Pada awal surah al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Di antara sifat mereka ialah beriman kepada yang gaib. Mereka juga memiliki amalan-amalan yang tampak dan yang tidak tampak. Sebab, kata takwa mencakup semua hal itu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib.” (al-Baqarah: 3)
Sebab, hakikat iman adalah pembenaran secara total terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul (tentang perkara yang gaib) yang mengandung konsekuensi ketaatan seluruh anggota tubuh. Jadi, bukanlah termasuk iman yang benar, keyakinan terhadap hal-hal yang hanya bisa disaksikan oleh pancaindra. Jika demikian, tidak akan terbedakan antara yang mukmin dan yang kafir dalam perkara tersebut.
(Inti) keimanan ialah dalam perkara gaib, yang kita tidak bisa melihat dan merasakannya dengan pancaindra. Kita beriman terhadap yang gaib hanyalah karena adanya berita dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Inilah iman yang akan membedakan antara orang mukmin dan orang kafir.
Baca juga: Berita Gaib, Antara Kufur dan Iman
Seorang mukmin akan beriman kepada seluruh perkara yang diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sama saja baginya, apakah dia mampu mengetahuinya dengan pancaindranya ataukah tidak. Sama saja baginya, apakah akalnya mampu menjangkaunya ataukah tidak.
Sikap seorang mukmin ini berbeda dengan sikap orang-orang zindiq (munafik) yang mendustakan perkara-perkara gaib karena kerusakan akalnya. Mereka mendustakan perkara-perkara gaib tersebut karena akalnya tidak mampu menjangkaunya. Rusaklah akalnya dan kacaulah pemikirannya. Adapun akal seorang mukmin menjadi bersih dan suci dengan bimbingan wahyu ilahi.
Termasuk beriman dengan perkara gaib adalah mengimani seluruh perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam beritakan berupa berbagai peristiwa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Demikian pula hal-hal yang akan terjadi di akhirat nanti. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Termasuk beriman kepada hari akhir adalah beriman dengan seluruh perkara yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam beritakan berupa hal-hal yang akan terjadi setelah kematian. Jadi, Ahlus Sunnah beriman kepada adanya fitnah (ujian pertanyaan) di kubur dan azab kubur.”
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya azab kubur dari Al-Qur’an adalah sebagai berikut.
فَوَقَىٰهُ ٱللَّهُ سَئَِّاتِ مَا مَكَرُواْۖ وَحَاقَ بَِٔالِ فِرۡعَوۡنَ سُوٓءُ ٱلۡعَذَابِ ٤٥ ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّاۚ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدۡخِلُوٓاْ ءَالَ فِرۡعَوۡنَ أَشَدَّ ٱلۡعَذَابِ ٤٦
Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Firaun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Firaun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Ghafir: 45—46)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil yang paling kuat bagi Ahlus Sunnah untuk menetapkan adanya azab kubur, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱلنَّارُ يُعۡرَضُونَ عَلَيۡهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّاۚ
“Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghafir: 46)
Maksudnya, diperlihatkan neraka kepada mereka pada pagi dan sore hari.
فَذَرۡهُمۡ حَتَّىٰ يُلَٰقُواْ يَوۡمَهُمُ ٱلَّذِي فِيهِ يُصۡعَقُونَ ٤٥ يَوۡمَ لَا يُغۡنِي عَنۡهُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيًۡٔا وَلَا هُمۡ يُنصَرُونَ ٤٦ وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُواْ عَذَابًا دُونَ ذَٰلِكَ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ٤٧
“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, (yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikit pun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain itu. Tetapi, kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (ath-Thur: 45—47)
Ibnu Abil Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata,
“Firman Allah subhanahu wa ta’ala ini, kemungkinan yang dimaksud adalah mereka diazab di dunia dengan dimatikan atau yang lainnya. Kemungkinan (yang kedua) mereka diazab di alam barzakh. Makna yang kedua ini yang lebih tampak jelas. Sebab, kebanyakan mereka mati dalam keadaan belum diazab di dunia. Kemungkinan (ketiga), maksudnya adalah umum, yaitu azab di dunia dan di akhirat (termasuk azab kubur).” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 612—613)
سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيۡنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ
“Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.” (at-Taubah: 101)
Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami rahimahullah berkata,
“Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, Abu Malik, Ibnu Juraij, al-Hasan al-Bashri, Said, Qatadah, dan Ibnu Ishaq rahimahumullah mengatakan (yang kesimpulannya) bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah azab di dunia dan azab di alam kubur. Kemudian, mereka dikembalikan ke azab yang besar, yaitu neraka Jahannam.” (Ma’arijul Qabul, 2/719)
وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَدۡنَىٰ دُونَ ٱلۡعَذَابِ ٱلۡأَكۡبَرِ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat sebelum azab yang lebih besar (di akhirat). Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (as-Sajdah: 21)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Al-Bara bin Azib, Mujahid, dan Abu Ubaidah berkata bahwa yang dimaksud adalah azab kubur.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/405)
Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami rahimahullah berkata,
“Dalil-dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan adanya azab kubur sungguh telah mencapai derajat mutawatir. Sebab, para imam As-Sunnah, para periwayat hadits, dan para pakarnya (kritikus, penelitinya) dari sejumlah besar kalangan sahabat (telah meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Di antaranya Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, al-Bara bin Azib, Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Aisyah, dll., radhiallahu anhum.” (Ma’arijul Qabul, 2/721)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dan aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur.” (Muttafaqun alaih)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْلَا أَنْ لَا تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ الَّذِي أَسْمَعُ
“Kalau bukan karena (khawatir) kalian tidak saling menguburkan (jenazah), sungguh aku akan meminta kepada Allah agar memperdengarkan kepada kalian sebagian azab kubur yang aku dengar.” (HR. Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَينِ فَقَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ. فَأَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَا فَعَلْتَ هَذَا؟ قَالَ: لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati dua kuburan, lalu bersabda, “Sesungguhnya, keduanya sedang diazab. Tidaklah keduanya diazab karena suatu perkara yang besar (menurut kalian). Salah satunya tidak menjaga diri dari percikan air kencing, sedangkan yang lain suka mengadu domba antara manusia.”
Beliau lalu mengambil sebuah pelepah kurma yang masih basah. Kemudian, beliau membelahnya menjadi dua bagian. Beliau menancapkan satu bagian pada setiap kuburan.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan hal ini?”
Beliau menjawab, “Mudah-mudahan diringankan azab tersebut dari keduanya selama pelepah kurma itu belum kering.” (Muttafaqun alaih)
Aisyah radhiallahu anha berkata,
دَخَلْتُ عَلَى يَهُودِيَّةٍ فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ فَكَذَّبْتُهَا فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهُمْ لَيُعَذَّبُونَ فِي قُبُورِهِمْ حَتَّى الْبَهَائِمَ تَسْمَعُ أَصْوَاتَهُمْ
Aku masuk menemui seorang wanita Yahudi. Kemudian, dia menceritakan tentang azab kubur. Aku pun mendustakannya. Setelah itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam masuk menemuiku. Aku menceritakan kejadian itu kepada beliau. Beliau shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh mereka akan diazab di kubur mereka hingga hewan-hewan pun mendengarkan jeritan-jeritan mereka.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlindung dari azab kubur. Beliau juga memerintah umatnya untuk berlindung darinya.
Aisyah radhiallahu anha mengisahkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang azab kubur. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ، عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌّ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya. Azab kubur itu benar adanya.”
Aisyah radhiallahu anha berkata, “Setelah kejadian tersebut, aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat kecuali berlindung dari azab kubur.” (HR. al-Bukhari no. 1049)
Abu Hurairah radhiallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّال
“Apabila salah seorang kalian bertasyahud, hendaklah dia meminta perlindungan dari empat perkara. Hendaknya dia berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, azab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, serta dari kejelekan fitnah al-Masih ad-Dajjal.” (Muttafaqun alaih)
Dalam riwayat lain pada Shahih Muslim,
إِإِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ …
“Apabila dia selesai dari tasyahud akhir….”
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُهُمْ هَذَا الدُّعَاءَ كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ، يَقُولُ: قُولُوا: اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa ini kepada mereka (para sahabat) sebagaimana beliau mengajarkan sebuah surah dari Al-Qur’an. Kata beliau, “Ucapkanlah oleh kalian,
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahannam, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Muslim no. 590)
Wallahu a’lam.