Asysyariah
Asysyariah

antara muwalah dan muamalah

13 tahun yang lalu
baca 4 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Muamalah dengan orang kafir adalah masalah tersendiri dalam Islam yang tidak ada kaitannya dengan kecintaan dan sikap loyal/setia (muwalah) kepada mereka. Yang mendasari masalah ini adalah firman Allah l:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (al-Mumtahanah: 8)
Demikian juga hadits yang telah disebutkan sebelumnya tentang kisah Asma’ x dengan ibunya yang musyrik, yang Rasulullah n menyuruh Asma’ x untuk menyambung/menerima silaturahim ibunya.
Ibnu Hajar t menyatakan bahwa kebajikan, silaturahim, dan berbuat baik, tidaklah berkonsekuensi pada timbulnya kecintaan dan kasih sayang yang terlarang dalam firman Allah l:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22) (Fathul Bari, 5/233)
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Allah l mencela orang-orang yang memutuskan tali silaturahim dengan ibunya. Allah l justru mewajibkan untuk menunaikan haknya meskipun ia seorang wanita kafir. Ini berdasarkan firman Allah l:
ﭨﭩ
”…dan (peliharalah) hubungan silaturrahim…” (an-Nisa: 1)
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahim.” (HR. al-Imam Bukhari no. 5984, “Kitabul Adab”, Muslim no. 2556, “Kitab al-Bir wa ash-Shilah”)
Maka dari itu, silaturahim adalah wajib walaupun kepada orang kafir.
Allah l juga menetapkan bahwa kerabat itu mempunyai hak sekalipun ia kafir. Kekafiran tidaklah menjatuhkan hak-haknya di dunia. Allah l berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (an-Nisa: 36) (Ahkam Ahli Dzimmah, 2/417—418)
Dengan demikian, jelaslah bahwa muwalah yang berwujud kecintaan dan pertolongan atau pembelaan adalah satu hal tersendiri, sedangkan pemberian nafkah1, silaturahim, dan berbuat baik kepada kerabat yang kafir adalah hal yang lain. Bahkan, kelembutan Islam juga sangat kentara saat Islam memberikan muamalah/perlakuan khusus kepada para tawanan, orang tua, anak-anak, dan kaum wanita dalam peperangan.

Muamalah dengan Orang Kafir
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t menegaskan bahwa persoalan ini termasuk persoalan yang cukup dalam dan riskan, terutama bagi para pemuda. Sebagian mereka mengira bahwa segala sesuatu yang ada hubungannya dengan orang-orang kafir, berarti memberikan, muwalah (kecintaan) kepada mereka padahal tidak demikian. (Liqa’ al-Bab al-Maftuh 3/466, Liqa’ 67, soal no. 1507, lihat Wajadilhum Billati Hiya Ahsan hlm. 93)
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Nur ‘alad Darb mengingatkan bahwa setiap muslim wajib menampakkan sikap bara’ dari orang-orang musyrik (kafir) dan membencinya karena Allah l, namun tidak boleh menyakiti dan mencelakainya. Tidak boleh pula melampaui batasan terhadapnya dengan cara yang tidak benar.
Meski begitu, tetap tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman dekat. Jika kebetulan bersama-sama mereka menyantap sebuah makanan tanpa ada kedekatan, kecintaan, dan pembelaan, hal tersebut tidaklah mengapa. (Lihat Wajadilhum Billati Hiya Ahsan hlm. 93—94). Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Pemberian nafkah kepada kerabat yang nonmuslim diperselisihkan oleh para ulama.
Ada yang berpendapat bahwa kerabat yang nonmuslim berhak dinafkahi.
Ada yang berpendapat bahwa kerabat yang nonmuslim tidak berhak dinafkahi.
Ada pula yang berpendapat bahwa kerabat yang nonmuslim dari kalangan asal-usul dan keturunan berhak mendapatkan nafkah sedangkan kerabat yang nonmuslim lainnya tidak berhak.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab-kitab fiqih yang menukilkan perbedaan pendapat pada pembahasan “Kitab an-Nafaqat”.