Tak bisa dimungkiri, kondisi umat Islam saat ini telah berpecah menjadi sejumlah kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki aturan dan jalan sendiri-sendiri. Masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada di kelompoknya dan tentu merasa benar dengan aturan-aturan yang dibuat kelompoknya. Satu keniscayaan yang pasti ada di tiap kelompok adalah adanya ‘belenggu-belenggu’ yang dipakai untuk menjerat anggotanya agar tidak lari.
“Al-Hizbu” الْحِزْبُ menurut etimologi bahasa Arab adalah “sekumpulan orang yang disatukan (dalam suatu kelompok, pen.) oleh suatu kesamaan sifat atau kepentingan yang universal; dari ikatan akidah dan iman, atau kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, atau ikatan negara dan tanah air, atau suku dan nasab, atau profesi dan bahasa, atau apa yang menyerupainya dari berbagai bentuk ikatan, sifat, dan kepentingan yang biasa dijadikan oleh manusia untuk bersatu di atasnya dan berkumpul di sekelilingnya.” (al-Ahzab as-Siyasiyyah fil Islam, karya asy-Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfuri, hlm. 7)
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali berkata, “Jika perkumpulan ini berdiri di atas kebatilan serta mengajak kepada kebatilan dan bid’ah, maka wajib bagi setiap muslim untuk menjawab, ‘Sesungguhnya perkumpulan ini bukan bagian dari Islam.’ Dan jika perkumpulan ini atas dasar Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, mencintai dan membenci karena Allah subhanahu wa ta’ala, maka yang demikian ini adalah bagian dari Islam.” (Jama’ah Wahidah la Jama’at, hlm. 12)
Atas dasar ini, maka yang kami maksud dengan al-hizbiyyah الْحِزْبِيَّة adalah suatu sikap fanatik, taklid buta, dan pembelaan terhadap suatu kelompok yang dibangun di atas sifat atau kepentingan tertentu, tanpa mengindahkan rambu-rambu syariat. Pelakunya disebut hizbiy dan jamaknya adalah hizbiyyun/hizbiyyin.
Benih-Benih al-Hizbiyyah
Benih-benih al-hizbiyyah telah ada semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan beliau sendiri tidak pernah membiarkannya. Demikian juga sahabat, begitu cepat meninggalkannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah (dalam Kitab al-Manaqib dari Shahih-nya, “Bab Maa Yunha min Da’watil Jahiliah”) dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “(Suatu hari) kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang Muhajirin pun berkumpul dan berdatangan kepada beliau hingga banyak. Di antara Muhajirin ada seorang laki-laki yang suka bergurau, lalu ia memukul pantat seorang dari Anshar. Spontan, orang Anshar ini pun marah dengan kemarahan yang meluap-luap, hingga akhirnya mereka saling berteriak (meminta bantuan). Orang Anshar berteriak, ‘Wahai Anshar!’ Dan orang Muhajirin berteriak, ‘Wahai Muhajirin!’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar (menemui mereka) seraya bersabda, ‘Ada apa dengan seruan jahiliah ini?!’ Kemudian beliau bersabda (lagi), ‘Apa masalah mereka?’ Maka diberitahukan kepada beliau tentang pemukulan pantat yang dilakukan oleh seorang Muhajirin terhadap seorang Anshar, maka beliau bersabda, ‘Tinggalkanlah perbuatan itu, karena ia adalah perbuatan yang buruk!’.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dua nama ini: ‘al-Muhajirin’ dan ‘al-Anshar’ merupakan dua nama yang syar’i, terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi nama mereka dengan keduanya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menamai kita dengan al-Muslimin sejak dahulu dan di dalam Al-Qur’an ini. Penyandaran seseorang kepada al-Muhajirin dan al-Anshar merupakan penyandaran yang baik lagi terpuji di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sekadar sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai pengenal seperti penyandaran terhadap suku dan negeri, dan tidak pula termasuk penyandaran yang makruh atau haram seperti penyandaran terhadap sesuatu yang mengantarkan kepada bid’ah atau maksiat lainnya. Meskipun demikian, tatkala masing-masing dari dua orang tersebut saling menyeru kelompoknya (walau dengan sebutan Muhajirin dan Anshar, ed.) untuk meminta bantuan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya dan menamakannya dengan ‘seruan jahiliah’.” (Iqtidha’ush Shirathil Mustaqim, hlm. 241)
Asas al-Hizbiyyah
Bila kita mencermati jamaah atau firqah yang ada di tengah-tengah kaum muslimin, akan kita dapati masing-masing dari mereka saling berbangga satu sama lain, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an:
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (ar-Rum: 32)
Nah, bila demikian keadaannya, pasti masing-masing dari mereka mempunyai prinsip dan pandangan yang terangkum dalam sebuah pedoman1 atau AD/ART, sebagai asas berpijak yang bersumber dari dan dibangun di atasnya aturan suatu kelompok. Barang siapa meyakininya atau dengan bahasa lain mengakui dan menjadikannya sebagai asas pergerakan dan amal, maka tergabunglah ia dalam kelompok tersebut dan menjadi bagian darinya, bahkan bisa menjadi anggota atau pemimpinnya. Jika tidak demikian maka tidaklah mungkin (menjadi bagian, anggota atau pemimpin bagi kelompok tersebut). Jadi, pedoman atau AD/ART kelompoklah yang dijadikan sebagai asas kecintaan dan kebencian, persatuan dan perpisahan, serta pemuliaan dan penghinaan. (al-Ahzab as-Siyasiyyah fil Islam, hlm. 13)
Belenggu-Belenggu al-Hizbiyyah
Tatkala seseorang menjadi bagian dari kelompok tertentu dan penyakit al-hizbiyyah telah menjangkitinya, maka sesungguhnya ia telah terjatuh dalam sebuah perangkap yang penuh dengan belenggu. Belenggu itu tidak akan lepas, hingga benar-benar ia tinggalkan kelompok tersebut dan ia bersihkan dirinya dari penyakit al-hizbiyyah serta ia hiasi hati sanubarinya dengan manhaj as-Salafush Shalih.
Di antara belenggu-belenggu itu adalah:
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian pelajar Salafiyyin ada yang mengatakan, ‘Kita harus bersatu di atas janji setia dan bai’at kepada pemimpin kita, walaupun kita bermanhaj salaf, bukan manhaj yang lainnya?’
Maka beliau menjawab, ‘Tidak perlu untuk bai’at dan lainnya sama sekali, cukup bagi mereka apa yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Mereka menuntut ilmu dan bermuamalah dengan baik tanpa ada bai’at kepada siapa pun’.” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, Dr. ‘Utsman bin Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haaj Muhammad ‘Utsman, hlm. 8)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah seorang imam yang banyak muridnya dan belum pernah terjadi antara beliau dengan murid-muridnya suatu janji setia atau bai’at. Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Malik, Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, dan yang lainnya dari para imam. Apakah mereka menuntut murid-murid dan sahabatnya untuk berbai’at serta berjanji setia atas suatu perkara? Sama sekali kami belum pernah mendengarnya, belum mengetahuinya, dan tidak mungkin bagi seorang pengaku untuk mengaku-ngakunya. Maka mengapa kita tidak seperti mereka?!” (at-Tahdzir minat Tafarruqi wal Hizbiyyah, hlm. 9)
Bahaya al-Hizbiyyah
Hukum al-Hizbiyyah
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika seseorang bimbang tentang hukum sesuatu, apakah boleh atau haram, hendaklah ia melihat kepada mafsadah, akibat, dan tujuannya. Jika ia mengandung mafsadah yang kuat lagi jelas maka mustahil bagi Asy-Syari’ (Allah subhanahu wa ta’ala) memerintahkan atau membolehkannya. Bahkan bisa dipastikan keharamannya dari syariat-Nya. Lebih-lebih bila mengantarkan, mendekatkan, menyampaikan, sebagai motor, dan posnya kepada apa yang dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang demikian ini tidak diragukan keharamannya bagi orang-orang yang berakal.” (Madarijus Salikin, 1/496)
Berangkat dari apa yang dijelaskan oleh al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah di atas, maka orang yang berakal tidak akan ragu tentang haramnya al-hizbiyyah, karena mafsadahnya demikian kuat dan jelas.
Oleh karena itu,
Nasihat dan Ibrah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh bagi para pengajar untuk mengelompokkan manusia serta menebarkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Bahkan hendaknya menjadi saudara yang saling menolong dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan serta jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (al-Ma’idah: 2)
Tidak boleh bagi siapa pun dari mereka untuk mengambil janji setia dari seseorang, agar menyetujui segala apa yang ia inginkan, mencintai orang yang mencintainya, dan memusuhi orang yang memusuhinya. Barang siapa yang melakukan hal ini maka ia sejenis dengan Jenghis Khan dan yang semacamnya, yang menjadikan orang yang menyetujuinya sebagai kawan yang dicintai dan orang yang menyelisihi (menentang)nya sebagai musuh yang dibenci. Akan tetapi cukup bagi mereka (para pengajar) dan pengikut mereka janji setia kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjaga hak-hak para pengajar sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika ustadz seseorang dizalimi, hendaknya ia membelanya. Dan jika berbuat zalim, tidak boleh membantunya dalam kezaliman itu bahkan hendaknya mencegahnya.” (Majmu’ Fatawa, 28/15)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari penyakit al-hizbiyyah dan belenggu-belenggunya, dengan suatu harapan agar kita semua disatukan di atas ikatan suci, yaitu ikatan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.
Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.