Jabir ibnu Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkisah, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat haji Wada’ pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah sambil menunggangi untanya yang bernama al-Qashwa. Aku mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian manusia! Sungguh, aku telah meninggalkan pada kalian dua hal, yang jika kalian mengambilnya, kalian tidak akan sesat, yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya no. 3786, kitab al-Manaqib ‘an Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam at-Tirmidzi berkata, “Dalam bab ini ada hadits riwayat Abu Dzar, Abu Said, Zaid bin Arqam dan Hudzaifah bin Asid. Hadits ini dari sisi ini hasan gharib.”
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6143, dan ash-Shahihah no. 1761.
Abu Said al-Khudri dan Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhuma membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang semakna dengan hadits di atas dengan lafadz,
“Sungguh, aku meninggalkan pada kalian sesuatu yang bila kalian berpegang teguh dengannya, niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu darinya lebih besar daripada yang lain, yaitu kitabullah, tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi[1]. Dan (yang lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku.
Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku[2] di haudh[3]. Maka dari itu, lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memerhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14, 17 dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6144, dan ash-Shahihah 4/356—357)
Al-’Itrah dan Keutamaan Ahlul Bait
At-Taurabasyti dalam al-Mirqah (5/600) berkata, “‘Itrah seseorang adalah ahlul baitnya dan kelompok/golongannya yang paling dekat dengannya. Karena kata ‘itrah dipakai untuk banyak sisi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya dengan pernyataan ‘ahlul baitku’, agar diketahui bahwa yang beliau maksud adalah keturunan beliau, keluarga beliau yang terdekat, dan istri-istri beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196, ash-Shahihah 4/360)
Dalam hadits di atas, di samping memerintah umatnya untuk berpegang teguh dengan al-Qur’an dalam bentuk ilmu dan amal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah untuk berpegang dengan ‘itrah beliau, yakni Ahlu Bait beliau.
Dalam Tuhfatul Ahwadzi, dibawakan ucapan Ibnu Malik bahwa yang dimaksud berpegang teguh dengan al-Qur’an adalah mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Artinya, melaksanakan perintah-perintah Allah dan berhenti (tidak mengerjakan) larangan-larangan-Nya.
Adapun makna berpegang dengan ‘itrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai mereka dan menjadikan petunjuk dan perjalanan hidup mereka sebagai bimbingan. As-Sayyid Jamaluddin menambahkan, “Selama hal itu tidak menyelisihi agama.”
Al-Qari berkata, “Maksud berpegang dengan ahlul bait adalah senantiasa mencintai mereka, menjaga kehormatan mereka, mengamalkan riwayat mereka, dan bersandar dengan perkataan mereka (selama tidak menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, pent.). Hal ini tidak berarti meniadakan pengambilan as-Sunnah dari sahabat selain mereka.”
Ath-Thibi berkata, “Dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (نِّي تَارِكٌ فِيكُمُْ) ada isyarat bahwa keduanya (al-Qur’an dan al-’Itrah) seperti saudara kembar yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mewasiatkan kepada umatnya untuk menjaga dan memerhatikan keduanya dengan baik, serta mengutamakan hak keduanya di atas hak diri mereka sendiri, sebagaimana wasiat seorang ayah yang dicintai oleh manusia tentang hak anak-anaknya.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196—197)
Hadits dan keterangan di atas mengisyaratkan tentang keutamaan dan hak Ahlu Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kewajiban umat ini terhadap mereka. Mereka harus diperhatikan haknya, lebih diutamakan dari yang selain mereka, dimuliakan dan dijadikan teladan, sepanjang mereka meneladani qudwah dan uswah umat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Besarnya urusan mereka, ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditunjukkan oleh pesan-pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat beliau. Salah satu yang senada dengan hadits di atas adalah riwayat Yazid bin Hayyan berikut ini.
Yazid bin Hayyan berkata, “Aku bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu.
Tatkala kami telah duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya, “Wahai Zaid, sungguh engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Engkau pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Engkau pernah mendengar hadits beliau. Engkau pernah berjihad bersama beliau dan shalat di belakang beliau. Sungguh, wahai Zaid, engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Sampaikanlah hadits kepada kami, wahai Zaid, dari apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Zaid menjawab, “Wahai anak saudaraku, demi Allah, sungguh usiaku telah senja dan telah lewat masaku hingga aku telah lupa sebagian yang pernah aku ingat (hafal) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang nanti aku sampaikan kepada kalian, terimalah. Apa yang tidak kusampaikan, janganlah kalian membebaniku untuk menyampaikannya.”
Kemudian Zaid berkata,
“Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di antara kami untuk menyampaikan khutbah, di (dekat) anak sungai bernama Khum, di antara Makkah dan Madinah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah, lalu memberikan nasihat dan peringatan.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Amma ba’du. Ketahuilah, wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia. Hampir-hampir datang menemuiku utusan Rabbku (untuk mencabut ruhku), maka aku akan penuhi panggilan tersebut.
Aku tinggalkan di antara kalian dua hal yang agung. Yang pertama kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Ambillah oleh kalian kitabullah dan berpegang teguhlah dengannya.’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menganjurkan untuk berpegang dengan kitabullah, memberikan dorongan, anjuran, dan kabar gembira (bila berpegang dengan kitabullah).
Beliau bersabda lagi, “Ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid: “Siapakah Ahlu Bait beliau, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlu Bait beliau?”
Zaid menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlu Bait beliau. Akan tetapi, yang dimaksud Ahlu Bait beliau adalah yang diharamkan memakan/menerima harta sedekah (zakat) sepeninggal beliau.”
Hushain bertanya lagi, “Siapakah mereka?”
Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.”
Hushain berkata, “Mereka semua diharamkan menerima harta sedekah (zakat)?”
“Ya,” jawab Zaid. (HR. Muslim no. 2408 dalam Shahih-nya, kitab Fadha’ilush Shahabah, bab Min Fadhail Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim, ketika Zaid ditanya, apakah istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlu Bait beliau, Zaid menjawab, “Tidak”.
Kemudian Zaid menyatakan, “Ahlu Bait beliau adalah keturunan dan keluarga beliau (‘ashabah) yang diharamkan memakan sedekah sepeninggal beliau.”
An-Nawawi rahimahullah menempatkan kedua riwayat yang terlihat bertentangan ini dengan menyatakan, “Istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlu Bait beliau yang tinggal bersama beliau. Beliau menafkahi mereka dan memerintahkan untuk menghormati serta memuliakan mereka.
Beliau mengistilahkan mereka dengan tsaqalan (urusan yang berat/besar/agung). Beliau menasihati dan mengingatkan umatnya untuk memerhatikan hak-hak mereka. Istri-istri beliau termasuk dalam semua hal ini, tetapi tidak termasuk yang diharamkan menerima zakat/sedekah.” (Syarhu Shahih Muslim 15/180)
Asy-Syaikh Abdul Haq dalam al-Lum’at berkata, “Ketahuilah, ada keterangan bahwa makna ahlul bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah/zakat. Mereka adalah Bani Hasyim, yang mencakup Alu (keluarga) Abbas, Alu Ali, Alu Ja’far, Alu Aqil dan Alu Harits. Mereka semua diharamkan menerima sedekah/zakat.
Selain itu, ahlul bait juga bermakna keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup istri-istri beliau yang disucikan.
Dikeluarkannya istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ahlul bait yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
padahal sasaran pembicaraan ayat ditujukan kepada mereka, sebagaimana yang tampak pada ayat sebelum dan sesudahnya, berarti mengeluarkan kalam (ucapan) dari konteks dan susunannya.” (Tuhfatul Ahwadzi 10/195)
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini termasuk yang dijadikan hujah oleh orang-orang Syi’ah dan banyak mereka tekuni. Sebagian Ahlus Sunnah salah menyangka bahwa mereka ditimpa musibah dengan hal ini. Mereka semuanya hanya salah sangka. Penjelasannya dari dua sisi berikut ini.
Keterangan ini datang secara jelas pada sebagian jalan hadits ini, seperti hadits yang menjadi judul bab/pembahasan, “‘Itrati ahlu baiti”.
Ahlu Bait beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada asalnya adalah istri-istri beliau dan di antara mereka adalah ash-Shiddiqah Aisyah radhiallahu ‘anha. Hal ini disebutkan secara jelas oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Ahzab,
dengan dalil ayat yang sebelum dan setelahnya,
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian merendahkan suara saat berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarruj orang-orang jahiliah yang dahulu. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” (al-Ahzab: 32—34)
Pengkhususan Syi’ah bahwa ahlul bait dalam ayat hanya meliputi Ali, Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain radhiallahu ‘anhum tanpa menyertakan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tahrif (penyimpangan/pembelokan) mereka terhadap ayat-ayat Allah dalam rangka membantu hawa nafsu mereka sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Adapun hadits al-Kisa’[4] (hadits tentang mereka yang ditutupi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selimut, pent.) dan yang semakna[5], tujuannya adalah memperluas penunjukan ayat[6] dan menunjukkan bahwa Ali dan keluarganya termasuk dalam ayat tersebut. Hal ini diterangkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dan selainnya.
Demikian pula hadits al-’Itrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa yang dimaksud ahlul bait beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan makna yang sempurna mencakup istri-istri beliau, Ali dan keluarganya.”
Kemudian asy-Syaikh al-Albani rahimahullah membawakan ucapan at-Taurabasyti tentang al-’Itrah.
Setelah itu, Syaikh menyebutkan sisi kedua dari maksud ahlul bait. Yang tercakup dalam Ahlul Bait hanyalah ulama yang saleh dari kalangan mereka, yang berpegang dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Asy-Syaikh al-Albani menukilkan ucapan al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah, “Al-’Itrah adalah Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di atas agamanya dan berpegang teguh dengan perintahnya.”
Asy-Syaikh Ali al-Qari juga menyebutkan yang semisal ini. Ucapan al-Qari berikut ini menjelaskan sebab ahlul bait disebutkan secara khusus (bergandengan dengan al-Qur’an, pent.),
“Secara umum ahlul bait lebih tahu tentang pemilik rumah dan keadaan-keadaannya. Maka dari itu, yang dimaksud ahlul bait di sini adalah ulama di kalangan mereka, yang menelaah sirah beliau, yang berdiri di atas jalan beliau, yang mengetahui hukum dan hikmahnya.
Berdasarkan penjelasan ini, ahlul bait pantas berdampingan dengan kitabullah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dia mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.”
Aku (asy-Syaikh al-Albani) katakan, “Yang semisal ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat tath-hir,
“Ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian berupa ayat-ayat Allah dan al-Hikmah.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud ahlul bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan mereka. Inilah maksud hadits tersebut. Karena itulah, ia dijadikan salah satu dari ats-tsaqalain dalam hadits Zaid bin Arqam yang berdampingan dengan atstsaqal yang pertama, yaitu al-Qur’an.
Ibnul Atsir mengisyaratkan dalam an-Nihayah, “Keduanya dinamakan tsaqalain karena menerima/mengambil keduanya (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan mengamalkannya itu berat. Semua hal yang mulia, tinggi lagi bernilai diistilahkan tsaqal. Keduanya dinamakan tsaqalain karena mengagungkan kadar keduanya dan membesarkan urusan keduanya.”
Aku katakan, kesimpulannya adalah penyebutan ahlul bait berdampingan dengan al-Qur’an dalam hadits ini seperti penyebutan sunnah al-Khulafa’ Ar-Rasyidun berdampingan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kalian wajib berpegang dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin….” (ash-Shahihah, 4/359—361)
Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait
Ahlus Sunnah mencintai Ahlu Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berloyalitas kepada mereka dan menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baitku.”
Ahlus Sunnah berloyalitas kepada al-Hasan, al-Husain, dan orang-orang yang masyhur dari kalangan cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti al-Hasan bin al-Hasan, Abdullah bin al-Hasan, Ali bin al-Husain Zainul Abidin, Muhammad bin Ali bin al-Husain yang digelari al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, Musa bin Ja’far, dan Ali bin Musa ar-Ridha.
Demikian pula sikap Ahlus Sunnah terhadap seluruh anak turunan Ali dari tulang sulbinya, seperti al-Abbas, Umar, Muhammad bin al-Hanafiyah dan seluruh yang menempuh jalan yang dilalui oleh bapak-bapak mereka yang bersih. Akan tetapi, mereka yang condong kepada pemahaman Mu’tazilah atau Rafidlah tidak termasuk di dalamnya. (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi’ah, 1/106)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlu Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hak-hak yang wajib dijaga/diperhatikan. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka berhak mendapatkan bagian dari harta khumus dan fai’ (pampasan perang). Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan untuk memberikan shalawat kepada mereka sebagaimana bershalawat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita untuk mengatakan, “Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga beliau sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau berikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia.” (Majmu’ah ar-Rasail al-Kubra 1/297-298)
Stempel Maksum[7] yang Diberikan Syi’ah Rafidhah kepada Ahlul Bait dan Para Imam dari Kalangan Ahlul Bait[8]
Kita telah memaklumi keutamaan Ahlu Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perhatian beliau terhadap mereka.
Namun, atas nama cinta kepada Ahlu Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kelompok yang menyempal dari ash-Shirathal Mustaqim, yang bernama Syi’ah Rafidhah, telah berbuat ghuluw/melampaui batas terhadap mereka. Mereka memberi stempel maksum, suci dari dosa dan kesalahan, kepada ahlul bait.
Mereka menyeret ayat Allah ldalam surah al-Ahzab ayat 33,
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan ksamu sebersih-bersihnya.”
untuk mendukung selera hawa nafsu mereka yang kotor.
Seorang pengikut Syi’ah dalam mukaddimah bukunya Keluarga Suci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tafsir Surat al-Ahzab ayat 33 mengatakan, “Ayat ini, dalam pandangan para pengikut setia Ahlul Bait, memiliki posisi yang khas dan cukup istimewa, dikarenakan merupakan dalil yang menerangkan kemaksuman ahlul bait.” (hlm. 9)
Dia berkata setelah menerangkan makna rijs (kejelekan, kekejian, dosa) dalam ayat di atas, “Semua bentuk rijs dan kekotoran telah dihilangkan dari mereka (ahlul bait), baik sebelum baligh apalagi setelahnya baligh, dalam hal penyampaian hukum Ilahi maupun hal-hal lain, dalam keadaan sengaja maupun lalai dan lupa. Sebab, semuanya adalah rijs, dan Allah telah menghilangkannya dari ahlul bait.”
Ia melanjutkan bualannya mengikuti para pendahulunya, “Penafian (peniadaan) rijs yang diikuti dengan penetapan kesucian berkonsekuensi keterjagaan total, yang disebut dengan istilah ‘ishmah (kemaksuman). Jadi, ahlulbait adalah pribadi-pribadi agung yang maksum.” (hlm. 43)
Sekali lagi, membebek para pendahulunya, orang ini membatasi ahlul bait dalam ayat di atas untuk lima pribadi yang disebutkan dalam hadits kisa’, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ali bin Abi Thalib, Fathimah bintu Rasulullah, al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhum, serta menolak dimasukkannya istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam golongan ahlul bait dengan membawakan argumen yang mandul. (hlm. 62—123)
W Dengan kebodohan dan kezaliman, ia mencerca para ulama, seperti Ikrimah dan Urwah bin az-Zubair, karena memasukkan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke dalam ahlul bait. (hlm. 117—122)
Dengan kalap, ia menjelekkan, mencerca, dan mencaci Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha karena pernyataan al-Hafizh Ibnu Katsir bahwa ‘Aisyah paling layak mendapatkan kenikmatan yang disebutkan dalam ayat dan paling banyak mendapatkan anugerah. Sebelumnya, ia mem”bodoh”kan al-Hafizh Ibnu Katsir[9]. (hlm.124—125)
Walhasil, penulis buku Keluarga Suci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang Syi’ah pertama yang mendendangkan kemaksuman ahlul bait. Orang-orang Syi’ah sebelumnya yang lebih mumpuni kesyi’ahannya telah mendahuluinya.
Syi’ah memberi stempel kemaksuman tidak sebatas kepada ahlul kisa’ (mereka yang ditutupi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kisa’). Mereka memasukkan keturunannya yang diangkat oleh orang-orang Syi’ah sebagai imam (pemimpin mereka).
Bagi Syi’ah, kemaksuman ini merupakan kaidah pokok dalam masalah imamah (kepemimpinan). Mereka sepakat bahwa para imam mereka terjaga dari dosa-dosa kecil dan besar. Jadi, para imam tidak pernah berbuat dosa sama sekali, baik dengan sengaja maupun karena lupa. Para imam tidak pernah salah dalam takwil.
Apabila Ahlus Sunnah berpandangan bahwa umat ini maksum dengan berpegang kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syi’ah berpandangan bahwa umat ini maksum dari kesesatan dengan imam mereka. Sebab, imam itu seperti Nabi dan imamah merupakan pelanjut nubuwah.
Mereka menolak al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma (kesepakatan kaum muslimin) sebagai penjaga umat dari kesesatan. Menurut mereka, imam merekalah yang menjaga umat dari kesesatan. Pandangan mereka ini jelas menyelisihi hikmah Allah yang menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul. (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi’ah, 1/323)
Kandungan Hadits Kisa’ Tidak Menunjukkan Kema’shuman Ahlul\ Bait
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang kandungan hadits kisa’, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan agar Allah menghilangkan dosa/kejelekan mereka dan menyucikan mereka sesuci-sucinya. Tujuannya adalah mendoakan kebaikan mereka agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa yang dihilangkan dosa/kejelekannya oleh Allah dan disucikan.
Menjauhi dosa/kejelekan hukumnya wajib bagi setiap mukmin, dan thaharah (menyucikan diri) diperintahkan kepada seluruh mukmin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi hendak menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian agar kalian mau bersyukur.” (al-Maidah: 6)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu akan membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-Taubah: 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (al-Baqarah: 222)
Puncaknya adalah doa bagi mereka agar mengerjakan hal yang diperintahkan dan meninggalkan hal yang dilarang.
y Penyucian dari dosa ini tidak khusus bagi ahlul kisa’. Sebab, dalam nash-nash lain kita dapatkan para sahabat selain mereka juga mendapatkan keistimewaan tersebut. Seperti Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu yang Allah puji dalam firman-Nya,
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang memberikan hartanya (di jalan Allah) guna menyucikan dirinya, padahal tidak ada seorang pun memberinya suatu nikmat yang harus dia balas, tetapi ia memberikan harta itu semata-mata karena mencari keridhaan Rabbnya yang Mahatinggi. Dan kelak ia benar-benar akan ridha.” (al-Lail: 17—21)
Demikian juga keberadaan as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan—semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya—, Allah nyatakan janji-Nya untuk mereka,
“Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam keadaan mereka kekal selama-lamanya di dalamnya. Itu adalah keberuntungan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Mereka yang mendapat janji surga ini pasti telah melakukan hal yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang. Sebab, keridhaan dan balasan hanyalah diperoleh dengan cara demikian. Oleh karena itu, hilangnya kejelekan dan sucinya mereka dari dosa merupakan sebagian sifat mereka. Jadi, apa yang didoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ahlul kisa’ merupakan sebagian sifat as-Sabiqunal Awwalun yang Allah sebutkan.
Selain ahlul kisa’, ada di antara para sahabat yang didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar Allah memberikan shalawat untuk mereka. Beliau juga pernah mendoakan sekian banyak orang agar dimasukkan ke dalam surga, mendapatkan pengampunan, atau doa-doa lain yang lebih agung. Akan tetapi, tidak mesti bahwa orang yang didoakan tersebut lebih afdal daripada as-Sabiqunal Awwalun.
Akan tetapi, karena ahlul kisa’ diwajibkan oleh Allah untuk menjauhi kejelekan dan melakukan amalan yang dapat menyucikan diri mereka (karena mereka adalah kerabat dekat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent.), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan mereka agar dapat membantu mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, Dengan demikian, mereka tidak menjadi orang-orang yang pantas mendapatkan celaan dan hukuman. Sebaliknya, mereka dapat beroleh pujian dan pahala.” (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/10)
Penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang hadits kisa’ di atas mengungkapkan dengan jelas bahwa tidak sesuatu pun yang menunjukkan kemaksuman ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terkhusus ahlul kisa’ sebagaimana sangkaan Rafidhah.
Yang benar dalam hal ini adalah apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah, yaitu tidak ada yang maksum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh nabi dan rasul sebelum beliau.
Tentang kemaksuman para nabi dan rasul ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah sepakat bahwa para nabi maksum dalam hal menyampaikan risalah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah maksud dari risalah. Sebab, seorang rasul menjadi penyampai perintah, larangan, dan berita dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam penyampaian risalah, mereka maksum menurut kesepakatan kaum muslimin, dan tidak boleh ada satu kesalahan pun.
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyatakan, “Mayoritas jumhur yang menganggap mungkin adanya dosa-dosa kecil pada para nabi dan rasul menyatakan bahwa mereka maksum dari terus-menerus melakukan dosa-dosa tersebut. Karena itu, tidaklah muncul dari mereka sesuatu yang memudaratkan mereka.
Disebutkan dalam sebuah atsar, “Setelah bertobat, Nabi Dawud lebih baik daripada sebelum melakukan kesalahan.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan/membersihkan dirinya.” (al-Baqarah: 222)
Adapun lupa dalam shalat, hal itu terjadi pada mereka. Terjadinya kelupaan ini memiliki hikmah bagi kaum muslimin. (Kaum muslimin mengetahui apa yang harus mereka lakukan apabila lupa dalam shalat, dengan mencontoh apa yang diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent.).” (Minhajus Sunnah 1/267)
Di sisi lain, dalam hal kemaksuman ini, Ahlus Sunnah memandang bahwa umat ini tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan. Secara umum, umat ini seluruhnya maksum (terjaga) dari kesesatan dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini jelas menyelisihi pendapat yang menetapkan adanya kemaksuman bagi orang tertentu dari kalangan muslimin, sementara keseluruhan kaum muslimin pasti salah, tidak maksum. Umat ini terjaga dari ditimpa kesesatan secara merata dan menyeluruh, sebagaimana keterangan nash-nash syariat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengabarkan dalam sabdanya,
“Akan terus-menerus ada sekelompok umatku yang zhahir di atas al-haq, sampai datang kepada mereka urusan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) (Masa’ilut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi’ah, 1/110)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Al-Qur’an adalah tali yang membentang dari langit ke bumi yang akan menyampaikan hamba kepada Rabbnya dan menjadi wasilah/perantara bagi si hamba untuk dekat kepada Rabbnya. (Tuhfatul Ahwadzi 1/197)
[2] Kelak di sisiku, keduanya mensyukuri apa yang kalian lakukan. (Tuhfatul Ahwadzi 1/197)
[3] Telaga dari al-Kautsar milik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat.
[4] Hadits kisa’ adalah hadits sahih yang diriwayatkan al-Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, dan oleh Muslim dalam Shahih-nya (no. 2424, kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Ahli Baitin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata,
خَرَجَ النَّبِيُّ ذَاتَ غَدَاةٍ وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ، فَجَاءَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ جَاءَ الْحُسَيْنُ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ، ثُمَّ جَاءَ فَاطِمَةُ فَأَدْخَلَهَا، ثُمَّ جَاءَ عَلِيٌّ فَأَدْخَلَهُ، ثُمَّ قَالَ:
إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذۡهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجۡسَ أَهۡلَ ٱلۡبَيۡتِ وَيُطَهِّرَكُمۡ تَطۡهِيرٗا
“Suatu pagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengenakan selimut dari kain tebal berwarna hitam yang berlukis pelana unta. Datanglah al-Hasan bin Ali, lalu beliau memasukkannya ke dalam selimut. Datang pula al-Husain, beliau pun memasukkannya bersama al-Hasan. Kemudian Fathimah datang dan beliau masukkan pula ke dalam selimut. Demikian pula ketika Ali datang, beliau lakukan yang sama. Kemudian beliau membaca ayat,
‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya’.” (al-Ahzab: 33)
[5] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud membatasi ahlul bait hanya mereka yang beliau selimuti dengan kisa’, sementara istri-istri beliau dikeluarkan dari Ahlul Bait.
[6] Surah al-Ahzab yang disebutkan dalam hadits di atas. Apabila melihat ayat sebelum dan sesudahnya, kita dapati bahwa yang diajak bicara dalam ayat adalah istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, yang dimaksud ahlul bait di sini adalah istri-istri beliau.
Hadits kisa’ memperluas cakupan ayat di atas. Dengan demikian, mereka yang ditutupi dengan kisa’ juga termasuk ahlul bait yang hendak dibersihkan oleh Allah dari kejelekan dan disucikan dari dosa.
[7] Terjaga dari kesalahan dan dosa.
[8] Rafidhah menetapkan adanya 12 imam sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Ahlul Bait, yaitu (1) Ali bin Abi Thalib, (2) al-Hasan dan (3) al-Husain bin Ali, (4) Ali bin al-Husain, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far ash-Shadiq, (7) Musa al-Kazhim, (8) Ali ar-Ridha, (9) Muhammad al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) al-Hasan al-‘Askari, dan (12) al-Mahdi al-Muntazhar.
[9] Padahal siapa dia dan siapa Ibnu Katsir, sejauh mana ilmunya dibandingkan dengan ilmu Ibnu Katsir?