Segala puji hanya milik Allah Yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya, Kitab yang memisahkan yang halal dari yang haram, memisahkan pula antara orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka, serta antara yang haq dan yang batil.
Dengan rahmat-Nya, Dia menjadikan Kitabnya ini sebagai petunjuk bagi manusia secara umum dan bagi orang-orang yang bertakwa secara khusus. Dia menurunkan Kitab-Nya sebagai obat bagi penyakit yang ada di dalam dada manusia, baik penyakit syahwat maupun penyakit syubhat. Juga sebagai obat bagi penyakit-penyakit yang menimpa tubuh manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa Kitab-Nya ini tidak ada keraguan di dalamnya, dari sisi manapun. Hal itu tidak lain adalah karena isinya yang mengandung kebenaran yang agung, baik dalam hal berita maupun perintah dan larangannya.
Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan al-Qur’an ini dan menyebutkan sifatnya bahwa dia adalah majid, yaitu yang luas dan agung sifat-sifatnya. Hal itu tidak lain adalah karena luas dan agungnya makna-makna al-Qur’an.
Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan bahwa Kitab-Nya ini adalah dzu adz-dzikr, yaitu yang dengannya diingat ilmui-lmu Ilahiah, akhlak yang baik, amal saleh, dan orang-orang yang takut akan mendapatkan nasihat.[1]
Allah subhanahu wa ta’ala bahkan telah menjelaskan bahwa Kitab yang sarat dengan kebaikan ini diturunkan tidak lain adalah agar ditadaburi lalu menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shad: 29)
Untuk tujuan tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjamin kemudahannya, mudah dibaca huruf-hurufnya dan mudah pula dipahami makna-maknanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Sesungguhnya Kami mudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran.” (ad-Dukhan: 58)
“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (Maryam: 97)
Alhasil, al-Qur’anul Karim adalah ayat-ayat yang mudah dan jelas menunjukkan kebenaran, baik dalam bentuk perintah, larangan maupun beritanya. Allah subhanahu wa ta’ala memudahkannya untuk dijaga oleh para ulama dengan menghafal, membaca, dan menafsirkannya.
Kitab ini mudah dicerna oleh akal manusia, membuat hati menjadi lembut, tidak membuat bosan dan jemu orang yang memerhatikan dan mendengarnya, meskipun di dalamnya sarat dengan rahasia dan ilmu-ilmu yang hanya dimengerti oleh orang-orang yang kokoh ilmunya.
Oleh sebab itu, siapa yang ingin menjadi ahli dzikr, hendaklah dia memasukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang benar-benar membaca Kitab Allah, di masjid, rumah, tempat dia bekerja; dan tidak lalai dari al-Qur’an serta tidak membacanya hanya khusus pada bulan Ramadhan.
Sebagaimana disebutkan dalam surat Shad di atas, al-Qur’anul Karim ini adalah Kitab yang mengandung banyak kebaikan. Ia diturunkan adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal yang sehat.
Maka dari itu, apabila lafadz-lafadz al-Qur’anul Karim ini tidak bisa dipahami oleh mereka yang membaca atau mendengarnya, tentu tidak ada faedahnya perintah untuk mentadaburinya. Apabila tidak dapat ditadaburi, tentu tidak lagi akan menjadi hidayah bagi manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Kitab-Nya yang mulia ini,
“Thaha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (Thaha: 1—3)
Tujuan wahyu, diturunkannya al-Qur’an kepadamu (wahai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ditetapkannya syariat bukanlah agar kamu menjadi susah. Di dalam syariat ini tidak pula ada beban yang memberatkan orang-orang yang mukallaf (baligh dan berakal) serta tidak mampu dipikul oleh kekuatan manusia.
Wahyu, al-Qur’an dan syariat ini tidak lain diturunkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dia menjadikan al-Qur’an ini sebagai pengantar menuju kebahagiaan, kemenangan, dan keberuntungan. Bahkan, Dia memudahkannya dengan semudah-mudahnya, serta membentangkan pintu-pintu dan jalan-jalannya, juga menjadikannya sebagai gizi bagi hati dan ruhani serta ketenangan jasmani. Karena itu, fitrah-fitrah yang masih bersih menyambutnya, akal-akal yang sehat pun menerimanya dengan penuh ketundukan, karena mengetahui di dalamnya sarat dengan kebaikan dunia dan akhirat.
Oleh sebab itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).”
Dikhususkan penyebutan orang yang takut kepada Allah adalah karena selain mereka tidak akan dapat memetik manfaat dari Kitab Suci ini. Tentu saja, bagaimana mungkin orang yang tidak beriman kepada surga dan neraka, tidak pula ada rasa takut—walaupun sebesar biji sawi—dalam hatinya kepada Allah?
Tidak mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.” (al-A’la: 10—11)
Orang-orang yang takut kepada Allah ini, apabila disebut nama Allah dan diingatkan tentang Allah, tergetar hatinya. Dia segera ingat kepada Allah, lalu memohon ampunan kepada Allah.
Siapakah mereka?
Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala terangkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28)
Kemudian, sebagaimana dipaparkandi atas, al-Qur’anul Karim ini adalah Kitab yang banyak kebaikan di dalamnya. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkannya untuk menjadi pedoman bagi manusia secara umum, dan orang-orang yang bertakwa secara khusus.
Di dalam Kitab Suci ini terkandung obat bagi semua penyakit yang diderita oleh manusia, lahir dan batin. Penyakit syahwat dan penyakit syubhat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (al-Isra: 82)
Dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
Dan jikalau Kami jadikan al-Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”
Apakah (patut al-Qur’an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab?
Katakanlah, “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Fushshilat: 44)
Demikianlah al-Qur’anul Karim ini, dia adalah obat semua penyakit syubhat; yaitu apa saja yang mengotori keyakinan manusia tentang Rabbnya, sekaligus obat bagi penyakit syahwat yang menghalangi manusia untuk tunduk kepada syariat-Nya.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menegaskan: Siapa yang mentadaburi al-Qur’an untuk memperoleh petunjuk (hidayah) dari al-Qur’an, tentu jelas baginya jalan kebenaran.[2]
Di dalamnya terkandung berbagai ilmu yang diperlukan oleh manusia untuk meraih kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Salah satu ilmu yang bermanfaat bagi manusia di dalam Kitab yang mulia ini adalah ilmu tentang al-amtsaal. Bahkan, dikatakan pula sebagai salah satu ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling utama, dan seorang mujtahid harus bisa memahaminya.[3] Wallahu a’lam.
Berbagai hakikat yang tinggi makna dan sasarannya menjadi lebih indah ketika dibuat dalam bentuk konkret yang mendekatkan kepada pemahaman melalui kias yang telah diketahui secara yakin. Tamsil adalah pola yang dapat menonjolkan berbagai pengertian dalam bentuk yang hidup dan mapan di alam pikiran, dengan menyerupakan hal-hal yang gaib atau abstrak dengan sesuatu yang nyata atau konkret, dan mengkiaskan sesuatu dengan yang serupa.
Betapa banyak makna yang indah menjadi lebih menarik karena pemaparannya menggunakan tamsil. Itulah sebabnya jiwa lebih terdorong untuk menerimanya dan akal merasa lebih puas mencernanya. Inilah salah satu uslub al-Qur’anul Karim mengungkapkan penjelasan dan kemukjizatannya.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah memasukkannya dalam bidang yang wajib diketahui oleh setiap mujtahid. Kata beliau, “Kemudian mengetahui perumpamaan-perumpamaan yang menunjukkan kepada ketaatan kepada-Nya….”[4]
Para ulama terdahulu ada yang menulis sebuah kitab khusus tentang tamsil ini, contohnya ialah al-Hasan bin Fadhl. Ada juga yang meletakkannya dalam salah satu bab dalam kitabnya, seperti Ibnul Qayyim rahimahullah.
Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal yang secara harfiah artinya perumpamaan atau tamsil. Dalam bahasa Arab, matsal, mitsil dan matsiil adalah sama dengan syibh, syabah, dan syabiih, baik lafadz maupun maknanya.
Kadang kata matsal dan syabah digunakan untuk mengungkapkan keadaan atau sifat sesuatu. Misalnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman). mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orangorang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.” (ar-Ra’d: 35)[5]
Kadang kata mitsl digunakan juga untuk mengungkapkan sesuatu yang serupa dengan yang lainnya dalam salah satu makna, apa saja. Jadi, dia lebih umum untuk menerangkan kesamaan.
Akan tetapi, amtsalul Quran tidak bisa dibawakan kepada asal makna secara bahasa, yaitu keserupaan dan kesamaan. Sebab, matsal al-Qur’an juga bukan perkataan yang digunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan tersebut.
Kata Syaikh as-Sa’di, “Ketahuilah bahwa al-Qur’an berisi hal-hal yang sangat tinggi, sempurna, dan bermanfaat yang diperlukan oleh manusia. Di dalamnya terdapat metode pendidikan yang paling baik, penyampaian makna ke dalam hati dengan cara paling mudah dan jelas.
Di antara cara pendidikannya yang tinggi ialah membuat perumpamaan-perumpamaan. Terkait hal ini, disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Menciptakan manusia tentang urusan-urusan yang penting, seperti tauhid, keadaan orang-orang yang bertauhid, tentang syirik dan para pemujanya, serta amalan yang umum dan mulia.
Tujuannya semua itu adalah untuk menjelaskan makna-makna yang bermanfaat, menyerupakannya dengan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indra agar pembaca menyaksikannya seakan-akan melihatnya dengan mata kepalanya.
Ada pula ulama yang menyebutkan hakikat tamsil ini ialah mengeluarkan makna yang tersembunyi menjadi lebih terlihat. Tamsil terbagi dua:
Jenis yang pertama sangat banyak terdapat dalam al-Qur’an. Misalnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 17—20)
Di dalam ayat-ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala membuat perumpamaan tentang orang-orang munafik dengan dua contoh, yaitu api dan air.
Jenis yang kedua, meskipun tidak terang-terangan menyebutkan perumpamaan, tetapi sudah menunjukkan kepada makna yang menarik meskipun diungkap dengan cara yang ringkas, namun tetap memberikan pengaruh tersendiri jika dipindahkan kepada halhal yang menyerupainya.
Misalnya ayat yang semakna dengan ungkapan
(sebagaimana kamu berbuat, seperti itu kamu dibalas) ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa: 123)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan di dalam Kitab-Nya yang mulia bahwa Dia membuat sejumlah perumpamaan atau amtsal. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Qur’an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari(nya).” (al-Isra: 89)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam al-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (al-Kahfi: 54)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam al-Qur’an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata, “Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka.” (ar-Rum: 58)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” (az-Zumar: 27)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-‘Ankabut: 43)
Demikian pula dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya,
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal cinta, kasih sayang dan perasaan iba mereka, seperti satu jasad. Apabila satu anggota tubuh itu mengeluh (sakit), tentu seluruh jasad itu saling memanggil, merasakan tidak bisa tidur dan demam.”[7]
Demikianlah al-Qur’anul Karim, di dalamnya terdapat banyak hal yang mendidik dan membina jiwa manusia, meningkatkan pengertiannya untuk tetap istiqamah di atas jalan yang lurus.
Para ulama menyebutkan beberapa faedah yang dapat dipetik dari pemaparan tamsil ini, baik dari dalam Kitab Suci al-Qur’anul Karim, maupun sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih. Di antaranya ialah sebagai peringatan, nasihat, dorongan, sekaligus upaya mencegah dari suatu kejelekan.
Lebih lanjut, faedah adanya perumpamaan ini antara lain ialah:
Al-Qur’anul Karim juga mengarahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman mereka kepada tujuan yang baik dan terpuji. Wallahu a’lam.
(insya Allah bersambung)
[1] Diringkas dari mukadimah Tafsir as-Sa’di rahimahullah.
[2] Lihat al-’Aqidah al-Wasithiyah.
[3] Lihat al-Itqan karya as-Suyuthi.
[4] al-Burhan, al-Imam az-Zarkasyi (1/486).
[5] Bashairu Dzawi Tamyiz, al-Fairuz Abadi (1/1401).
[6] Ibid.
[7] HR. al-Bukhari (no. 6011) dan Muslim (2586) (66)