Al-jarh wat-ta’dil adalah sebuah metode yang dipakai para ulama Ahlus Sunnah untuk menjaga kemurnian ajaran Islam. Pada intinya, ia berisi pujian terhadap segala yang bersesuaian dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta celaan terhadap segala yang berlawanan dengan keduanya. Prinsip ini telah menjadi pedang Ahlus Sunnah bagi segenap ahlul bid’ah yang ingin melakukan perusakan terhadap agama. Tak heran banyak pengikut hawa nafsu mencoba meruntuhkan prinsip ini agar kebid’ahan mereka bisa dianggap sebagai agama. Namun sampai hari kiamat, mereka tak akan pernah mampu melakukannya.
Secara bahasa, dengan memfathah-kan huruf jim (dibaca ja) jarh artinya adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata kerjanya.
Ada pula yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai pengertian yang sebaliknya dari jarh.
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah mengatakan bahwa ilmu al-jarh wat-ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.[1]
Kritikan yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Jadi, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan, riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, ini pun ditolak[2]. Mereka mengatakan, “Sahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu hadits) belum tentu sahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi ‘indal Muhadditsin hlm. 20—21)
Di antara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat-ta’dil ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut (meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Mafhum[3] dari ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.
Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dijadikan dasar (hukum) tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia (yang mendengar langsung).” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh at-Tirmidzi: “Hadits hasan.”)[4]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan, “Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita atau riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi melindungi syariat yang mulia ini.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam menjarh (mengkritik) seseorang. Perlu adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang (sebetulnya) selamat (bersih) dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak tampak kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]
Adapun pembahasan lebih lanjut tentang kedua perkara ini adalah dalam kitab-kitab mushthalah hadits. Sedangkan dalam pembahasan ini, kita melihat sisi lain dari penerapan al-jarh wat-ta’dil ini dalam menjaga kemurnian dan kelestarian syariat Islam yang mulia ini.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa risalah sekaligus menutup para nabi dan rasul.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakanuntuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Dengan demikian, siapa pun yang menganggap bahwa manusia itu harus memahami akidah dan hukum-hukum agama mereka melalui ilmu lain yang bukan dari al-Qur’an dan as-Sunnah berarti telah melakukan kedustaan besar. Bahkan, ini sama artinya dengan menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali dengan pendapat atau pemikiran yang dia lontarkan. Ini adalah sebesar-besar kezaliman terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Sehubungan dengan hal ini, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menegaskan, “Barang siapa yang mengada-adakan satu bid’ah dalam Islam yang dianggapnya baik, berarti dia menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘(Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu),’ sehingga apa yang dahulu tidak diakui sebagai agama, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.” (al-I’tisham 1/64 dalam al-Luma’ hlm. 8)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menerangkan pula, “Maka jika Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Dia mencabut ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa artinya berbagai pemikiran yang diada-adakan oleh penggagasnya?! Kalau pemikiran tersebut memang bagian dari agama (ajaran Islam)—menurut keyakinan mereka—berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan adanya tambahan dari pemikiran tersebut. Ini jelas menentang al-Qur’an. Kemudian, kalau pemikiran tersebut bukan bagian dari agama ini—dan kenyataannya memang demikian (red)—apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari agama?! (al-Qaulul Mufid hlm. 38 dalam al-Luma’ hlm. 9)
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah ini dengan sebenar-benarnya, sebagaimana firman-Nya,
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan amanat dengan penyampaian sempurna, lafadz dan maknanya. Beliau tinggalkan untuk umat ini kitab Allah (al-Qur’an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu Shiddiq ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berarti benar-benar membuat kedustaan besar terhadap Allah subhanahu wa ta’ala. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan,
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya).” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala’ (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Sahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya (hlm.94) menerangkan makna (ke dalam Islam secara keseluruhan) artinya,
“Seluruh syariat agama (Islam) ini. Jangan meninggalkan sebagiannya dan jangan termasuk orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah (yang ditaati, disembah, diibadahi dengan semua jenis peribadatan –pen.). (Yakni), kalau syariat itu cocok dengan hawa nafsunya dia kerjakan, kalau tidak maka dia tinggalkan. Padahal, yang wajib adalah menjadikan hawa nafsu itu tunduk mengikuti ajaran syariat Islam yang mulia ini.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul- Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.”(An-Nisa’: 150—151)
Kalimat هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ حَقّٗاۚ ( Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya) menegaskan kepada kita penekanan tentang sifat mereka. Karena itu, jangan ada yang menyangka keadaan demikian, artinya mereka berada di antara kekafiran dan keimanan.
Salah satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah dakwah (mengajak) kepada as-Sunnah an-Nabawiyyah. Ini adalah landasan utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin. Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
As-Sunnah adalah asas persatuan dan sumber kemuliaan, kekuatan dan kebaikan dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya radhiallahu ‘anhum, yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka. Bahkan, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat meninggalkan dunia ini dalam keadaan ridha kepada para sahabatnya.
Al-Haq (kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada bersama mereka, di mana pun mereka berada. Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas kebatilan. Berbeda dengan orangorang selain mereka, dari berbagai kelompok sempalan yang ada, karena mereka justru bersatu di atas kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menerangkan,
“Tidak boleh ada pembelaan (wala’, nushrah) terhadap tokoh tertentu secara umum dan mutlak kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para sahabat radhiallahu ‘anhum. Karena sesungguhnya al-Huda senantiasa ada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana pun beliau berada. Begitu pula para sahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261)
Sejumlah nas (dalil) syariat telah menguraikan anjuran dan dorongan untuk mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi acuan persatuan dan kesepakatan di atas as-Sunnah dan jalan yang terang. Karena itu, tidak ada hujah melainkan milik orang yang menjadikan as-Sunnah sebagai hujah. Tidak ada pula ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan as-Sunnah dalam ilmu, amal, pendalilan, dan pemahaman serta ittiba’ (sikap mengikuti).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benarbenar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Sehingga pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan dan melapangkan jalannya, yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang dengan as-Sunnah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan,
“Ketika semakin banyak orang-orang yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan cintanya itu… Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, (Katakanlah: Jika kamu [benar-benar] mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, ikutilah aku). Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ucapan, tindakan, dan akhlaknya.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.”[6] Dalam ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada Rasul-Nya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan langsung dengan penyimpangan dari Sunnah Rasul-Nya.
Hal ini ditegaskan pula dalam hadits riwayat al-Imam Muslim rahimahullah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhuma, katanya:
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ: صَبَّحَكُمْ وَمَسَاكُمْ، أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan dia (sedang) mengomando satu pasukan tentara. Beliau berkata, ‘Perhatikan esok pagi dan petang kalian!’”
Beliau berkata pula, ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah sesat.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَ ىَريَ اخْتِلاَفًا كَثِ اْريً، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Aku wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mendengar dan taat, meskipun kepada seorang budak Habsyi (Ethiopia). Sesungguhnya, siapa yang hidup dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang terbimbing. Peganglah dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diadaadakan. Karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dari al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ
“Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Pengertian seperti ini telah dipahami dengan tepat dan dijaga oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran berpegang dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga men-tahdzir (menjelaskan bahaya) bid’ah, (melarang) bertetangga dengan ahli bid’ah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan orang-orang yang berpegang kepada ra’yu (pendapat akal pikiran semata).
Perhatikan sikap ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika dia berkata,
“Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan ra’yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh as-Sunnah. Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya. Akhirnya mereka berbicara dengan ra’yu mereka, maka mereka tersesat dan menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni rahimahullah dalam Sunan dan al-Lalikai rahimahullah dalam Syarhu Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah)
Sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, “Ikutilah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan jangan membuat bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini). Dan setiap bid’ah itu sesat.” (al-Ibanah, 1/327)
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata, “As-Sunnah ialah yang telah digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (al-Ibanah)
Agama Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya (orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala’ (ujian) dan persoalan-persoalan yang kalian ingkari….” (Sahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma)
Jadi, dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai aspek. Dimulai dari yang paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.
Hal ini ditegaskan oleh asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah yang dinukil oleh asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah,
“Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus. Bahwa perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkannya dan umatnya termasuk di dalamnya, mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari yang lainnya. Keduanya ialah:
Inilah al-Islam, yaitu istislam (tunduk, berserah diri) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan tauhid, menaati-Nya, dan berlepas diri dari semua bentuk kesyirikan serta para pelakunya.
Ta’shil yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar menjauhi berbagai bentuk kebatilan.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Di sini, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi muslim (sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu kafir (ingkar, menentang) terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala, sekaligus beriman hanya kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala)[8], maupun dalam masalah asma’ wa shifat (nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala).
Bahkan, seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah atau tuntunan al-Mushthafa (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir (memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.
Jadi, tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi akidah kaum muslimin dari kerusakan.
Permasalahan ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya,
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)[9]
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/122) menerangkan, “Di dalam ayat ini terkandung nasihat dan peringatan besar bagi mereka yang menolerir duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah subhanahu wa ta’ala, mempermainkan Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepadamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka hingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An-Nisa’:140)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya (5/418) menerangkan tafsir ayat ini yang maknanya,
“Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan. Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridha (senang) dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridha kepada kekafiran berarti kafir. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala ini: (Karena sesungguhnya [kalau kamu berbuat demikian], tentulah kamu serupa dengan mereka).
Maka siapa pun yang duduk bersama pelaku maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama….dan apabila dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan….”
Semakna dengan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan al-Imam Muslim rahimahullah dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الْأَرْضِ
“(Semoga) Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Allah melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Allah. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga) Allah melaknat orang yang mengubah patok batas tanah.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah menukil perkataan Ibnul Atsir, mengatakan, “Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah مُحْدِثًا , artinya pelaku kejahatan; kalau dibaca fathah مُحْدَثًا , artinya adalah perkara yang diada-adakan. Jadi, maknanya dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah ridha dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang ridha terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari, berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hlm. 175—176)
Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat. Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama. Oleh karena itulah, Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat.
Dari sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat al-Qur’an, dan as-Sunnah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Al-Wala’ wal-Bara’
Setiap mukmin adalah wali Allah subhanahu wa ta’ala dan mereka adalah wali bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Allah subhanahu wa ta’ala dan musuh orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala’ kepada sesama mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan pula bahwa sikap wala’ ini merupakan tuntutan atau konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia merupakan bagian dari makna kalimat syahadat (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah subhanahu wa ta’ala).
Inilah ajaran (millah) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersama beliau. Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kita untuk mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)
Memang, ayat ini adalah anjuran untuk bara’ (benci) terhadap orang-orang kafir, tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah.
Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Sampaikan kepada mereka (orang-orang Qadari[10]), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali. [11]
Prinsip ini (al-wala’ wal bara’) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ؛ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ،ِلهلِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah subhanahu wa ta’ala. Dan dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran itu, sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
“… Perlu diketahui bahwa seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia menzalimi kamu. Dan orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini seluruhnya hanya diserahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga cinta kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya….
Kemudian, apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan, kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan wala’ sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima bara’ (kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Inilah salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan orang-orang Khawarij, Mu’tazilah, dan yang mengikuti mereka.”[12]
Salah satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip al-Wala’ wal Bara’ ialah amar ma’ruf nahi munkar yang juga penyempurna seluruh prinsip pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya sebagai karakter para nabi dan rasul q, sebagai tanda bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (An-Nahl: 90)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)
Allah subhanahu wa ta’ala telah menyifati umat ini sesuai dengan sifat Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dan firman-Nya,
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah: 71)
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa umat ini adalah umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dengan jiwa dan harta mereka.[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Menganjurkan manusia agar berpegang dan mengikuti as-Sunnah serta mencegah jangan sampai bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini merupakan amalan saleh yang paling mulia, sehingga seharusnya betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala.” (Minhajus Sunnah, 5/253)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan,
“Dai yang mengajak kepada satu bid’ah berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para salafus saleh menghukum mati Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan al-Qadari, dan lain-lain[14]. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-tahdzir manusia supaya menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi munkar yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa 35/414, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah 2/485)
Oleh karena inilah, wajib menerangkan perihal orang-orang yang keliru dalam hadits, periwayatan, pemikiran ataupun fatwa. Bahkan juga mereka yang keliru dalam masalah zuhud dan ibadah.[15]
Adapun dalil atau acuan dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi setiap jamaah kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya (menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari pelaksanaan sikap adil yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada kita, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (katakata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (An-Nisa’: 135)
Al-Layy (memutarbalikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’radh (enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian), demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Lantas bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan sikap politik? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali ad-Daqqaq rahimahullah bahwa orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah setan yang bisu. Dan orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah setan nathiq (setan yang pintar ngomong, red).[16]
Tentunya, tidak diragukan lagi, ghirah (kecemburuan) yang Allah subhanahu wa ta’ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala inilah yang sebenarnya menjadi motivator baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغِيرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah subhanahu wa ta’ala adalah seorang mukmin melanggar apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala terhadapnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bahkan, bukanlah merupakan bentuk wala’ terhadap kaum mukminin, kalau seseorang membantu[17] saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu membutuhkan bimbingan secara syar’i.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا. قَالُوْا: يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
“Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi (teraniaya).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah. Kami jelas akan menolong yang dizalimi, lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang zalim?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yakni kamu tahan tangannya agar tidak berbuat zalim.” (Sahih, HR.al-Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar,
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala dan orang yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah. Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata, ‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’
Seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa (tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan (mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat dan selamatlah semuanya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu)
Allah ‘azza wa jalla telah mengingatkan kita bahwa azab-Nya tidak hanya menimpa orang yang zalim semata,
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfal: 25)
Oleh karena itu, menghadapi ahli bid’ah, menerangkan dan membongkar kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.
Beliau mengatakan pula,
“Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin, namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut) orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” (At-Taubah: 47)
Maka dari itu, harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong kita wajib bersikap loyal (wala’) kepada mereka. Sementara mereka telah terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini. Karena itu, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama tokoh-tokohnya).
Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.” (Majmu’ Fatawa, 28/233)
Demikian pula al-Humaidi, guru al-Imam al-Bukhari yang lain mengatakan, “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih aku sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”
Sehingga dikatakan oleh Ibnu Hubairah berkaitan dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu tentang (memerangi) orang-orang Khawarij, “Hadits ini menerangkan bahwa memerangi Khawarij lebih utama daripada memerangi kaum musyrikin. Hikmahnya ialah bahwa memerangi mereka merupakan bentuk penjagaan terhadap modal pokok Islam. Adapun memerangi kaum musyrikin (ibaratnya seperti) mencari keuntungan. Tentunya, memelihara modal pokok jauh lebih utama.” (Fathul Bari 12/301 dalam Sittud Durar hlm. 119—120)
Namun, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan katakata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43—44)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
“Sesungguhnya kelemah-lembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Sahih, HR. Muslim)
Jelas di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua, yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/136)
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Tidak diragukan bahwa syariat Islam ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama. Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasihat yang baik, dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri kalian.” (At-Taubah: 123)
Sikap keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan berperang dalam masalah ini, sebagaimana firman-Nya,
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.”(Al-Hujurat: 9)
Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa ‘alaihissalam mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun ‘alaihissalam yang Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang hal itu,
“Dan Musa pun melemparkan luhluh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (Al-A’raf: 150)
Apakah ada orang yang membantah Nabi Musa ‘alaihissalam dan menganggapnya tidak mempunyai sikap wala’ terhadap saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thaghut besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Kita lihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para sahabatnya.
Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah dia mengisahkan bahwa Mu’adz radhiallahu ‘anhu biasa shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia mendatangi kaumnya dan shalat bersama mereka (sebagai imam) dan membaca surat Al-Baqarah. Ada seseorang yang memendekkan shalat (kemudian pergi).
Berita ini sampai kepada Mu’adz radhiallahu ‘anhu lalu dia mencap orang itu munafik. Laki-laki itu mengetahui perbuatan Mu’adz. Lalu dia pun datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu, “Ya Rasulullah, kami suatu kaum yang bekerja sendiri untuk mengairi tanaman kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam lalu membaca surat al-Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia menuduh saya munafik.”
Mendengar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟(ثَلاثًا) اقْرَأْ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَنَحْوَهَا
“Hai Mu’adz, apakah kamu ingin menimbulkan fitnah?” (Beliau katakan tiga kali) “Bacalah atau yang seperti itu.”
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz.[18]
Kita bandingkan bagaimana sikap lembut beliau kepada seorang Arab badui yang kencing di masjid[19]. Dan bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhuma, hibbi (kesayangan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam putra hibbi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan syahadat. Beliau berkata kepadanya,
يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلا اللهُ؟ قُلْتُ: كَانَ مُتَعَوِّذًا. فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah)?” Saya berkata, “Dia hanya cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma)
Ini terus dijaga Usamah radhiallahu ‘anhuma sampai ketika terjadi fitnah pembunuhan terhadap Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu, beliau tidak ikut campur di dalamnya.
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Usamah mengambil faedah dari kejadiannya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengatakan, “Bagaimana dengan kalimat (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah subhanahu wa ta’ala), hai Usamah?” Kemudian dia menahan tangannya dan tetap di rumahnya.” (as-Siyar, 2/500 dinukil dari Sittu Durar)
Lihat pula bagaimana para qudwah (teladan) kita, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi kerabat mereka sendiri yang menyimpang dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah furu’.
Inilah Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya,
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا. قَالَ: فَقَالَ بِلاَلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. قَالَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ وَتَقُولُ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ؟
‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kamu melarang wanita (istri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian untuk ke sana.’ Tibatiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar: ‘Demi Allah. Sungguh kami pasti melarang mereka.’
Kata rawi, ‘Abdullah menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata, ‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi kamu justru mengatakan, ‘Demi Allah, sungguh kami pasti melarang mereka’?”
Demikianlah sebagian sikap tegas para salafus saleh terhadap orang-orang yang melecehkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun itu muncul dari kerabat mereka sendiri.
Inilah salah satu bukti pelaksanaan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Dari semua keterangan ini, makin jelaslah bagi kita kritik yang dilancarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pemikiran yang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar.
Semua ini adalah bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim. Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Allah ‘azza wa jalla, maka mereka pun ingin saudara mereka selamat.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada syariat-Nya yang mulia ini. Amin.
[1] Mukadimah kitab al-Jarh wa Ta’dil, Ibni Abi Hatim (1/ب)
[2] Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (sahih) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (al-Qur’an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana ditegaskan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat 3—4 surat an-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
[3] Mafhum mukhalafah (pengertian balik) makna ayat ini.
[4] Dinukil secara ringkas dari Dhawabith al-jarh wat-ta’dil (hlm. 10—16).
[5] Jika seorang kritikus secara serampangan mengkritik, akan habis tertolak semua hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menyebabkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi menjadi sumber syariat Islam yang mulia ini. Dan hal seperti inilah sebetulnya yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam seperti antara lain kaum Rafidhah (Syi’ah). Wallahu a’lam -pen.
[6] Al-Qur’an surat an-Nuur ayat 54.
[7] Dari pengantar asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj Salaf fi Da’wati Ilallahi karya asy-Syaikh Fawwaz as-Suhaimi, (hlm. 7-8).
[8] Seperti penciptaan, pengaturan, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
[9] Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah (hlm. 141-142).
[10] Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.
[11] Dikeluarkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, al-Lalikai rahimahullah dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, Abdullah bin al-Imam Ahmad dalam as-Sunnah (2/420) dan al-Ajurri dalam asy-Syari’ah (205).
[12] Majmu’ Fatawa (28/209).
[13] Majmu’ Fatawa (28/123).
[14] Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu telah menghukum Shabigh at-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari al-Qur’an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga darahnya bercucuran, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah lebih baik. Wallahu a’lam.
[15] Majmu’ al-Fatawa (28/234).
[16] Sittud Durar hlm. 109.
[17] Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan, dan kebid’ahan. Wallahu a’lam
[18] Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301).
[19] Sahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.