Manakala suatu zaman semakin jauh dari masa kenabian dan semakin dekat dengan akhir masa, akan semakin banyak terjadi kerusakan, kemungkaran, penyimpangan, dan kebinasaan. Walaupun ada secercah cahaya kebaikan dan perbaikan, tetapi seolah-olah ia tenggelam dalam lautan dan badai kemungkaran. Ini adalah sunatullah yang tak terelakkan. Sebuah kenyataan pahit yang harus dihadapi dalam kehidupan.
Sebagai seorang muslim, kita dilarang hanyut dalam banjir kemungkaran atau merasa tak berdaya melihat fenomena banyak anak Adam terempas dalam lumpur kenistaan. Apalagi hanya duduk berpangku tangan, bahkan lari dari kenyataan.
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam telah memberikan perintah kepada segenap insan beriman agar menjadi pejuang yang menyeru kepada kebenaran dan mencegah beragam kemungkaran. Segenap keutamaan dan kemuliaan akan disandang oleh siapa saja yang ikut andil dalam memerangi dan mencegah kemungkaran.
Baca juga: Penerapan Amar Makruf Nahi Mungkar
Supaya nahi mungkar berbuah kebaikan dan perbaikan, tentu harus diperhatikan aturan dan konsep yang telah digariskan oleh syariat Islam. Jika tidak, nahi mungkar justru berbalik menjadi bumerang dan bencana yang membinasakan.
Melalui lembar Rubrik “Kajian Utama” Asy Syariah kali ini, penulis mencoba menguraikan bahasan penting tentang nahi mungkar. Harapannya, sebagai seorang muslim, kita dapat menghadapi beragam kemungkaran dengan sikap yang sesuai dengan bimbingan syariat.
Al-Munkar (kemungkaran) secara bahasa diartikan dengan al-amru al-qabih (hal yang jelek). Demikian yang dijelaskan oleh al-Fayyumi dalam al-Misbah al-Munir (hlm. 625 cetakan I, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H, Beirut—Lebanon).
Secara syariat, makna al-munkar dijelaskan oleh Syaikh al-‘Allamah Ubaid bin Abdillah bin Sulaiman al-Jabiri hafizhahullah,
الْمُنْكَرُ: مَا أَنْكَرَهُ الشَّارِعُ وَمَا قَامَ الدَّلِيلُ عَلَى نَكَارَتِهِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوْ إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ
“Kemungkaran adalah sesuatu yang diingkari oleh Pembuat syariat dan segala sesuatu yang telah tegak dalil tentang kemungkaran hal itu dalam al-Kitab, as-Sunnah, atau kesepakatan umat.” (Ithaf Ulil Bashar hlm. 8, cetakan ke-1, Dar Mirats an-Nabawi 2015/1436 H, Aljazair)
Baca juga: Kewajiban Amar Makruf Nahi Mungkar
Syaikh al-Faqih Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Al-Munkar adalah sesuatu yang diingkari dan dilarang/dicegah dalam syariat berupa ragam kemaksiatan, seperti kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, dusta, gibah, namimah, dan lainnya.” (Syarah Riyadh ash-Shalihin hlm. 406, cet. I Muassasah ar-Risalah 2013 M/1434 H, Damaskus – Syiria)
Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa al-munkar adalah sebuah nama untuk segala sesuatu yang dikenal kejelekannya dalam syariat dan dilarang di dalamnya. Beliau menegaskan bahwa sesuatu tidak dikatakan mungkar hingga diharamkan dalam syariat. (Syarah Arba’in hlm. 380, 2014 M/1435 H, Mesir)
Baca juga: Amar Makruf Nahi Mungkar Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. keyakinan
b. perkataan
c. perbuatan,
dalam bentuk:
(Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, lihat Ithaf Ulil Bashar hlm. 31)
Akal yang sehat dan fitrah yang suci dapat menilai sesuatu sebagai kemungkaran karena beberapa sebab, di antaranya:
a. Kemungkarannya sangat jelas dan gamblang diketahui oleh semua pihak.
b. Kemungkarannya sangat keji sehingga diingkari oleh semua kalangan.
Akan tetapi, tetap saja patokan dan dasarnya adalah syariat, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah.
Sesuatu yang dinyatakan sebagai kemungkaran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sahih adalah kemungkaran. Apa pun dan siapa pun yang menyelisihinya, tidak akan dianggap.
Apabila ada perbedaan penilaian tentang sesuatu yang dianggap mungkar, yang memutuskan adalah syariat dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan yang lain.
Hal yang disepakati oleh segenap umat Islam dan ulama mereka sebagai kemungkaran, akan dinilai sebagai kemungkaran; tidak diperbolehkan bagi siapa pun menyelisihinya.
Yang dimaksud kesepakatan di sini adalah kesepakatan seluruh umat Islam dan ulamanya, bukan kesepakatan umat Islam sekampung, sekecamatan, sedaerah, atau seadat.
Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemungkaran diungkapkan dengan ragam redaksi, di antaranya:
Baca juga: Cara Manis Menepis Kemungkaran
Kami sengaja merinci definisi dan gambaran tentang kemungkaran, sebab:
a. Mengilmui kemungkaran merupakan salah satu syarat diperbolehkannya amalan nahi mungkar
b. Mengetahui seluk-beluk kemungkaran untuk diwaspadai dan dijauhi adalah salah satu tonggak keimanan, metode yang diajarkan Al-Qur’an dan dipraktikkan oleh salafus saleh, semisal sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu anhu.
c. Agar kita menilai sesuatu sebagai kemungkaran berdasarkan ilmu, bukan dengan hawa nafsu.
d. Agar kita tidak salah menilaisesuatu, yang makruf dianggap mungkar.
e. Agar sempurna dalam bertobat, karena predikat taib (yang bertobat) tidak berhak diberikan kecuali jika seseorang betul-betul terlepas/bersih dari semua dosa/kemungkaran. (Madarijus Salikin 1/274, 1/335)
Wallahu a’lam bish-shawab.