Asysyariah
Asysyariah

amirul mukminin umar bin al-khaththab (15): hari-hari berdarah di qadisiyah

8 tahun yang lalu
baca 10 menit
Amirul Mukminin Umar Bin Al-Khaththab (15): Hari-hari Berdarah di Qadisiyah

Setelah gagal menangkap panglima Sa’d di markasnya, Rustum semakin marah sekaligus cemas. Bayang-bayang kekalahan semakin menghantuinya. Dengan setengah hati dia mengatur pasukannya. Semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi pasukan muslimin. Tiga puluh tiga ekor gajah dikerahkan bersama pawangnya. Puluhan ribu pasukan berjalan kaki diperintahkan memasang rantai di kaki-kaki mereka, agar mereka bertempur sampai mati.

Dengan ratusan ribu prajurit ditambah pasukan gajah dan pasukan berantai, Rustum bertekad menghabisi orang-orang Arab. Kesombongan jahiliah dan fanatik buta dengan keyakinan berhala api di hatinya menutup matanya dari kenyataan kebenaran yang sebagian tanda-tandanya sudah terlihat.

Mereka membuat makar, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala membalas makar mereka, dan Dia sebaik-baik Dzat yang membalas makar musuh-Nya.

khilafah-pedang 

Hari Pertama (Yaumu Armats)

Usai memberi pengarahan secara umum, Sa’d menugaskan orang-orang yang menjadi rujukan dan dipandang memiliki banyak keutamaan, agar memberi nasihat pula untuk setiap batalion tempat mereka bergabung.

Qais bin Hubairah berpidato, “Wahai kaum muslimin, pujilah Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberi kalian hidayah kembali kepada-Nya, melimpahkan karunia-Nya kepada kalian, dan berharaplah kepada-Nya. Sungguh, surga dan ghanimah ada di depan kalian, sedangkan di belakang kalian tiada lain kecuali semak belukar dan padang pasir….”

Begitu juga ucapan Ghalib bin Abdullah al-Laitsi dan Ibnu Hudzail al-Asadi yang membangkitkan semangat pasukannya, “Jadikan pedang-pedang kalian sebagai benteng dan seranglah mereka seperti singa dan macan yang tengah menyerang. Percayalah sepenuhnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala….”

“Janganlah berita kalian hari ini mencemarkan pamor Arab esok hari….”

“… Bersegeralah menuju ampunan Rabbmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi….”

Setiap tokoh yang ditunjuk Sa’d itu berpidato menyemangati pasukan mereka dan mendorong kaum muslimin semakin teguh hati mereka.

Di seberang, Rustum juga melakukan hal yang sama.

Sebagian penulis sejarah mengisahkan, setelah selesai shalat zhuhur dan mendengar ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dibacakan, Sa’d bertakbir, “Allahu Akbar!”

“Allahu Akbar!” seru pasukan yang berdekatan dengan Sa’d, lalu terdengar pekik, “Allahu Akbar!” berikutnya dari pasukan sesudahnya, lalu disambut oleh pasukan yang berikutnya.

Setelah itu, Sa’d bertakbir lagi kedua kalinya, maka kaum muslimin mulai merapikan barisan.

Begitu usai takbir yang ketiga, para prajurit berkuda maju ke depan berhadapan dengan beberapa prajurit Persia.

Hurmuz maju ke depan menghadapi Ghalib bin ‘Abdillah yang telah mengeluarkan tantangan. Dengan mudah, Hurmuz dikalahkan oleh Ghalib dan ditawan, lalu dibawa ke hadapan Sa’d.

‘Amr bin Ma’dikarib berkeliling di antara dua pasukan membangkitkan semangat kaum muslimin, “Sungguh, satu orang dari orang-orang yang ajam ini, kalau dilemparkan dari kudanya, dia jadi seperti kambing.”

Ketika dia sedang memberi dorongan seperti itu, tiba-tiba keluar salah seorang ajam dan berdiri di antara kedua pasukan lalu memanahnya. Panah itu menancap di pundaknya. ‘Amr menoleh lalu mengejar orang itu dan menangkapnya. Kemudian, orang itu diseret ‘Amr mendekati pasukan muslimin.

Setelah tiba di hadapan kaum muslimin, ‘Amr mematahkan leher prajurit itu dan menyembelihnya, sambil berkata, “Seperti inilah yang harus kalian lakukan terhadap mereka.”

“Siapa yang mampu berbuat seperti engkau, wahai Abu Tsaur?”

Setelah beberapa prajurit mereka berjatuhan, orang-orang ajam itu mulai mengarahkan gajah-gajah mereka ke arah kaum muslimin.

Tiga belas ekor gajah serentak menuju Bujailah. Melihat gajah-gajah itu, pasukan berkuda Bujailah terkejut, bahkan kuda-kuda mereka ketakutan dan melarikan diri. Bujailah sendiri hampir dibunuh gajah-gajah tersebut.

Sa’d yang berada di atas istana melihat keadaan Bujailah segera memerintahkan Bani Asad membantu Bujailah.

Thulaihah al-Asadi, Ghalib bin ‘Abdillah, ar-Rufail bin ‘Amr, dan Hamal bin Malik bersama pasukan mereka menyerbu gajah-gajah itu.

Sebagaimana diceritakan, setiap gajah itu membawa dua puluh orang prajurit. Tidak lama, pasukan bergajah itu berhasil dilumpuhkan.

Melihat gajah-gajah itu berhasil dilumpuhkan, orang-orang Persia mulai ‘menembaki’ kaum muslimin.

Pasukan muslimin mulai membalas serangan itu sambil menunggu takbir Sa’d yang keempat.

“Allahu Akbar!” terdengar takbir Sa’d yang keempat.

Begitu mendengar takbir yang keempat ini, seluruh prajurit muslimin segera menyerbu ke tengah-tengah pasukan Persia yang dipimpin Zul Hajib dan Galenus dengan gajah-gajah mereka.

Gajah-gajah itu berlari ke depan menyerang pasukan Bani Asad.

Melihat gajah-gajah itu, kuda-kuda kaum muslimin berlari menyingkir ketakutan. Sebagian prajurit Bani Asad itu bertekad, “Demi Allah, biarlah aku mati atau menikam mata gajah-gajah itu.”

Dia mendekati gajah paling besar dan bertempur dengan sengit, membabat ke kiri dan ke kanan hingga tiba di depan gajah itu.

Prajurit itu menikam mata gajah itu, tetapi pawang gajah itu memukulnya dengan sebilah tongkat hingga melukai mukanya. Gajah itu berbalik dan menyeruduk orang-orang yang di sekelilingnya.

Hubaisy al-Asadi mengajak Bisyr bin Abil ‘Auja menyerang pawang-pawang gajah itu untuk melumpuhkan gajah tersebut.

Hubaisy berhasil memukul ujung belalai gajah tersebut bersamaan dengan Bisyr yang berhasil menebas kakinya hingga gajah itu terduduk.

Orang-orang Persia itu serentak menyerbu Bani Asad dan membunuh Hubaisy.

Melihat kejadian itu, Sa’d memanggil Bani Asad, “Bukankah kalian ahli berkuda dan unta? Apakah kamu tidak punya taktik untuk melumpuhkan gajah-gajah itu?”

“Ada, demi Allah,” jawab mereka.

Kemudian ‘Ashim bin ‘Amr memanggil para pemanah dan ahli pedang, “Mari kita lumpuhkan pawang-pawang gajah itu, kita singkirkan gajah-gajah tersebut.”

Teman-teman ‘Ashim menangkap ekor gajah-gajah itu dan memotong belalainya, hingga gajah-gajah itu berlari kesakitan sambil mengeluarkan jeritan. Akhirnya pasukan Persia itu kembali ke barisan mereka.

Pertempuran masih berlangsung sampai matahari terbenam dan suasana mulai diliputi kegelapan. Pertempuran tidak mungkin lagi dilanjutkan, maka kedua pasukan yang bertempur itu kembali ke markas masing-masing.

Hari pertama itu, lima ratus prajurit dari Bani Asad gugur, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati mereka.

Malam itu adalah malam yang tenang, tidak ada lagi pertempuran.

 tombak-etiopia

Hari Kedua (Yaumu Aghwats)

Pagi harinya, Sa’d menugaskan beberapa prajurit membawa korban yang luka untuk dirawat di Uzaib dan menguburkan para syuhada di Musyarriq, antara Uzaib dan ‘Ain Syams.

Ketika mereka sedang membawa korban yang luka dan gugur itu, dari kejauhan terlihat kepala-kepala kuda bergerak-gerak mendekat dari arah Syam.

Ternyata rombongan itu adalah enam ribu personil yang dikirim dari Syam atas perintah Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah radhiallahu ‘anhu.

Mereka berangkat sebulan yang lalu setelah mengalahkan Romawi di Yarmuk. Pasukan itu dipimpin oleh Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash, sementara di bagian depan ada Qa’qa’ bin Amr at-Tamimi.

Qa’qa’ sengaja mempercepat perjalanan pasukan itu, hingga tiba pagi hari sebelum pecah pertempuran hari kedua di Qadisiyah.

Qa’qa’ memerintahkan pasukannya yang berjumlah seribu orang dipecah masing-masing sepuluh orang. Jika sepuluh pertama telah berada di jarak batas pandangan, sepuluh kedua berjalan menyusul pasukan pertama, begitu seterusnya.

Akhirnya, mereka tiba dan memberi salam kepada kaum muslimin sambil menyampaikan berita gembira akan datangnya pasukan tambahan.

Kemudian, Qa’qa’ maju menantang perwira Persia untuk bertanding dengannya. Tantangannya disambut oleh Zul Hajib.

Ternyata Qa’qa’ mengenalnya dan berkata, “Hari ini kubalaskan dendam Abu Ubaid dan pasukannya yang tewas di Jembatan.”

Segera saja keduanya bertarung sengit, namun tidak berapa lama, Qa’qa’ berhasil membunuh Zul Hajib.

Semangat kaum muslimin bangkit melihat Qa’qa’ berhasil membunuh Zul Hajib, sedangkan tentara Persia mulai dibayang-bayangi kecemasan.

Sekali lagi Qa’qa’ menantang orang-orang Persia, maka majulah Fairuzan dan Banzuwan.

Melihat Qa’qa’ akan dikeroyok dua orang perwira itu, Harits bin Zhubyan maju membantu. Pertarungan satu lawan satu terjadi, Qa’qa serang-menyerang dengan Fairuzan, sementara di bagian lain Harits bertarung dengan Banzuwan.

Tidak terlalu lama, Qa’qa’ dan Harits berhasil membunuh lawan mereka masing-masing.

Pertempuran mulai pecah setelah Qa’qa’ memberi komando agar kaum muslimin langsung menyerbu tentara Persia dengan pedang-pedang mereka.

Hari itu, pasukan Persia tidak sempat memperbaiki keadaan gajah-gajah mereka sehingga tidak bisa menggunakannya, sampai esok harinya.

Setiap muncul satu rombongan pasukannya, Qa’qa’ bertakbir diikuti oleh kaum muslimin.

Qa’qa’ memerintahkan agar unta-unta pasukan muslimin diberi tutup muka dan diselimuti kain. Kemudian Qa’qa’ memerintahkan agar unta-unta yang sudah didandani itu dikerahkan menyerang pasukan berkuda Persia.

Hari pertama Persia mengacaukan barisan muslimin dengan gajah-gajah mereka. Hari kedua ini, kaum muslimin membalas dengan apa yang mereka miliki, yaitu unta-unta yang didandani untuk menyerang kuda-kuda Persia.

Hasilnya sangat mengagumkan, kuda-kuda tentara Persia kalang-kabut, lari kocar-kacir dari gelanggang pertempuran. Keadaan pasukan berkuda Persia hari kedua ini jauh lebih parah dibandingkan dengan keadaan kaum muslimin ketika menghadapi gajah-gajah mereka, di hari kemarin.

Pertempuran terus berkecamuk sampai hari gelap. Seorang muslim berkata kepada salah seorang Anshar, “Pinjami aku perisaimu,” tetapi si Anshari berkata, “Aku masih memerlukannya, tapi perisai orang ajam mana saja yang kamu mau nanti aku bawakan untukmu, insya Allah.”

Si muslim itu menunjuk kepada perisai emas di tangan seorang tentara Persia.

Si Anshar itu segera maju menyerang musuhnya, membabatkan pedangnya ke kiri dan kanan sampai dia mendekati pemilik perisai emas itu lalu membunuhnya dan mengambil perisai tersebut. Kemudian dia menemui si muslim yang menginginkan perisai emas itu, “Ambillah buatmu.”

Semangat kaum muslimin hari ini lebih hebat dari hari kemarin, seolah-olah belum pernah mengalami musibah kalah sama sekali.

Pada saat itu, seorang prajurit muslim, kuniahnya Abu Ka’b, berhasil membunuh seorang tentara Persia lalu mengambil kopiahnya dan mengenakannya. Ternyata, seorang prajurit muslim bernama Midhras dari Bujailah melihatnya. Midhras mengira dia adalah prajurit Persia karena mengenakan kopiah itu, lalu menikam Abu Ka’b.

Bismillah, engkau membunuhku?” kata Abu Ka’b.

Inna lillahi!” seru Midhras sambil memeluk Abu Ka’b.

“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampunimu, saudaraku,” kata Abu Ka’b kepada Midhras yang saat itu menangis.

Abu Ka’b berusaha menahan sakitnya, dia tidak marah apalagi mendendam kepada Midhras.

“Syahid. Tidak ada diyat,” kata Sa’d ketika mengetahui kejadian itu.

Midhras tidak henti-hentinya menangis. Dia selalu menjenguk Abu Ka’b, tetapi Abu Ka’b hanya mengatakan, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampunimu, saudaraku.”

Beberapa hari kemudian, Abu Ka’b meninggal dunia, sementara ahli warisnya membebaskan Midhras dari diyat.

Allahu Akbar.

Seorang prajurit Persia menantang bertarung dan disambut oleh seorang muslim, yaitu ‘Alba’ bin Jahsy al-‘Ijli. Keduanya saling serang dengan sengit, sampai ‘Alba’ berhasil membunuh Persia itu, tetapi Persia itu sempat merobek perut ‘Alba’.

Usus ‘Alba’ terburai. Dia berusaha memasukkan ususnya namun tidak mampu. Kebetulan seorang prajurit muslim lain melihatnya, kata ‘Alba’, “Hai, bantu aku memasukkan ususku ke perutku.” Orang itu membantu ‘Alba’, kemudian membelit perutnya dengan kainnya.

Tanpa menoleh kepada kaum muslimin yang lainnya, mereka beranjak menuju barisan Persia, tetapi baru tiga puluh hasta, ‘Alba’ jatuh dan tidak mampu meneruskan langkahnya, Malakul Maut sudah menjemputnya.

Kaum muslimin melihat kemenangan demi kemenangan mereka raih karena pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala sampai malam menurunkan gelapnya. Malam hari kedua itu dinamakan oleh para ulama malam yang hitam (lailah sawad).

Malam itu mereka berhenti dan kembali ke markas masing-masing.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits