Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu,
إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ
“Jika ia (Ibnu Shayyad) adalah dia (Dajjal), engkau tidak akan mampu mengalahkannya. Jika bukan, sia-sialah kamu membunuhnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh
Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan az-Zuhri, dari Salim bin Abdillah, beliau memberitakan,
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ انْطَلَقَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَهْطٍ قِبَلَ ابْنِ صَيَّادٍ حَتَّى وَجَدَهُ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ،
Abdullah ibnu Umar radhiallahu anhuma memberitakan bahwa Umar radhiallahu anhu berangkat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan sekelompok orang menemui Ibnu Shayyad. Mereka melihatnya tengah bermain-main dengan sejumlah anak laki-laki di dekat benteng dari tembok batu Bani Maghalah.
Baca juga: Keluarnya Dajjal Sebagai Tanda Hari Kiamat
وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ يَوْمَئِذٍ الْحُلُمَ، فَلَمْ يَشْعُرْ حَتَّى ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَهْرَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاِبْنِ صَيَّادٍ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ فَنَظَرَ إِلَيْهِ ابنُ صَيَّادٍ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ الْأُمِّيِّينَ.
Ketika itu Ibnu Shayyad adalah seorang bocah yang usianya mendekati balig. Dia tidak memperhatikan (kami) hingga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau. Beliau berkata, “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?”
Ibnu Shayyad melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).”
فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ فَرَفَضَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ،
Kemudian, Ibnu Shayyad bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah Anda bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyangkalnya dan berkata, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Baca juga: Beriman kepada Berita Rasulullah Akan Munculnya Dajjal
ثُمَّ قَال لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاذَا تَرَى؟ قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأْتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ.
Kemudian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata (kepada Ibnu Shayyad), “Apa yang kamu lihat?”
Ibnu Shayyad menjawab, “Datang kepadaku yang jujur dan yang dusta.”
Rasulullah berkata kepadanya, “Tercampur padamu persoalan ini.”
Lalu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya (bermaksud menguji), “Aku menyembunyikan sesuatu untukmu.”
Ibnu Shayyad menebak, “Ad-Dukh (asap/kabut).”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.”
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ذَرْنِي، يَا رَسُولَ اللهِ أَضْرِبْ عُنُقَهُ. فَقَال لهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ.
Mendengar hal itu, Umar radhiallahu anhu berkata, “Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apabila dia (adalah Dajjal), engkau tidak mampu mengalahkannya. Jika bukan, sia-sialah membunuhnya.”
Baca juga: Pengingkaran Terhadap Eksistensi Dajjal
وَقالَ سالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ: بَعْدَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ (الْأَنْصَارِيُّ) إِلَى النَّخْلِ الَّتِي فِيْهَا ابْنُ صَيَّادٍ، إِذَا دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ طَفِقَ يَتَّقِي بِجُذُوعِ النَّخْلِ وَهُوَ يَخْتِلُ أَنْ يَسْمَعَ مِنِ ابْنِ صَيَّادٍ شَيْئاً قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ ابْنُ صَيَّادٍ،
Salim mengatakan, “Aku mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,
“Di kemudian hari, ketika Rasulullah pergi bersama Ubai bin Kaab radhiallahu anhu ke (kebun) kurma, beliau bertemu kembali dengan Ibnu Shayyad di sana (yang sedang berbaring). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bermaksud mendengarkan sesuatu (igauan) dari Ibnu Shayyad sebelum dia melihat beliau.
فَرَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشٍ فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ، فَرَأَتْ أُمُّ ابْنِ صَيَّادٍ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَّقِي بِجُذُوعِ النَّخْلِ، فَقَالَتْ لاِبْنِ صَيَّادٍ: يَا صَافِ! –وَهُوَ اسْمُ ابْنِ صَيَّادٍ- هَذَا مُحَمَّدٌ، فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melihat Ibnu Shayyad berbaring di atas kasur ditutupi selembar selimut. Terdengar mulutnya bergumam dari balik sebuah batang pohon kurma. Kemudian, ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia pun membangunkan Ibnu Shayyad, “Wahai Shaf! Ada Muhammad di sini.”
Ibnu Shayyad pun bangun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Jika ibunya membiarkan dia (tidak mengganggunya), perkara Ibnu Shayyad akan terungkap (jelas).”
فِي رَهْطٍ
Artinya sekumpulan dari kaum laki-laki, berjumlah 3 sampai 10 orang.
ابْنِ صَيَّادٍ
Pada sebagian riwayat menggunakan ابْنِ صَائِدٍ (Ibnu Shaid) seperti dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Abu Said al-Khudri radhiallahu anhuma, hadits no. 2926 dan 2927, Sunan Abi Dawud “Bab Fi Khabari Ibni Sha`id” dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma no. hadits 4329. (Lihat Sunan Abi Dawud ta’liq Syaikh al-Albani rahimahullah, cet. Maktabah al-Maarif)
الصِّبْيَانِ
Dalam riwayat lain dengan lafaz الْغِلْمَانِ jamak dari kata غُلَامٌ dengan men-dhammah huruf ghain dan mem-fathah huruf lam tanpa ditasydid, yaitu masa sejak kelahiran hingga balig. Jika yang dimaksud adalah seorang anak setelah masa balig, dinamai dengannya sebagai kiasan. (Lihat Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 1/155)
عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ
Dibaca dengan men-dhammah huruf hamzah dan tha, bentuk jamaknya أُطُمُ atau أُطُومٌ, artinya benteng yang dibangun dari tembok batu, atau setiap rumah persegi empat beratapkan semuanya.
بَنِي مَغَالَةَ
Pada sebagian naskah ابْنِ مَغَالَةَ, sedangkan yang masyhur ialah بَنِي مَغَالَةَ dengan mem-fathah mim dan ghain tanpa ditasydid.
Dalam riwayat Muslim rahimahullah dari jalan al-Hasan bin Ali al-Hulwani dengan lafaz “Bani Mu’awiyah” dengan men-dhammah mim dan menggunakan ‘ain, bukan ghain.
Ulama berkata, “Yang masyhur dan dikenal adalah yang pertama, yaitu بَنِي مَغَالَةَ.”
Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Bani Maghalah ialah orang-orang yang di bagian kanan atau di sisi kanan seseorang ketika ia berdiri menghadap ke Masjid Nabawi.”
وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ
Dalam riwayat lain,
قَدْ نَهَزَ الْحُلُمَ
Maknanya, mendekati masa balig.
فَلَمْ يَشْعُرْ
Dengan men-dhammah huruf ‘ain, maknanya bahwa Ibnu Shayyad tidak mengetahui kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena dalam keadaan lalai.
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ الْأُمِّيِّينَ
Ibnu Shayyad berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang umi).”
Maksudnya adalah orang-orang Arab. Sebab, kebanyakan mereka tidak bisa menulis dan membaca. Meskipun ditinjau dari sisi lafaz benar, ditinjau dari sisi makna ucapan ini mengandung kebatilan. Kalimat ini mengandung makna bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diutus hanya untuk orang Arab dan tidak kepada orang ajam (non-Arab), sebagaimana yang dikatakan oleh Yahudi. Kalimat ini, walaupun dimaksudkan untuk membenarkan kerasulan, termasuk dari sekian jumlah bisikan kedustaan yang didatangkannya. Dan itu berasal dari setan.
فَرَفَضَهُ
Riwayat ini terdapat dalam al-Bukhari dan Muslim. Maknanya ialah menyangkal.
Al-Qadhi rahimahullah berkata, “Riwayat kami, dalam hal ini dari jamaah, menggunakan shad (فَرَفَصَهُ) yang bermakna menendang. Sebagian ulama berkata, الرَّفَصُ dengan huruf shad maknanya adalah memukul dengan kaki seperti الرَّفس dengan menggunakan huruf sin artinya menendang/menyepak. Jika benar riwayat ini, itulah maknanya.”
Di dalam Shahih al-Bukhari dari riwayat al-Marwazi dengan lafaz فَرَقَصَهُ menggunakan huruf qaf dan shad.
Al-Khaththabi rahimahullah dalam Gharib-nya meriwayatkan dengan lafaz فَرَصَّهُ dengan shad, yaitu menekannya hingga badannya terhimpit. Seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
بُنۡيَٰنٌ مَّرۡصُوصٌ
“Bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff: 4)
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Muncul pertanyaan, mengapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak membunuhnya, padahal ia menyeru kenabian pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada?
Jawabannya ditinjau dari dua sisi.
Pertama, Ibnu Shayyad belum balig.
Kedua, Ibnu Shayyad berada pada waktu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang terikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan para pembesarnya.
Imam al-Khaththabi rahimahullah dalam Ma’alimus Sunan memastikan jawaban yang kedua. Beliau berkata,
“Menurut saya, kisah ini terjadi pada hari-hari perdamaian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi dan tokoh-tokoh mereka. Hal itu terjadi setelah kehadiran beliau di Madinah. Ditulislah sebuah perjanjian antara beliau dan orang-orang Yahudi. Di dalamnya terdapat islah agar tidak saling menyerang dan menjauhi urusan masing-masing. Ibnu Shayyad termasuk kalangan mereka atau bagian dari mereka.
Telah sampai kabar kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang perdukunan dan pengakuan mengetahui perkara gaib yang diserunya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengujinya supaya perkaranya jelas. Ketika beliau berbicara dengannya, barulah diketahui bahwa ia adalah seorang penyeru kebatilan dari kalangan tukang sihir; atau orang yang mendatangkan perkataan bangsa jin; atau setan seringkali menemuinya dan membisikkan padanya sebagian ucapan mereka.
قَال لَهُ رَسُولُ اللهِ: مَاذَا تَرَى
Dalam Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi menggunakan lafaz مَا يَأتِيْكَ. Maknanya, apa yang datang kepadamu berupa berita-berita gaib dan yang semisalnya.
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
Maknanya ialah terkadang datang berita yang benar dan terkadang datang berita dusta.
خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ
Kata خُلِّطَ adalah kata kerja (fi’il) dalam bentuk pasif, berasal dari kata التَّخْلِيطُ. Maknanya ialah mencampuradukkan.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Tercampur aduk berita yang dibawa oleh setanmu.”
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maknanya, dia mempunyai beberapa keadaan. Sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Karena itu, perkaranya menjadi kabur baginya.”
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ
Artinya, aku telah menyembunyikan (di dalam diriku).
خَبْيئاً
Dalam sebagian riwayat dengan lafaz خَبِيْأَةً (kata yang tersembunyi), supaya kamu beritahukan kepadaku.
هُوَ الدُّخُّ
Ibnu Shayyad menebak, “Ad-Dukh.”
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dibaca dengan men-dhammah huruf dal dan mentasydid huruf kha`, yaitu istilah bagi ad-dukhan (kabut). Penulis Nihayatul Gharib menghikayatkan dengan mem-fathah dan men-dhammah huruf dal. Adapun yang masyhur pada kitab-kitab lughah dan hadits adalah dengan dhammah saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud kata ini ialah ad-dukhan, dan itulah bahasanya.”
Dalam hal ini, Imam al-Khaththabi rahimahullah tidak sependapat. Beliau berkata, “Kata الدُّخُّ tidak mengandung makna ad-dukhan (kabut) karena ia tidak dapat disembunyikan pada telapak atau lengan baju. Kecuali kalau makna ‘Aku sembunyikan untukmu’ adalah nama kabut dan nama kabut itu sendiri dalam hal ini diperbolehkan. Yang benar dan masyhur bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikannya dari Ibnu Shayyad ayat ad-dukhan, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَٱرۡتَقِبۡ يَوۡمَ تَأۡتِي ٱلسَّمَآءُ بِدُخَانٍ مُّبِينٍ
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (ad-Dukhan: 10)
Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa ia tidak mampu menunjukkan sebagian ayat yang disembunyikan oleh Nabi kecuali sekedar lafaz yang tidak sempurna. Ini sebagaimana kebiasaan para dukun apabila setan membisikkan kepada mereka sesuai (berita dari langit) yang mampu ia curi sebelum meteor mengenainya.
اخْسَأْ
Dibaca dengan mem-fathah huruf sin dan hamzah yang disukun. Kalimat ini digunakan saat mengusir atau menghalau anjing. Asalnya dari kata الْخُسُوءُ yang bermakna زَجَرَ (mengusir atau menghalau). Kata ini juga dipakai untuk merendahkan atau menghina, seperti زَجْرُ الْكَلْبِ (mengusir anjing); maknanya,
امْكُثْ صَاغِرًا أَوْ ابْعُدْ حَقِيرًا أَوْ اسْكُتْ مَزْجُورًا
“Tinggallah engkau dalam keadaan hina, atau menjauhlah engkau dalam keadaan rendah, atau diamlah engkau dalam keadaan terusir.”
فَلَنْ تَعْدُوَ
Dibaca dengan men-dhammah dal. Maknanya, kamu tidak mampu melampaui.
قَدْرَكَ
“Kemampuanmu.”
Artinya, kemampuan yang dicapai oleh dukun, berupa pengetahuan sebagian perkara dan hal-hal yang tidak jelas hakikatnya, serta tidak bisa menjelaskan hakikat perkara gaib.
فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim disebutkan (yang artinya), “Biarkan dia. Jika dia adalah orang yang kamu takuti, kamu tidak akan mampu membunuhnya. Tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.”
Sebab, ia masih anak-anak atau tercela (cacat).
Disebutkan dalam sebuah hadits dalam Syarhus Sunnah (yang artinya), “Jika ia adalah Dajjal, kamu bukanlah orang (yang membunuhnya). Yang membunuhnya hanyalah Isa bin Maryam alaihis salam. Jika dia bukan Dajjal, tidak ada kebaikan bagimu dalam membunuh seorang yang masih dalam perjanjian damai.”
وَهُوَ يَخْتِلُ
Artinya, merahasiakan dan mengharapkan ia lalai, agar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dapat mendengar sesuatu dari pembicaraannya. Beliau dan para sahabatnya ingin mengetahui keadaannya, apakah dia dukun ataukah tukang sihir.
فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ
Pada sebagian naskah, kata زَمْزَمَةٌ tertulis رَمْرَمَةٌ, seperti dalam Shahih al-Bukhari. Al-Qadhi rahimahullah telah menukil dari jumhur, riwayat yang tersebut dalam Shahih Muslim dengan زَمْزَمَةُ dan pada sebagiannya tertulis رَمْزَةُ . Itu semuanya bermakna suara yang lirih/pelan, nyaris tidak dipahami atau tidak dipahami (sama sekali).
فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ
Maknanya, Ibnu Shayyad beranjak dari tempat tidurnya dan bangun berdiri.
لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Dalam riwayat lain dari jalan Ya’qub bin Ibrahim bin Saad, ia berkata, Ubai bin Kaab berkata, “Maksud kalimat ini ialah kalau saja ibunya membiarkan dia, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan menjelaskan perkaranya.” (lihat al-Minhaj, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi)
Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, Ibnu Shayyad atau dikenal juga dengan Ibnu Shaid namanya adalah Shaf. Imam Qurthubi rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya at-Tadzkirah lil Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah (hlm. 570), tentang Ibnu Shayyad, bahwa ada sejumlah hadits dari beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdillah, Ibnu Umar, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Kaab radhiallahu anhum.
Abu Sulaiman al-Khaththabi rahimahullah mengatakan bahwa ada perselisihan yang banyak dan rumit di kalangan manusia terkait dengan Ibnu Shayyad. Di antara sahabat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal ialah Umar bin al-Khaththab, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar radhiallahu anhum. (at-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hlm. 571—572)
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya (“Kitabul Fitan” hadits no. 2929) dari jalan Muhammad ibnul Munkadir, ia berkata, “Aku melihat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma bersumpah (dengan menyebut nama Allah) bahwa sesungguhnya Ibnu Shaid adalah Dajjal. Aku bertanya, ‘Apakah engkau bersumpah dengan menyebut nama Allah?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya, aku mendengar Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu bersumpah dalam perkara ini di sisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Riwayat ini dijadikan dalil oleh beberapa ulama tentang bolehnya bersumpah dalam perkara yang tidak pasti (zhan) dan tidak disyaratkan harus dalam perkara yang pasti (al-yaqin). Ini adalah perkara yang disepakati dalam mazhab kami (Syafi’i).” (al-Minhaj, 18/258—259)
Baca juga: Sifat-Sifat Dajjal
Dalam riwayat yang lain dari jalan Ibnu Aun, dari Nafi’, ia berkata, Nafi’ berkata tentang Ibnu Shayyad bahwa Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,
“Aku bertemu dengannya dua kali. Pertemuan (pertama), aku berkata kepada salah seorang dari mereka, ‘Apakah kalian membicarakan bahwa dia adalah Dajjal?’
Salah seorang menjawab, ‘Bukan, demi Allah!’
Aku berkata, ‘Demi Allah, engkau berdusta kepadaku. Sungguh, sebagian kalian telah mengabarkan kepadaku bahwa Dajjal tidak akan mati sampai ia menjadi orang yang terbanyak harta dan anaknya di antara kalian sebagaimana dia yang dibicarakan hari ini.’
Ibnu Umar radhiallahu anhuma melanjutkan, ‘Kami berbincang-bincang setelah itu. Lalu aku berpisah dengannya.’
Ibnu Umar radhiallahu anhuma mengatakan, ‘Aku bertemu dengannya lagi dan matanya telah membengkak.
Aku bertanya, ‘Kapan matamu bengkak seperti yang aku lihat?’
Ia menjawab, ‘Aku tidak tahu.’
Aku bertanya lagi, ‘Engkau tidak tahu, padahal mata itu berada di kepalamu?’
Ia pun menjawab, ‘Jika Allah menghendaki, Allah akan menciptakan mata itu pada tongkatmu ini.’
Ibnu Umar berkata, ‘Dia pun mendengus keras seperti suara dengusan keledai yang pernah aku dengar. Sampai-sampai sebagian sahabatku mengira bahwa aku memukulnya dengan tongkat yang bersamaku hingga patah. Demi Allah, aku tidak merasa’.”
Baca juga: Nabi Isa Membunuh Dajjal
Diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah, dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu, ia berkata,
“Aku menemani Ibnu Shayyad dalam sebuah perjalanan menuju Makkah. Ia pun berkata kepadaku, ‘Aku telah menjumpai beberapa orang. Mereka menyangka bahwasanya aku adalah Dajjal. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah berkata, ‘Sesungguhnya Dajjal itu tidak beranak?’
Aku menjawab, ‘Benar.’
Ia berkata, ‘Sungguh, telah lahir dariku seorang anak—dalam sebagian riwayat: aku tinggalkan anakku di Madinah.’
‘Bukankah engkau telah mendengar Rasulullah berkata, ‘Dajjal tidak akan masuk Madinah dan Makkah’?’
Aku menjawab, ‘Benar.’
Ia pun berkata, ‘Aku dilahirkan di Madinah dan sekarang ini aku menuju Makkah.’
Pada riwayat yang lain, “Bukankah Nabiyullah telah berkata bahwa dia seorang Yahudi, sementara sungguh aku adalah seorang muslim?”
Di akhir pembicaraannya, ia berkata kepadaku, “Demi Allah, sungguh aku tahu di mana lahirnya, tempatnya, dan di mana dia sekarang.”
Abu Said berkata, “Ia pun mengacaukan/mengaburkan perkara ini terhadapku.”
Baca juga: Negeri Para Pengikut Dajjal
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
“Hikmah yang terdapat dalam perkara Ibnu Shayyad adalah sebuah fitnah (ujian) yang dengannya Allah subhanahu wa ta’ala menguji hamba-hamba-Nya yang mukmin. Agar orang yang binasa itu menjadi binasa dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu menjadi hidup dengan keterangan yang nyata pula.
Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah menguji kaum Nabi Musa q di zamannya dengan seekor anak sapi. Binasalah sebagiannya dan selamatlah orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala beri petunjuk.
Telah terjadi perselisihan riwayat tentang perkara Ibnu Shayyad setelah dia tua. Ada riwayat yang menyatakan bahwa ia bertobat dari apa yang telah ia ucapkan. Ia kemudian meninggal di Madinah. Tatkala mereka ingin menyalatkan jenazahnya, disingkaplah wajahnya sampai orang-orang melihatnya. Dikatakan kepada mereka, ‘Saksikanlah oleh kalian.’
Kemudian, beliau berkata bahwa Syaikh (Abu Sulaiman) berkata, ‘Yang benar dalam perkara ini adalah sebaliknya, berdasarkan sumpah Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma, Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu, yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Diriwayatkan pula bahwa Abu Dzar radhiallahu anhu berkata, ‘Dia adalah Dajjal’.” (at-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 572)
Ibnu Hajar rahimahullah menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang akan keluar di akhir zaman, dengan beberapa alasan. Silakan simak dalam Fathul Bari dan Asyrathus Sa’ah. (-ed.)
Wallahu a’lam.