Imam Muslim rahimahullah berkata dalam ash-Shahih,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ -وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ- قَالَا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ وَهْبٍ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرِ اللَّيْثِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: بَيْنَ رَجُلٌ بَفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ فَسَمِعَ صَوْتًا مِنْ سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلَانٍ! فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءُ كُلُّهُ فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيْقَتِهِ يَحُولُ الْمَاءَ بِمسْحَاتِهِ فَقَال لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلَانٌ؛ لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحَابِ الَّذِي هَذَا مَاؤُهُ يَقُولُ: اسْقِ حَدِيقَةَ فُلَانٍ لِاسْمِكَ فَمَا تَصْنَعُ فِيهَا؟ قَالَ: أَمَّا إِذْ قُلْتَ هَذَا فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا وَأَرُدُّ فِيهَا ثُلُثَهُ
Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb menceritakan kepadaku—dan ini lafaz Abu Bakr—keduanya berkata, Yazid bin Harun menceritakan kepadaku, Abdul Aziz bin Abi Salamah menceritakan kepadaku, dari Wahb bin Kaisan, dari Ubaid bin Umair al-Laitsi, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda,
“Ketika seseorang berada di tengah hamparan padang, tiba-tiba terdengar olehnya suara dari awan, ‘Siramilah kebun si fulan!’
Seketika itu bergeraklah awan minggir menghujani lahan yang berbatuan hitam hingga penuhlah salah satu sungai dari sungai-sungai yang ada. (Air pun mengalir) lalu dia ikuti aliran, hingga dijumpainya seorang lelaki tengah berdiri di kebunnya sibuk mengalirkan air dengan alat yang dipegangnya.
Baca juga:
Dia bertanya, ‘Wahai hamba Allah, siapa namamu?’
Lelaki ini menjawab, ‘Aku Fulan—persis dengan nama yang terdengar dari awan.’ Kemudian lelaki ini menimpali, ‘Wahai hamba Allah, apa gerangan yang menyebabkan dirimu bertanya perihal namaku?’
Dia berkata, ‘Sungguh, aku telah mendengar suara dari awan yang telah mencurahkan air (yang mengalir ke kebunmu) ini. Aku mendengar suara, ‘Siramilah kebun si fulan!’ menyebut namamu .(Wahai fulan) apakah yang telah kau lakukan terhadap kebunmu?’
Lelaki ini menjawab, ‘Jika demikian apa yang kau katakan, sesungguhnya aku selalu melihat hasil panen dari kebunku. Aku sedekahkan sepertiganya, sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku, dan sepertiga lainnya aku gunakan untuk mengolah kebunku’.”
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya Kitab az-Zuhd war Raqaiq no. 2984, dari dua gurunya; Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb. Keduanya meriwayatkan dari Yazid bin Harun, dari Abdul Aziz bin Abi Salamah[1], dari Wahb bin Kaisan, dari Ubaid bin Umair al-Laitsi, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah dengan lafaz di atas, dan ini adalah lafaz Abu Bakr ibnu Abi Syaibah.
Melalui jalan Yazid bin Harun dari Abdul Aziz bin Abi Salamah inilah, Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam al-Musnad (2/296). Demikian pula Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 3355.
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Akhbar al-Ashbahan (2/192) melalui jalan Amr bin Marzuq, dari Abdul Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad yang sama, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.
Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan dalam ash-Shahih no. 2984 melalui guru ketiganya; Ahmad bin Abdah adh-Dhabbi, dari Abu Dawud[2], dari Abdul Aziz bin Abi Salamah, dengan sanad yang sama pula dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dengan lafaz,
وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِينِ وَالسَّائِلِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ
“Dan aku sediakan sepertiganya untuk orang-orang miskin, peminta-minta, dan ibnusabil.”
Hadits ini sahih, semua perawinya terpercaya, dan tidak ada keraguan atas kesahihan hadits ini, menurut kesepakatan kaum muslimin atas kesahihan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Tauhid, beribadah kepada-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya adalah sumber segala kebaikan. Sebaliknya, kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya adalah sumber segala bencana dunia dan petaka di hari kemudian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)
Ayat di atas, demikian pula hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu yang baru saja kita simak, adalah sekian dari dalil Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan buah dari menauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan ketaatan kepada-Nya.
Lihatlah berita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sangat menakjubkan. Kisah seorang lelaki beriman yang mengeluarkan sedekah dari kebunnya. Dengan tauhid; beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dan zakat yang dia keluarkan, Allah subhanahu wa ta’ala bukakan berkah dari langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala menyuburkan tanahnya dan menumbuhkembangkan kebunnya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala khususkan siraman hujan untuknya. Subhanallah, sungguh sebuah kisah yang penuh ibrah. Tentu bagi mereka yang mau merenungkannya.
Maka dari itu, siapa pun yang berharap keberkahan harta dan mendambakan tambahan rezeki yang berlipat baik di dunia yang fana ini atau di akhirat yang kekal dan abadi, sungguh yang harus dia lakukan adalah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata dan tunduk kepada syariat-Nya. Untuk itulah sesungguhnya manusia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
An-Nawawi rahimahullah (631—676 H) berkata, “Hadits ini (menunjukkan) keutamaan bersedekah serta berbuat baik kepada orang-orang miskin dan ibnusabil. Demikian pula, (hadits ini menunjukkan) keutamaan seseorang yang makan dari hasil jerih payahnya dan keutamaan berinfak untuk keluarga.”[3]
Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu juga menunjukkan bahwasanya sedekah tidaklah mengurangi harta, apalagi memusnahkannya.
Saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi dan merahmati kita.
Pernahkah tebersit bahwasanya sedekah yang kita keluarkan akan mengurangi harta atau memusnahkannya? Mungkin bersitan itu pernah muncul dan bisikan itu pernah terngiang di relung hati. Demikian setan membisiki dada-dada manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 268)
Setan senantiasa menghalangi manusia dari kebajikan, menghalangi mereka dari sedekah dan menakut-nakutinya dengan kemiskinan. Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’ala berjanji akan memberikan ampunan dan keutamaan yang besar. Di sinilah manusia diuji, apakah dia kokoh meyakini janji Allah subhanahu wa ta’ala atau lebih menuruti bujuk rayu setan.
Baca juga:
Ketahuilah, sesungguhnya sedekah yang dikeluarkan tidak akan mengurangi harta apalagi menyebabkan musnahnya. Lelaki yang diceritakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu sama sekali tidak merasakan kekurangan pada hartanya. Justru sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala bukakan pintu-pintu rezeki serta berkah dari langit dan bumi.
Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala demikian luas. Keutamaan-Nya tidak terhingga. Sedekah yang dikeluarkan hamba-Nya tidaklah mengurangi harta. Demikianlah janji Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana terucap dari lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta….”[4]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah (1308—1376 H) menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan sedekah. Sedekah tidaklah mengurangi harta. Kalaulah kita anggap bahwa sedekah itu mengurangi harta dari satu sisi (yakni jumlahnya, –pen.), tetapi tambahan bagi harta sungguh akan dilimpahkan dari sisi-sisi yang lain.
Dengan sedekah, harta akan diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan sedekah, harta akan diselamatkan dari kejelekan-kejelekan dan akan berkembang. Dengan sedekah, pintu-pintu rezeki dibukakan bagi orang yang bersedekah dan akan dibukakan sebab-sebab bertambahnya harta, yang (semuanya itu) tidak diberikan bagi orang yang tidak bersedekah.
(Jika demikian keutamaan sedekah), akankah kemudian bisa kita bandingkan keutamaan-keutamaan tersebut dengan keluarnya sebagian kecil dari harta yang disedekahkan? (Sungguh) sedekah yang dikeluarkan pada tempatnya—karena Allah subhanahu wa ta’ala—tidak pernah memusnahkan harta, bahkan menguranginya pun tidak. Ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Demikian pula kenyataan yang kita saksikan dan pengalaman yang terjadi (seluruhnya menunjukkan bahwa sedekah tidaklah mengurangi harta, –pen.).[5]
Di antara keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala atas hamba-Nya yang bersedekah, Dia memerintah malaikat untuk mendoakan kebaikan atas mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا؛ وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidaklah suatu hari ketika hamba-hamba Allah masuk di pagi hari, melainkan selalu turun dua malaikat. Salah satu dari keduanya berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi mereka yang berinfak.’ Adapun malaikat kedua dia berdoa, ‘Ya Allah, berilah kebinasaan bagi mereka yang menahan sedekah’.”[6]
Allah subhanahu wa ta’ala pun ganti dan tambah harta mereka, sebagaimana Dia telah berjanji,
وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba: 39)
Baca juga:
Sedekah yang dikeluarkan tidaklah hilang. Bahkan, apa yang diinfakkan, itulah harta yang sesungguhnya. Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu anha menuturkan,
أَنَّهُمْ ذَبَحُوا شَاةً فَقَالَ النَّبِيُّ : مَا بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَتْ: مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلَّا كَتِفُهَا. قَالَ: بَقِيَ كُلُّهَا إِلَّا كَتِفُهَا
(Suatu saat keluarga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) menyembelih seekor kambing. (Setelah disedekahkan) Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Adakah yang tersisa darinya?” Aisyah berkata, “Tidak ada yang tersisa kecuali bahunya.” Rasul pun menimpali, “(Justru) semuanya masih utuh (tersimpan), kecuali bahu (yang belum disedekahkan).”[7]
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada istrinya yang paling dicintai demikian tegas, bahwa apa yang disedekahkan tidaklah musnah. Bahkan, itulah yang sesungguhnya kekal di sisi Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍۗ وَلَنَجۡزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓاْ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 96)
Demikian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendidik istri dan sahabatnya sampai hakikat ini tertanam dalam dada. Jadi, kita tidak heran ketika mereka menginfakkan separuh hartanya, sebagian atau bahkan seluruh hartanya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu. Mereka yakin bahwa apa yang disisi Allah subhanahu wa ta’ala itulah yang kekal. Mereka yakin pula Allah subhanahu wa ta’ala akan mengganti apa yang dikeluarkan dengan ganti yang berlipat dan lebih baik.
Baca juga:
Utsman bin Affan radhiallahu anhu mengeluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah saat Perang Tabuk. Beliau menyiapkan 30.000 personel pasukan dengan harta beliau. Allahu Akbar! Tidak sedikit pun tebersit kemiskinan dalam benak beliau. Beliau pun meraih apa yang lebih baik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Seraya membolak-balikkan emas yang diinfakkan oleh Utsman, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apa pun yang dia lakukan sesudah hari ini.”[8] (Karena sesungguhnya beliau telah diampuni, pen.)[9]
Beberapa keutamaan sedekah dan pengaruhnya bagi harta yang telah kita sebut di atas mengingatkan kita akan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (al-Baqarah: 276)
Riba dan sedekah adalah dua hal yang sangat berlawanan. Sedekah, yang kebanyakan manusia bakhil karena khawatir hartanya berkurang, justru itulah yang Allah subhanahu wa ta’ala kembangkan. Sebaliknya, apa yang manusia sangka menambah hartanya yaitu riba, justru Allah subhanahu wa ta’ala musnahkan. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memerangi pelakunya.
Akan tetapi, kebanyakan manusia telah terbalik penilaiannya. Janji Allah subhanahu wa ta’ala tentang sedekah mereka abaikan. Sebaliknya, ancaman Allah subhanahu wa ta’ala tentang riba tidak lagi dihiraukan. Manusia justru berbondong menempuh jalan pintas mengembangkan hartanya dengan riba.
Berita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang apa yang terjadi pada akhir zaman benar-benar terwujud. Beliau bersabda,
بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ يَظْهَرُ الرِّبَا
“Di saat mendekati kiamat akan tampak (meluas) riba.”[10]
Perkumpulan-perkumpulan sering disisipi kegiatan simpan-pinjam dengan mengembalikan uang jasa yang tak lain adalah riba. Deposito bank menjadi kebanggaan dan seolah menjadi jaminan masa depan. Pendek kata, banyak kaum muslimin terjatuh pada riba.
Keadaan ini diperparah dengan banyaknya bank dan lembaga ribawi lainnya serta merebaknya bank-bank berlabel “syariah”, yang ternyata produk-produknya masih sangat kental dengan riba melalui rekayasa-rekayasa yang menipu kebanyakan muslimin.[11]
Baca juga:
Para pemuja dunia menyangka bahwa bank dengan ribanya adalah sarana mengembangkan harta dan satu-satunya lembaga yang terpercaya untuk menginvestasikan harta. Bahkan, mungkin di antara mereka ada yang mengatakan bahwasanya mustahil pada zaman ini seseorang terlepas dari riba. Mustahil seseorang hidup tanpa riba.
Benarkah demikian? Tidak! Justru riba adalah sumber kerusakan dan kehinaan. Bukan kebaikan yang diraup, melainkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala dan kenistaanlah yang akan dituai.
Mereka menyangka bahwa dengan riba harta akan berkembang, sebaliknya dengan bersedekah harta berkurang. Sungguh, ini adalah buruk sangka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan waswas setan. Tidakkah kita renungkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَمۡحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰاْ وَيُرۡبِي ٱلصَّدَقَٰتِۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (al-Baqarah: 276)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba dan akan menghilangkan berkahnya. Riba adalah sebab turunnya kejelekan-kejelekan pada harta dan tercabutnya berkah. Kalaulah seseorang menginfakkan harta yang dia peroleh dengan riba, sungguh pahala tidaklah akan dia raup, tetapi justru akan menjadi beban baginya di neraka.
Adapun sedekah, Allah subhanahu wa ta’ala akan terus menyuburkannya. Dia juga menurunkan berkah pada harta yang dikeluarkan zakatnya. Pahala sedekah akan dipelihara (dan dilipatgandakan, -pen.) oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuknya. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 117)[12]
Menyoal masalah yang menimpa bangsa ini adalah hal yang sangat penting, terlebih keadaannya yang semakin terpuruk. Karut-marutnya perpolitikan, kemerosotan moral dan akhlak anak bangsa, kemiskinan dan krisis ekonomi yang terus mendera, benar-benar membuat banyak orang berpikir dan bertanya apa sebenarnya yang harus dilakukan untuk mengentaskan bangsa ini dari segala problema yang membelitnya. Dari mana sesungguhnya perbaikan itu harus dimulai?
Berangkat dari pemikiran materialis, yang kebahagiaan diukur dengan emas dan perak, kemudian menatap bahwasanya bank adalah lembaga keuangan yang kokoh, sehingga mampu menjamin ekonomi individu atau bangsa, mulailah hati kebanyakan manusia terbelenggu dengan bank. Mereka menjadikannya sebagai salah satu ujung tombak perbaikan bangsa. Mereka lalu melupakan perkara yang terpenting dalam kehidupan—yaitu tauhid—untuk menghadapi segala problem kehidupan. Demikianlah jika kalbu telah terbalik.
Sesungguhnya, jalan memperbaiki sebuah negeri atau individu hanya ada dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, siapa di antara manusia yang mau menjadikan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai pedoman dan pelita di tengah gulita? Hanyalah orang-orang yang beriman dan hidup kalbunya yang mau kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu yang sedang kita bahas sesungguhnya adalah jawaban dari pertanyaan yang menggelayuti benak para pemikir dan pakar politik atau ekonomi. Bangsa ini akan terangkat dan akan memiliki kemuliaan dengan ketakwaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (al-A’raf: 96)
Baca juga:
Perkara pertama yang harus diselesaikan adalah mengentaskan umat ini dari kerusakan akidah. Mereka diseru untuk memurnikan ibadah hanya untuk Allah subhanhu wa ta’ala. Semua manusia diajak kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, mengikuti jejak salaf saleh.
Menjadi sebuah keharusan bagi seluruh manusia untuk segera bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kesyirikan dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya. Dengan itu, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberi kemuliaan dan kebahagiaan. Nabi Nuh alaihissalam mewasiati umatnya untuk segera bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menjanjikan kemuliaan dari-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَقُلۡتُ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا ١٠ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارًا ١١ وَيُمۡدِدۡكُم بِأَمۡوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ جَنَّٰتٍ وَيَجۡعَل لَّكُمۡ أَنۡهَٰرًا ١٢
Aku (Nuh) katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10—12)
Allah subhanahu wa ta’ala menyeru orang-orang yang beriman untuk bersegera meninggalkan riba. Firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah: 278)
Ketika orang yang beriman mendengar seruan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini, tentu dia lebih mengedepankan ridha-Nya daripada hawa nafsunya. Dia akan bersegera meninggalkan riba yang terlaknat[13].
Ayat ini cukup bagi orang yang beriman untuk tidak berkubang dalam lumpur riba dan bergegas menghindarkan dirinya dari azab Allah subhanahu wa ta’ala yang pedih. Adapun mereka yang terus berada dalam riba, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mengancam perang dalam ayat selanjutnya,
فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.” (al-Baqarah: 279)
Menurut tabiatnya, manusia akan ditimpa takut apabila datang berita bahwa pasukan musuh datang menyerang. Akan tetapi, sungguh mengherankan, tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan perang bagi pelaku riba, justru kebanyakan manusia menganggapnya sebagai angin lalu.
Baca juga:
Bahkan, tidak jarang terucap dari lisan mereka keraguan akan rezeki Allah subhanahu wata’ala. Mereka berkata, “Kalau kita pilih-pilih pekerjaan, kita makan apa? Kalau kita tinggalkan bank, bagaimana nasib anak-anak kita? Kita kasih makan apa mereka?”
Sungguh mengejutkan ucapan ini! Tidakkah mereka sadar bahwa rezeki bukan di tangan bank? Tidakkah mereka ingat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala-lah Dzat yang memberikan rezeki?
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfuzh).” (Hud: 6)
Namun, tatkala keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dicampakkan dan neraka Allah subhanahu wa ta’ala dianggap sebagai berita yang tidak perlu dikhawatirkan, kaki pun terus melangkah untuk menempuh apa yang Dia haramkan.
Dahulu, empat belas abad silam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan akan datangnya masa saat manusia tidak lagi memedulikan harta yang dia peroleh, halal atau haram. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَال الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ، أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang kepada manusia zaman saat seseorang tidak lagi peduli akan harta yang dia ambil, apakah dari yang halal atau dari yang haram.”[14]
Baca juga:
Kenyataan itu telah kita saksikan. Manusia tidak lagi peduli dengan riba. Tidak lagi menimbang harta yang di tangannya apakah itu halal atau haram. Ancaman Allah subhanahu wa ta’ala menimpa mereka yang bergelimang riba. Meskipun secara zahir mereka memiliki sesuatu dari dunia, tetapi sungguh Allah subhanahu wa ta’ala hancurkan kehidupannya. Dada-dada mereka sempit, napas-napas mereka terengah.
Allah subhanahu wa ta’ala memalingkan dirinya dari akhirat. Mereka pun tersibukkan dengan emas dan perak. Allah subhanahu wa ta’ala menjatuhkan dunianya dan akhiratnya. Allah subhanahu wa ta’ala memusnahkan hartanya. Allah subhanahu wa ta’ala mencabut ketentraman hatinya. Allah subhanahu wa ta’ala cabut berkah pada harta, anak-anak, dan umurnya.
Siapakah yang mampu menghadapi Allah subhanahu wa ta’ala ketika Dia memerangi? Tidakkah kita takut dengan ancaman Allah subhanahu wa ta’al adalam firman-Nya,
فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.” (al-Baqarah: 279)
Kehinaan itu bukan hanya di dunia. Kesengsaraan akan senantiasa menimpa mereka yang terus tenggelam dalam riba sesudah kematiannya.
Suatu pagi, seusai shalat Subuh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan perjalanan mimpi beliau bersama Malaikat Jibril dan Mikail alaihimas salam. Kisah ini diceritakan oleh sahabat Samurah bin Jundub radhiallahu anhu. Dalam perjalanan itu beliau menyaksikan berbagai azab yang menimpa ahli maksiat, di antaranya para pemakan riba.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang apa yang menimpa mereka,
فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهْرٍ مِنْ دَمٍ فِيْهِ رَجُلٌ قَائِمٌ عَلَى وَسْطِ النَّهْرِ وَعَلَى شَطِّ النَّهْرِ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهْرِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِالْحِجَارَةِ فِي فِيْهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيْهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ
“… Kita pun pergi hingga menjumpai sebuah sungai darah. Di tengahnya ada orang yang berdiri dan di pinggir sungai ada orang yang di hadapannya batu. Lelaki yang berada di tengah sungai darah mendekat. Saat dia hampir keluar darinya, lelaki yang lain melemparkan batu ke mulutnya hingga dia kembali ke tengah sungai. Demikian seterusnya, setiap hendak keluar dari sungai, batu dilemparkan ke mulutnya hingga kembali (tersiksa di tengah sungai darah).”[15]
Baca juga:
Seorang yang beriman selalu khawatir seandainya masih ada harta haram, seperti riba, yang masih tersisa saat kematian menjemputnya. Dia pun membayangkan apa yang akan dia katakan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika ditanya tentang hartanya, dari mana didapat dan untuk apa digunakan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ؛ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَ أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam dari sisi Rabbnya pada hari kiamat hingga ditanya lima perkara; (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa disirnakan, (3) tentang hartanya dari mana dia peroleh, dan (4) untuk apa dikeluarkan, dan (5) tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan.”[16]
Jalan kebenaran telah dibentangkan di hadapan kita selebar-lebarnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan jalan menuju Allah subhanahu wa ta’ala sejelas-jelasnya. Demikian pula jalan menuju jahanam telah diperingatkan.
Kalbu yang hidup akan segera bangkit memenuhi panggilan Allah subhanahu wa ta’ala. Kalbu yang bersih tentu tidak akan angkuh dan sombong di hadapan kebenaran yang telah dipancangkan di hadapannya.
Tinggal kita memilih untuk melangkahkan kaki. Akankah kita tinggalkan riba dan mengeluarkan sedekah, atau tetap memakan riba dan menahan sedekah?
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Washallallahu wa sallama ‘ala Nabiyyina Muhammadin.
[1] Abdul Aziz bin Abi Salamah, dinisbahkan kepada kakeknya. Beliau adalah Abu Abdillah Abdul Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah al-Majisyun, termasuk kibar tabi’in (tabiin besar/utama), meninggal pada 164 H.
[2] Beliau adalah Imam Abu Dawud, Sulaiman bin Dawud bin al-Jarud ath-Thayalisi (204 H), penulis kitab al-Musnad. Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu ini dikeluarkan dalam Musnad-nya no. 2587.
Melalui jalan Abu Dawud, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2984) dari guru beliau Ahmad bin Abdah, sebagaimana telah kita sebutkan. Demikian pula Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyatul Auliya (3/275—276) dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/133).
[3] Syarh Shahih Muslim karya an-Nawawi rahimahullah (18/115).
[4] HR. Muslim no. 2588 dan at-Tirmidzi no. 2029 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu.
[5] Lihat Bahjah Qulub al-Abrar karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah hlm. 188, syarah hadits ke-34.
[6] HR. al-Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu.
[7] HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 2470; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 2470.
[8] HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 3701.
[9] Demikian diterangkan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi.
[10] HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir sebagaimana dikatakan al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib (3/9). Al-Mundziri berkata, “Rawi-rawinya perawi sahih.”
[11] Di antaranya, mengemas riba dengan istilah-istilah syariat, seperti mudharabah, murabahah, dan semisalnya.
[12] Dengan sedikit perubahan.
[13] Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim rahimahullah dalam ash-Shahih no. 1598.
لَعَنَ رَسُولُ الله آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan (memakai) riba, memberi riba, penulisnya, dan dua saksinya. Kata beliau, “Mereka ini sama.”
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Tegas dalam hadits ini tentang keharaman mencatat akad dua orang yang melakukan riba dan menjadi saksi (dalam akad tersebut). Dalam hadits ini pula (ada dalil) diharamkannya membantu perkara yang batil.”
[14] HR. al-Bukhari (4/313) dengan syarah Fathul Bari no. 2083 dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu.
[15] HR. al-Bukhari dalam ash-Shahih no. 1386.
[16] HR. at-Tirmidzi no. 2416, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah.