(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)
Orang tua mana yang tidak sedih dan terluka hatinya manakala melihat buah hatinya yang ia rawat sejak kecil kini telah tumbuh menjadi duri dalam daging baginya. Si anak kini pandai membantah omongan orang tua, pandai memaki, bahkan tak segan untuk menyakiti. Sedih? Sudah pasti. Namun sang orang tua pun barangkali lalai, ketika dia berangan-angan memiliki anak yang shalih dan berbakti, harapannya itu tidak disertai upaya untuk memberikan pendidikan yang Islami kepada anak-anaknya. Ia tak mempedulikan bagaimana pendidikannya, bagaimana teman-temannya, bagaimana akhlaknya, dan sebagainya, hingga tak disadari si anak pun telah berubah menjadi “musuh” baginya.
Tidak sedikit orang tua yang menge-luhkan perihal anaknya yang jahat. Atau merasakan kehidupan yang serba tidak menentu karena harus menanggung beban mental dan rasa malu berkepanjangan karena ulah anak-anaknya.
Banyak cara yang kemudian mereka tempuh demi memperbaiki kelakuan anaknya. Bahkan tidak sedikit yang melaku-kan ‘potong kompas’ seperti datang ke para-normal untuk bisa ‘menjinakkan’ jiwa sang anak yang telah rusak. Mereka dilanda kepu-tusasaan karena merasakan betapa anaknya telah menjadi tuan yang memperbudak hidupnya, serta menjadi penjajah yang memeras keringat dan tenaganya.
Keseharian mereka diwarnai ucapan-ucapan kotor yang keluar dari mulut sang anak hingga caci maki yang demikian menghunjam kalbu orang tuanya. Sudah bukan hal yang aneh lagi jika belakangan ini kita mendengar ada anak yang tega mendaratkan pukulan dan tendangan ke tubuh dua insan yang lemah itu. Bahkan sampai menghabisi nyawa kedua orang tuanya dikarenakan tidak mendapat ijin untuk berbuat maksiat. Bayangkan jika hal itu terjadi pada anak anda. Siapa yang harus disalahkan dan menjadi kambing hitam, anak ataukah kita sebagai orang tua?
Di sisi lain, tidak sedikit orang tua yang tidak mempedulikan anak-anaknya. Mereka dibiarkan bagaikan binatang liar yang tidak memiliki aturan. Dibiarkan tidak terdidik dan tidak berpendidikan sehingga malang melintang nasib seorang anak di bawah asuhan dan buaian setan.
Bagi orang tua yang tidak bertanggung jawab seperti ini, bisa jadi yang ada di benak mereka adalah, bila syahwat tertunaikan, selesailah gejolak, tantangan, serta beban hidup. Selebihnya, hidup menjadi ‘milik’ masing-masing. Artinya, kedua orang tua dalam dunianya dan anak berada dalam dunia yang lain.
Asy-Syaikh Muqbil t di dalam Muqaddimah beliau terhadap salah satu kitab karya putri beliau menjelaskan: “Manusia dalam urusan kaum wanita terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: “Golongan yang melepas-kan ikatan dan aturan hidup sehingga dia pergi tanpa mahramnya, campur baur di tempat sekolah/kuliah mereka, bekerja di kantor atau di rumah sakit-rumah sakit, dan selainnya dari pekerjaan-pekerjaan duniawi sehingga urusan kaum muslimin menjadi carut marut dan kebarat-baratan.
Kedua: Melalaikan kaum wanita dengan tidak memberikan pendidikan kepada mereka. Membiarkan mereka bagaikan binatang. Tidak mengetahui apa saja yang telah diwajibkan Allah I dan hidupnya terkubang dalam fitnah, menyelisihi perintah Allah I, bahkan dia tampil merusak keluarganya sendiri dan menyambut segala seruan (kemaksiatan).
Ketiga: Mereka memperhatikan pendidikan kaum wanita dalam batasan-batasan yang tidak keluar dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai implementasi dari firman Allah I:
“Hai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Dan sabda Rasulullah n:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kalian.”1 (Nashihati lin Nisa`, hal. 7-8)
Kerusakan hidup berumah tangga sendiri disebabkan banyak hal, di antaranya:
Pertama: Seorang suami sebagai pimpinan rumah tangga menyia-nyiakan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan anggota keluarganya berjalan sendiri-sendiri dengan tanpa ada aturan dan hukum yang mengikat. Ini merupakan penyebab yang pertama dan paling utama.
Kedua: Seorang istri melalaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan guru bagi anaknya. Sehingga pendidikan dan kasih sayang yang semestinya didapatkan oleh anak hilang dan pudar. Hal ini disebab-kan banyak faktor, di antaranya adalah munculnya konsep emansipasi/kesetaraan gender di mana wanita dituntut untuk ‘maju’ dengan berkarir setinggi mungkin. Terlebih, keberanian seperti ini yakni meninggalkan kewajibannya yang asasi dan tanggung jawabnya yang besar, justru ditopang dorongan sang suami. Akhirnya anak ‘dididik dan dibesarkan’ oleh seorang pembantu/baby sitter. Tidak mengherankan jika lahiriah dan batiniahnya merupakan jelmaan sang pembantu.
Ketiga: Munculnya anak-anak yang durhaka kepada Allah I dan Rasul-Nya serta kepada kedua orang tuanya. Sehingga kerap kali sang anak harus menelanjangkan perasaan kedua orang tuanya dan ‘mence-tak’ aib hidup berumah tangga. Karena rasa malu yang sangat dan berkepanjangan tidak mustahil seorang bapak kemudian tega menghabisi nyawa anaknya dan menum-pahkan darahnya.
Keempat: Masuknya media elektronik modern ke dalam rumah di mana itu menjadi salah satu perusak tatanan hidup berkeluarga. Banyaknya tayangan atau tontonan yang berbau porno, sedikit atau banyak, memberikan pengaruh yang mendalam bagi anggota keluarga. Mereka pun akhirnya melampiaskannya kepada orang-orang terdekat atau yang lemah dari kalangan mereka sendiri. Seorang bapak menodai anak kandungnya sendiri, seorang anak menodai ibunya, paman menodai kesucian keponakannya, dan seterusnya, adalah sekelumit potret bagaimana dampak itu dirasakan dalam sebuah tatanan keluarga.
Kelima: Lingkungan yang jahat dan jelek
Fenomena hidup seperti ini akan bisa dibaca oleh setiap orang yang memiliki akal dan ilmu yang benar.
Wahai Anak, Dengarkan Wasiat Allah I dan Rasulmu
Anak yang shalih adalah anak yang menggembirakan dan menjadikan kedua orang tuanya ridha. Rasulullah n bersabda:
“Ridha Rabb berada di keridhaan orang tua, dan murka Rabb berada di atas kemurkaan mereka.”2
Dia berusaha menunaikan hajat kedua orang tuanya dalam batasan-batasan agama. Berperilaku sopan dan santun, beradab, bertutur kata lemah lembut dan penuh kasih sayang, serta menjadi penyejuk mata kedua orang tuanya. Semuanya ini diharuskan bagimu, wahai anak, karena:
1. Besarnya hak kedua orang tua
2. Hak kedua orang tua adalah kedua setelah hak Allah I dan Rasul-Nya.
3. Kelemahan di atas kelemahan yang ditanggung oleh seorang ibu mulai dari mengandung hingga melahirkannya
4. Rasulullah n menjadikan martabat berbakti kepada kedua orang tua di atas martabat jihad di jalan Allah I. (Lihat Syarh Riyadhus Shalihin, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 1/691)
Inilah wasiat Allah I dan Rasul, maka dengarkanlah:
Wasiat pertama: “Menjunjung tinggi hak kedua orang tua dan hak keduanya di bawah hak Allah I dan Rasul-Nya.”
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan kepada budak yang kalian miliki. Dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh lagi sombong.” (An-Nisa`: 36)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah I yang Maha Mulia memerintahkan agar beribadah hanya kepada Allah I semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah yang telah menciptakan, memberi rizki, memberi nikmat dan keutamaan atas seluruh makhluk dalam segala situasi dan kondisi. Maka Dialah yang berhak mereka sembah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu makhluk pun. Sebagaimana sabda Rasulullah n kepada Mu’adz bin Jabal:
‘Tahukah kamu hak-hak Allah atas para hamba?’ Dia menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda: ‘Agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.’ Kemudian beliau berkata: ‘Tahukah kalian hak hamba atas Allah jika mereka melakukan hal itu? Allah tidak akan mengadzab mereka.”
Kemudian Allah I mewasiatkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua karena sesungguhnya Allah I telah menjadikan mereka berdua sebagai sebab keluarnya kamu dari tidak ada menjadi ada dan Allah I sering menggandengkan ibadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada kedua orang tua, seperti firman-Nya:
“Agar kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” (Luqman: 14)
Dan seperti firman-Nya:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah melainkan kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua orang tua.” (Al-Isra`: 23)
Kemudian Allah I menganjurkan berbuat baik kepada keluarga, laki-laki atau perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersedekah kepada fakir miskin adalah shadaqah dan bersedekah kepada karib kerabat adalah shadaqah dan menyambung silaturrahmi.”
“Dan Kami telah mewasiatkan kepada manusia agar mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kamu mentaati keduanya. Kepada-Ku kalian akan dikembalikan dan Aku akan memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8)
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan: “Berbuat baiklah kalian kepada mereka berdua dengan segala bentuk kebaikan. Ulama berkata: ‘Orang yang paling berhak untuk kamu mensyukurinya dan berbuat baik kepadanya, terus-menerus berbuat baik, taat kepadanya dan tunduk setelah Allah I, adalah orang Allah I sebutkan setelah perintah untuk taat dan mensyukuri-Nya, yakni kedua orang tua.’ Allah I berfirman: ‘Agar kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu’.
Diriwayatkan oleh Syu’bah dan Husyaim Al-Wasithi, dari Ya’la bin ‘Atha`, dari bapaknya, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dia berkata: Rasulullah n bersab-da: ‘Keridhaan Allah tergantung pada keri-dhaan kedua orang tua dan kebencian Rabb tergantung dari kebencian kedua orang tua’.”
“Dan Rabbmu telah memerintahkan kepadamu agar kamu tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua “ah” dan jangan kamu menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: ‘Ya Rabbku, berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah memeliharaku semenjak kecilku’.” (Al-Isra: 23-24)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan: “Allah I meme-rintahkan untuk menyembah-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya yaitu masuk di bawah perbudakan ibadah kepada-Nya, tunduk terhadap segala perintah dan larangan-Nya dengan penuh kecintaan, menghinakan diri, keikhlasan dalam semua ibadah, baik yang bersifat lahiriah ataupun batiniah. Allah I melarang perbuatan kesyi-rikan baik syirik kecil ataupun besar, tidak kepada malaikat, manusia wali, dan tidak pula makhluk Allah I selain mereka. Mereka tidak sanggup memberikan manfaat kepada diri mereka dan tidak bisa menolak mudarat, tidak bisa mematikan dan menghidupkan, serta tidak bisa membangkitkan.
Kewajiban yang jelas adalah meng-ikhlaskan ibadah kepada Dzat yang Maha sempurna dari segala sisi dan bagi-Nya pengawasan yang sempurna yang tidak ada satupun sekutu bagi-Nya dan tidak ada seorangpun yang membantu-Nya.
Setelah perintah untuk menyembah-Nya dan melaksanakan hak-hak-Nya, Allah I memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba, diawali dari yang paling dekat kemudian yang setelahnya. Firman Allah I:
“Kepada kedua orang tua, maka berbuat baiklah”, artinya berbuat baiklah kamu kepada mereka dengan bahasa yang baik, berbicara dengan lemah lembut, menaati perintah keduanya dan menjauhi larangan mereka, memberikan nafkah kepada keduanya, memuliakan orang yang terkait hubungan dengan keduanya, menyambung silaturrahmi yang tidak memungkinkan tersambungkan melainkan dengan keduanya. Berbuat baik kepada keduanya memiliki dua lawan, yaitu berbuat jelek dan tidak mau berbuat baik. Dan kedua-duanya terlarang.”
“Dan Kami telah berwasiat (agar berbuat baik) kepada kedua orang tua (di mana ibunya) telah mengandungnya dalam kelemahan di atas kelemahan dan menyapihnya selama dua tahun (oleh karena itu) bersyukurlah kalian kepada-Ku dan kepada kedua orang tua kalian dan kepada-Ku kalian akan dikembalikan.”(Luqman:14)
(bersambung, insya Allah)
Catatan Kaki:
1 HR. Al-Imam Al-Bukhari no 844 dan Al-Imam Muslim no. 3408 dari shahabat Abdullah bin Umar.
2 HR. At-Tirmidzi no. 1821 dari Abdullah bin ‘Amr c, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 516. Dan diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Al-Adabul Mufrad no. 2, dan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih wa Dha’if Al-Adabil Mufrad mengatakan: Hasan mauquf dan telah shahih secara marfu’.