Ath-Thayyib adalah salah satu nama Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan nama Allah ini dalam salah satu haditsnya,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ إِنِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٌ} [المؤمنون: 51] وَقَالَ: {يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ} [البقرة: 172] ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik dan Allah memerintah kaum mukminin dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Wahai para rasul, makanlah dari hal-hal yang baik dan lakukan yang baik, Aku mengetahui apa yang kalian lakukan,’ dan Dia berkata (yang artinya), ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari hal-hal yang baik yang Kami telah rezekikan pada kalian.’
Lalu beliau menyebutkan seseorang yang menempuh perjalanan panjang, kusut, berdebu, membentangkan tangannya ke langit, ‘Ya Rabb! Ya Rabb!’, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi gizi yang haram. Lantas bagaimana mau dikabulkan karena itu?” (Sahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
“Ath-Thayyib dalam sifat Allah subhanahu wa ta’ala bermakna yang suci dari segala kekurangan dan itu bermakna al-Quddus, Yang Mahasuci. Asal makna kata ath-Thayyib adalah bersih suci dan bebas dari yang kotor.” (Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi)
“Ath-Thayyib di sini bermakna ath-Thahir. Artinya, suci dari segala kekurangan dan aib, seluruhnya.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam)
Buahnya adalah mengetahui kesucian Allah subhanahu wa ta’ala, keagungan-Nya, dan ketinggian-Nya. Tiada sembahan yang seperti-Nya, tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali dari segala sisi-Nya.
Di samping itu, di antara buahnya sebenarnya telah diterangkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas, yaitu bahwa Allah Yang Mahabaik tidak menerima selain yang baik.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Allah mencintai sifat-sifat-Nya, seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai pengampunan.’
Demikian pula sabda beliau yang lain, ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Mahaindah dan mencintai keindahan.’
Demikian juga sabda beliau, ‘Sesungguhnya Allah Mahabaik dan tidak menerima selain yang baik’.” (ash-Shawa’iqul Mursalah, 4/ 1458, dinukil dari kitab Shifatullah al-Waridah, hlm. 170)
Jadi, sebuah ucapan tidak akan diterima di sisi-Nya kecuali yang baik. Amal perbuatan tidak akan diterima di sisi-Nya selain yang baik. Demikian pula keyakinan, tidak diterima di sisi-Nya selain yang baik. Tidak ada seorang pun yang masuk surga selain yang sudah jelas baiknya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَسِيقَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوۡاْ رَبَّهُمۡ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ زُمَرًاۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمۡ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ طِبۡتُمۡ فَٱدۡخُلُوهَا خَٰلِدِينَ
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Allah dibawa ke dalam jannah (surga) berombong-rombongan (pula). Hingga apabila mereka sampai ke surga itu sedangkan pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian. Kalian telah baik! Maka masukilah surga ini, sedangkan kamu kekal di dalamnya.” (az-Zumar: 73)
Baca juga: Sifat-Sifat Penghuni Surga
Maksudnya, kalbu kalian menjadi baik dengan mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya. Lisan kalian menjadi baik dengan berzikir kepada-Nya. Anggota badan kalian menjadi baik dengan taat kepada-Nya. Dengan sebab kebaikan kalian, “Masuklah kalian ke dalam jannah kekal di dalamnya,” karena surga adalah negeri yang baik. Tidak pantas masuk ke dalamnya selain mereka yang baik. (Tafsir as-Sa’di)
Berdasarkan hal ini, dalam hal makanan pun hendaknya kita selalu menjaga yang baik, terutama yang halal. Sebab, makanan akan berpengaruh pada amalan. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam bercerita di akhir hadits tersebut tentang orang yang sudah berbuat baik dengan berdoa. Bahkan, dia sedang dalam sebuah perjalanan yang panjang, dalam kondisi sangat butuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kusut, berdebu, membentangkan tangannya ke langit, serta meminta-minta kepada Allah sembari merengek dengan menyebut-nyebut nama-Nya.
Ini adalah keadaan yang sangat mendukung terkabulnya doa. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerimanya dan menolak doanya. Mengapa? Karena makanannya haram. Dia tidak baik, tubuhnya kotor, tidak suci dari yang haram.
Oleh karena itu, jangankan kita, para rasul pun diperintah untuk memakan yang thayyib, baik, halal, seperti dalam hadits tersebut.
Wallahul Muwaffiq.