Sebagai sebuah bangsa dan agama sekaligus, Yahudi jelas memusuhi Islam sejadijadinya. Ini sebuah realita. Merunut sejarah, Yahudi adalah bangsa pembangkang yang membunuh sejumlah nabi. Pembangkangan itu lantas menggumpalkan kedengkian yang kuat mengakar hingga kini, setelah nabi terakhir muncul dari bangsa non-Yahudi.
Banyak pertempuran melawan Yahudi tercatat dalam sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan masih tersisa satu pertempuran besar melawan Yahudi di akhir zaman nanti yang menjadi penanda dekatnya hari kiamat. Hal ini—selain dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang demikian gamblang—menunjukkan bahwa Yahudi memang seteru abadi kaum muslimin.
Dengan kelicikannya, Yahudi menciptakan segala cara untuk meruntuhkan Islam. Tak hanya menyerang dari luar, tetapi juga dari dalam. Dari dalam, Yahudi—berkolaborasi dengan Nasrani—mengemas segala macam kemaksiatan kemudian dijejalkan kepada generasi Islam.
Ketika segala macam kemaksiatan subur makmur, semangat keislaman kaum muslimin pun luntur lebur. Muncullah rasa minder dengan agamanya. Selanjutnya, pemurtadan dengan beragam kemasan berjejer antri menunggu giliran dilempar ke pasar.
Tak hanya “mengemas”, Yahudi juga “memproduksi” pelbagai aliran sesat atau agama-agama baru berlabel Islam. Produk “klasik” yang sudah jadi “brand” kuat di masyarakat dunia adalah agama Syiah Rafidhah. Betapa kuat “branding” Syiah, sampai sebagian orang menganggapnya bagian dari Islam, mazhab ke-5 dalam Islam.
Syiah memang salah satu proyek Yahudi yang dianggap paling berhasil. Ajaran sesatnya yang meletupkan kebencian kepada para sahabat dan kaum muslimin, telah menghasilkan banyak peristiwa berdarah. Korbannya tentu saja kaum muslimin. Secara otomatis, Syiah menjadi kaki tangan Yahudi melawan Islam.
Sinergi Yahudi-Syiah kian kuat karena media-media internasional mendukung persekongkolan ini. Seperti biasa, dengan goreng-menggoreng opini, media berhasil mengesankan bahwa Syiah itu anti-Yahudi. Alhasil, ada yang menyebut revolusi di Iran pimpinan Khomeini sebagai titik kebangkitan Islam.
Revolusi Syiah turut diekspor ke Indonesia. Pelan tapi pasti, jumlah pemeluk Syiah di Indonesia bertambah. Dalam jumlah sedikit, mereka berani bikin onar di sejumlah kota di Indonesia. Tak terbayang—na’udzubillah—jika populasi Syiah terus menggelembung. Syiah juga mampu menancapkan kuku-kukunya di lingkaran kekuasaan. Para penganut dan pembelanya bertebaran di pemerintahan dan lembaga legislatif. Repotnya, tokoh-tokoh ormas Islam malah memompakan pembelaan dan pembenaran terhadap ajaran Syiah. Syiah pun kian mendapat angin. Apalagi salah satu tokohnya, Jalaludin Rahmat “ditahbiskan” sebagai “cendekiawan muslim” oleh media-media nasional.
Sudah mafhum, di mana ada Syiah, di situ bau anyir darah. Di situ ada Syiah, di situ pula muncul api fitnah. Drama-drama pengkhianatan, adu domba, fitnah, dan konflik berdarah, yang didalangi Syiah sudah banyak yang memenuhi lembar sejarah. Yang paling baru, memanasnya konflik di Timur Tengah, terutama Yaman dan Suriah yang telah menelan ribuan korban jiwa, adalah ulah Syiah setempat yang didukung oleh Iran.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara dengan populasi muslim yang besar, Indonesia tak luput dari sasaran bidik Syiah. Jika proyek mensyiahkan Indonesia berhasil, bisa dibayangkan, Indonesia akan menjadi negara Syiah besar yang menjadi pintu perluasan Syiah ke seluruh dunia.
Ya Allah, jangan biarkan negeri ini dikuasai Syiah. Ya Allah, jangan basahi negeri ini dengan darah. Katakan tidak pada Syiah!