رِوَايَةٍ :وَحَدِيْثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيْثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rukhshah (keringanan) untuk dusta dalam tiga hal: (1) berdusta dalam peperangan, (2) berdusta dalam rangka mengishlah (memperbaiki hubungan) di antara manusia dan (3) pembicaraan seorang suami kepada istrinya.”
[4] Yaitu ketika ia mengucapkan:
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلىَ عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih.”
Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمُوهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ فِي السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ
“Sungguh, apabila kalian mengucapkannya, doa ini mengenai setiap hamba Allah yang saleh di langit dan di bumi.” (HR. al-Bukhari no. 831, kitab al-Adzan, bab at-Tasyahhud fil Akhirah, dan Muslim no. 402, kitab ash-Shalah, bab at-Tasyahhud fish Shalah)
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa sanad hadits ini di atas syarat al-Bukhari dan Muslim. Hanya saja, keduanya tidak meriwayatkannya dari sisi ini, namun dari sisi yang lain, yakni dari ucapan az-Zuhri. (ash-Shahihah 2/83)