Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, keluarga, dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang berjalan mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
Di dalam Islam, wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang besar bagi kehidupan setiap muslim. Dia merupakan madrasah atau sekolah yang pertama dalam membangun masyarakat yang saleh, jika si wanita berjalan di atas petunjuk Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal. Kesesatan umat dan penyimpangannya tidak akan terjadi melainkan dengan menjauhkan wanita dari bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala serta dari wahyu yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku tinggalkan di tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabullah dan sunnahku.”
Al-Qur’anul Karim menyebutkan arti penting seorang wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, maupun anak perempuan. Di samping menyebutkan hak dan kewajiban mereka, As-Sunnah yang suci juga merinci hal tersebut.
Kepayahan dan beban yang mereka tanggung sebagiannya melebihi beban lelaki. Oleh karena itu, kewajiban yang paling penting bagi seseorang (setelah menunaikan kewajiban kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya) adalah bersyukur kepada ibu, berbakti, dan berbuat baik kepadanya. Kewajiban kepada ibu ini didahulukan daripada kepada ayah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, ia berdoa, “Duhai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, serta supaya aku dapat beramal saleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (al-Ahqaf: 15)
Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berlaku baik kepadanya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa ?” tanya si lelaki. “Ibumu,” jawab Rasulullah. “Lalu siapa lagi?” tanya orang itu lagi. “Ibumu,” jawab Rasulullah untuk ketiga kalinya. Saat orang itu bertanya lagi, “Lalu siapa?” Rasulullah mengatakan, “Ayahmu.”
Berdasar hadits di atas, hak ibu untuk mendapatkan kebaikan dari anaknya tiga kali lipat daripada hak ayah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyinggung peran seorang istri dalam kehidupan seorang lelaki.
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian ada rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, “Mawaddah adalah mahabbah (cinta), sedangkan rahmah adalah kasih sayang. Hal ini karena seorang lelaki menahan seorang wanita (untuk tetap hidup bersamanya sebagai istri) mungkin karena ia mencintai si wanita atau ia menyayanginya karena mendapatkan anak dari si wanita.” (Tafsir Ibni Katsir)
Sungguh, peran tiada banding telah dilakukan seorang istri yang namanya harum sepanjang sejarah perjalanan anak manusia, Khadijah bintu Khuwailid, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya. Sosok istri yang terus dikenang oleh Khairul Anam, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khadijah telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menenangkan rasa takut yang sempat menyergap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Jibril turun membawa wahyu pertama kali kepada beliau di Gua Hira. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui istrinya dalam keadaan gemetar seraya memerintahkan, “Selimuti aku, selimuti aku! Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.”
Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah! Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta kepada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu, dan membantu orang yang membela kebenaran.”
Dalam bidang ilmu dan dakwah, kita tidak lupa dengan peran ash-Shiddiqah Aisyah bintu ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tokoh-tokoh sahabat banyak mengambil hadits darinya. Demikian pula kebanyakan wanita mengambil hukum-hukum yang berkaitan dengan diri mereka dari Aisyah radhiallahu ‘anha.
Pada masa lalu yang tidak terlalu jauh dari kita, di zaman al-Imam Muhammad ibnu Su’ud rahimahullah, istrinya menasihatinya agar menerima dakwah al-Imam al-Mujaddid Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, tatkala beliau menawarkan dakwahnya kepada Ibnu Su’ud[1]. Nasihat sang istri kepada sang suami ini sungguh berpengaruh besar dalam terjalinnya kesepakatan antara keduanya untuk memperbarui dakwah dan menyebarkannya. Sekarang kita bisa merasakan, alhamdulillah, pengaruh dakwah tersebut dengan tertancapnya akidah tauhid pada anak-anak jazirah ini.
Tidak pula saya sangsikan bahwa ibu saya memiliki keutamaan yang besar dan pengaruh yang tidak kecil dalam mendorong saya untuk belajar dan membantu saya dalam menuntut ilmu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melipatgandakan pahala bagi beliau atas kebaikan yang diberikannya kepada saya.
Sebagai akhir, tidak pula kita ragukan bahwa rumah yang dipenuhi dengan mawaddah, mahabbah, kasih sayang, dan tarbiyah Islamiah akan memberikan pengaruh bagi seseorang. Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, orang tersebut akan diberi taufik dalam urusannya, sukses dalam pekerjaan apa saja yang dia upayakan, baik dalam menuntut ilmu, usaha perdagangan, perkebunan, maupun pekerjaan lainnya.
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala saya memohon agar memberi taufik kepada semuanya kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, segenap keluarga, dan para sahabatnya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(Disusun kembali dengan sedikit perubahan/tambahan dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Ibnu Baz, 3/348—350, oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Ditulis oleh: Samahatul Walid al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz rahimahullah
[1] Dikisahkan, tatkala asy-Syaikh al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah meninggalkan negeri Uyainah atas permintaan penguasanya karena tak kuasa memberikan pembelaan kepada beliau dan dakwah tauhid yang beliau serukan, beliau menuju ke negeri Dir’iyah, tempat tinggal salah seorang murid terbaiknya, Ibnu Suwailim. Menerima kedatangan sang guru, Ibnu Suwailim merasa takut dan gelisah. Ia mengkhawatirkan keselamatan diri dan gurunya dari ancaman penduduk negeri yang tidak senang dengan dakwah tauhid yang beliau tegakkan. Namun, asy-Syaikh menenangkan si murid, mengajaknya bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan menjanjikan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang yang mau menolong agama-Nya. Dalam keadaan demikian, sampai kabar tentang asy-Syaikh kepada istri penguasa Dir’iyah, Muhammad ibnu Su’ud. Wanita salehah ini menawari suaminya untuk memberikan bantuan kepada asy-Syaikh. Ia juga mengingatkan suaminya bahwa kedatangan asy-Syaikh ke negeri mereka adalah nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala yang digiring oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya sehingga sepatutnya bersegera merangkulnya. Si istri ini menyusupkan ketenangan kepada suaminya, membuat suaminya mencintai dakwah asy-Syaikh sekaligus pribadi beliau. Sang suami yang menjabat penguasa ini akhirnya berkata, “Biar dia yang datang kepadaku.”
Istrinya berkata, “Justru hendaknya engkau yang pergi menemuinya. Kalau engkau mengirim orang untuk menyuruhnya mendatangimu, bisa jadi orang-orang akan berkata bahwa amir mencarinya untuk menangkap dan menghukumnya. Namun, kalau engkau yang pergi menemuinya, hal itu merupakan kemuliaan baginya dan bagimu.” Akhirnya, pergilah sang amir menemui asy-Syaikh di rumah muridnya.