Dalam bahasa Arab diistilahkan dengan zakatul qalb, yang berarti tumbuhnya hati dan bertambah kebaikannya sehingga sempurna.
Perbuatan keji dan maksiat dalam kalbu ibarat kotoran-kotoran dalam jasmani. Jika jasmani bersih dari berbagai kotoran itu, akan murni kekuatannya, terlepas dari gangguan, sehingga bisa beramal tanpa ada hambatan. Dengan demikian, berkembanglah jasmani itu.
Demikian pula kalbu. Jika kalbu terlepas dari dosa-dosa dengan tobat, akan murni kekuatan dan kemauannya untuk melakukan kebaikan, serta merasa aman dari segala daya tarik menuju kerusakan. Maka dari itu, berkembanglah kalbu itu, tumbuh, dan semakin kuat. Akan tetapi, tentu tiada jalan menuju ke arah tersebut kecuali dengan menyucikan kalbu dari perbuatan keji dan maksiat, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’ Hal itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nur: 30)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan zakatul qalb setelah seseorang menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. Dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman setelah menyebutkan tentang haramnya zina, menuduh orang lain berzina, dan menikahi pezina,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian yang bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. Tetapi, Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 21)
Ini menunjukkan bahwa zakatul qalb akan dicapai dengan menjauhi dosa-dosa. Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, janganlah kamu masuk sebelum mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘Kembali (saja)lah’, hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nur: 28)
Maknanya, mereka dianjurkan untuk kembali agar tidak melihat sesuatu yang tidak disukai oleh tuan rumah untuk diketahui orang lain. Jika anjuran ini dilakukan, kalbu akan menjadi semakin bertambah baik.
Jadi, zakatul qalb tergantung pada thaharatul qalb (kesucian kalbu), yakni kesucian dari berbagai kemaksiatan dan dosa. Al-Qur’an sungguh telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya,
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (al-Muddatstsir: 4)
Mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan, maksud dari pakaian dalam ayat ini adalah kalbu, dan yang dimaksud menyucikannya adalah memperbaiki amalan-amalan dan akhlaknya.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan, “Sucikanlah dari dosa dan dari apa yang diperbolehkan semasa jahiliah.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, perbaikilah akhlakmu.”
Sebagian ahli tafsir menafsirkan sebagaimana tekstual ayat itu, yakni sucikan pakaianmu dari najis yang tidak dibolehkan saat shalat.
Sebenarnya, ayat tersebut mencakup semua makna di atas. Sebab, kesucian pakaian diperoleh dari hasil yang baik pula, dan itu merupakan kesempurnaan kesucian kalbu.
Kalbu yang suci—karena kesempuraan kehidupan dan cahayanya, serta bebasnya dari kotoran dan kejelekan—tidak akan pernah merasa kenyang dari al-Qur’an. Ia tidak akan mencari gizi kecuali darinya dan tidak akan berobat kecuali dengannya. ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Seandainya kalbu kita suci, ia tidak akan kenyang dari al-Qur’an.”
Berbeda halnya dengan kalbu yang tidak disucikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Ia akan mencari gizi dari sesuatu yang tidak cocok dengannya, sesuai dengan kotoran/najis yang melekat padanya. Sebab, kalbu yang najis bagaikan badan yang sakit, ia tidak merasa cocok atau nyaman dengan sesuatu yang cocok bagi orang yang sehat.
Akibat buruk bagi orang yang kalbunya tidak suci, dipastikan ia akan mendapatkan kehinaan di dunia dan azab di akhirat, sesuai dengan kenajisan dan kejelekan yang ada padanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’, padahal mereka datang kepada kamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kamu) dengan kekafirannya pula. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (al-Maidah: 61)
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan jannah (surga) bagi mereka yang dalam kalbunya terdapat najis dan kotoran. Mereka tidak akan memasuki jannah kecuali setelah kalbunya suci dan baik, karena jannah adalah rumah bagi orang-orang yang baik. Oleh karena itu, dikatakan kepada mereka,
“Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Masukilah surga ini, dan kamu kekal di dalamnya.” (az-Zumar: 73)
Maksudnya, masuklah ke jannah dengan sebab kebaikan kalian. Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang semacam itu ketika mati, sebagaimana dalam firman-Nya,
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka), ‘Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera bagimu, –red.), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan’.” (an-Nahl: 32)
Jadi, jannah tidak akan dimasuki oleh orang yang jelek atau yang terdapat padanya kejelekan. Maka dari itu, barang siapa telah suci di dunia dan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan suci dari kotoran/najis, dia akan masuk ke dalamnya tanpa penghalang.
Sebaliknya, barang siapa belum suci di dunia, jika kenajisannya itu pada asal orangnya, seperti orang kafir, ia tidak akan masuk jannah sama sekali. Namun, jika najisnya itu adalah najis yang datang, yakni bukan pada asal orangnya, ia akan masuk jannah setelah disucikan dari najis itu di neraka kemudian keluar darinya.
Sampai-sampai, jika orang yang beriman telah melewati jalan di atas Jahannam, mereka akan ditahan di qantharah (jembatan) antara jannah dan neraka hingga dibersihkan dan disucikan dari sisa-sisa kotoran yang menyebabkan mereka tertahan dari jannah dan tidak menyampaikan ke dalam neraka. Jika telah bersih dan suci, barulah diizinkan masuk ke dalam jannah.
(Dirangkum oleh al-Ustadz Qomar Sua’idi, Lc dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahafan)