Ulama menyebut akad peminjaman sebagai akad irfaq, yang berarti pemberian manfaat atau belas kasih. Oleh karena itu, memberikan pinjaman dianjurkan dalam Islam.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman dua kali kepada muslim yang lain kecuali seperti sedekah satu kali.” (Shahih lighairihi, HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, no. 901)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ قَرْضٍ صَدَقَةٌ
“Setiap pinjaman adalah sedekah.” (Hasan lighairihi, HR. ath-Thabarani dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, no. 899)
Baca juga:
Jadi, pemberian pinjaman merupakan perbuatan yang baik. Pemberian pinjaman akan membantu seorang muslim yang mengalami kesempitan untuk mendapatkan jalan keluar dan memenuhi kebutuhannya.
Ulama bersepakat, apabila seseorang mensyaratkan hal ini lalu mengambilnya, itu termasuk riba walaupun diistilahkan dengan sebutan lain, seperti bunga dan jasa.
Sebab, Islam mensyariatkan peminjaman adalah sebagai amal kebaikan atau ibadah yang dia mesti harapkan balasannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Telah kita sebutkan di atas bahwa landasan peminjaman adalah akad irfaq. Jadi, akad peminjaman ini bukanlah lahan untuk mencari keuntungan duniawi, melainkan ukhrawi. Adapun lahan untuk keuntungan duniawi telah dibuka oleh Islam dalam bentuk jual beli dan yang lain.
Baca juga:
Dalam sebuah riwayat,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً، فَهُوَ رِبًا
“Semua pinjaman yang menyeret kepada (imbalan) manfaat, maka itu riba.”
Riwayat ini lemah, tetapi telah menjadi kaidah dalam akad pinjam meminjam atau utang piutang. Oleh karena itu, seorang yang meminjamkan tidak boleh menerima hadiah atau manfaat lainnya yang berasal dari peminjam, bila ini disebabkan oleh transaksi pinjam-meminjam tersebut.
Setiap muslim wajib memperhatikan hal itu dan berhati-hati darinya serta mengikhlaskan niat dalam peminjamannya. Sebab, maksud peminjaman bukanlah untuk pengembangan harta, melainkan pengembangan pahala dengan mendekatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan ini. Hal ini dicapai dengan memberikan kebutuhan kepada orang yang membutuhkan dan mengambil kembali pokoknya. Jika demikian tujuannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menurunkan berkah pada hartanya.
Baca juga:
Perlu diperhatikan lagi bahwa keharaman mengambil imbalan manfaat dari peminjaman itu adalah apabila hal itu dipersyaratkan dalam peminjaman dengan ucapan atau bahkan perjanjian yang jelas. Misalnya, seseorang mengatakan, ‘Saya pinjami kamu, tetapi kembalinya dilebihkan sekian persen.’ Atau, ‘Dengan syarat rumahmu saya pakai atau sawahmu saya garap.’
Bisa jadi juga tanpa terucap, tetapi memang ada maksud dan keinginan, atau bahkan isyarat ke arah itu. Ini sama hukumnya, tidak boleh.
Demikian pula menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, hadiah yang diberikan oleh peminjam selama masa peminjaman, orang yang meminjami dilarang menerimanya. Beliau menyebutkan hadits dan nasihat sahabat Abdullah bin Salam radhiyallahu anhu kepada Abu Burdah bin Abu Musa dalam riwayat al-Bukhari rahimahullah,
“Engkau berada pada daerah yang riba menyebar luas padanya. Apabila engkau punya hak atas seseorang lantas ia memberimu hadiah berupa jasa membawakan jerami, gandum, atau rumput basah (untuk makanan hewan), jangan sekali-kali kamu menerimanya. Sebab, hal itu termasuk riba.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melarang orang yang meminjami untuk menerima hadiah dari peminjam sebelum pelunasan. Sebab, tujuan pemberian hadiah itu adalah agar mengundurkan penagihan, walaupun itu tidak disyaratkan atau diucapkan. Dengan demikian, kedudukannya seperti mengambil 1.000 dengan hadiah langsung, dan nanti 1.000 lagi belakangan. Ini adalah riba. Oleh karena itu, boleh memberikan tambahan ketika melunasi dan memberikan hadiah setelahnya karena makna riba telah hilang.” (dinukil dari at-Ta’liqat ar-Radhiyyah, 2/432)
Adapun apabila tambahan itu diberikan oleh peminjam karena dorongan dirinya sendiri, tanpa persyaratan, isyarat, atau maksud ke arah itu, dibolehkan untuk diambil. Sebab, ini termasuk pelunasan yang baik. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah meminjam hewan lalu mengembalikan dengan yang lebih baik, seraya mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi.” Jadi, hal itu terhitung pemberian sedekah dari peminjam.
Baca juga:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,
كَانَ لِرَجُلٍ عَلىَ النَّبِيِّ سِنٌّ مِنَ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ: أَعْطُوهُ .فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا، فَقَالَ: أَعْطُوهُ. فَقَالَ: أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللهُ بِكَ. قَالَ النَّبِيُّ: إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam punya tanggungan utang seekor unta dengan umur tertentu untuk seseorang. Orang itu datang dan minta dilunasi. Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Berikan kepada dia.’
Para sahabat mencari unta yang seumur, tetapi mereka tidak mendapati kecuali yang lebih tua. Beliau mengatakan, ‘Berikan itu kepadanya.’
Orang itu pun mengatakan, ‘Engkau telah penuhi aku, semoga Allah memenuhimu.’
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Jabir bin Abdillah radhiyallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Aku datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ketika itu beliau punya utang kepada saya. Beliau lalu melunasi utangnya kepadaku dan menambahinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Demikian pula hukumnya apabila tambahan tersebut adalah sesuatu yang sebelumnya sudah biasa terjadi antara keduanya, bukan karena pinjaman.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَلۡ جَزَآءُ ٱلۡإِحۡسَٰنِ إِلَّا ٱلۡإِحۡسَٰنُ
“Tidakkah balasan kebaikan itu kecuali kebaikan juga.” (ar-Rahman: 60)
Sebagian orang bermudah-mudah dalam urusan hak-hak orang, terkhusus dalam hal utang. Ini adalah akhlak tercela yang menyebabkan kebanyakan orang enggan memberikan pinjaman serta memberikan kelonggaran kepada pihak yang membutuhkan.
Sebaliknya, di antara mereka (pihak yang membutuhkan pinjaman) pergi ke bank-bank dan melakukan transaksi haram, yaitu riba, karena ia tidak mendapatkan orang yang meminjami dengan pinjaman yang baik. Di sisi lain, orang yang meminjami pun tidak mendapatkan orang yang dapat mengembalikan pinjaman dengan cara yang baik. Akhirnya, lenyaplah kebaikan dari tengah-tengah manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٍۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٌ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 280)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَجُلٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَكَانَ يَقُولُ لِفَتَاهُ: إِذَا أَتَيْتَ مُعْسِرًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ، لَعَلَّ اللهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا؛ فَلَقِيَ اللهَ فَتَجَاوَزَ عَنْهُ
“Dahulu ada seseorang yang suka memberi utang kepada manusia. Dia mengatakan kepada pegawainya, ‘Apabila kamu mendatangi orang yang kesulitan membayar, mudahkanlah. Mudah-mudahan Allah mengampuni kita.’ Ia pun berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia mengampuninya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Abu Qatadah, dia berkata,
أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ طَلَبَ غَرِيمًا لَهُ فَتَوَارَى عَنْهُ ثُمَّ وَجَدَهُ فَقَالَ: إِنِّي مُعْسِرٌ. فَقَالَ: آللهِ؟ قَالَ: آللهِ. قَال: فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
Abu Qatadah radhiyallahu anhu mencari orang yang berutang kepadanya. Orang itu bersembunyi darinya. Ketika ia ditemukan, ia mengatakan, “Sesungguhnya aku kesusahan.”
Abu Qatadah radhiyallahu anhu berkata, “Demi Allah?”
“Demi Allah,” jawabnya.
Abu Qatadah menyambut, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa suka untuk diselamatkan oleh Allah dari kesusahan pada hari kiamat, hendaklah ia memberikan jalan keluar bagi orang yang kesusahan atau menggugurkannya’.” (Sahih, HR. Muslim, no. 3976)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِى ظِلِّهِ
“Barang siapa memberikan tangguh kepada orang yang kesusahan atau menggugurkan utangnya, niscaya Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya.” (Sahih, HR. Muslim dan al-Baihaqi)
أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى مَا قَلَّ مِنَ الْمَهْرِ أَوْ كَثُرَ لَيْسَ فِي نَفْسِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَيْهَا حَقَّهَا خَدَعَهَا فَمَاتَ وَلَمْ يُؤَدِّ إِلَيْهَا حَقَّهَا لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَهُوَ زَانٍ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ اسْتَدَانَ دَيْنًا لاَ يُرِيدُ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى صَاحِبِهِ حَقَّهُ خَدَعَهُ حَتَّى أَخَذَ مَالَهُ فَمَاتَ وَلَمْ يُؤَدِّ دَيْنَهُ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ سَارِقٌ
“Siapa pun laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan mahar sedikit atau banyak tanpa niatan untuk memberikan hak istrinya, dia menipu istrinya, lalu (laki-laki itu) mati dalam keadaan belum memberikan haknya, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam status sebagai pezina.
Siapa pun laki-laki yang berutang dan tidak ada niatan untuk melunasi hak orang yang mengutanginya, dia tipu menipunya, hingga dia mengambil harta orang yang meminjaminya sampai dia mati dan belum membayar utangnya, nanti dia akan bertemu Allah dalam status sebagai pencuri.” (Sahih, HR. at-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib, no. 1807)
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ، لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ
“Barang siapa mati dalam keadaan menanggung utang satu dinar atau satu dirham, akan dibayar dengan pahala amal baiknya. Sebab, di sana tidak ada dinar dan dirham.” (Hasan sahih, HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dengan lafaz, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Utang itu ada dua macam. Barang siapa yang mati dan dia berniat untuk melunasinya, aku menjadi walinya. Barang siapa yang mati sementara dia tidak berniat melunasinya, orang itulah yang diambil pahala amal baiknya. Pada hari itu tidak ada dinar dan dirham.” (Shahih lighairihi, lihat Shahih at-Targhib, no. 1803)
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barang siapa mengambil harta manusia dan ia ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunasinya. Barang siapa mengambil harta manusia dengan niat menghancurkannya, niscaya Allah menghancurkan dia.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Penundaan orang yang mampu itu adalah perbuatan zalim.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain,
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Penundaan orang yang mampu akan menghalalkan kehormatan dan hukumannya.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai dalam Sunan al-Kubra, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Menghalalkan kehormatannya artinya membolehkan orang yang mengutangi untuk berkata keras kepadanya. Adapun menghalalkan hukumannya maksudnya membolehkan hakim untuk memenjarakannya.
لَا تُخِيفُوا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا. قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الدَّيْنُ
“Jangan kalian buat takut diri kalian setelah rasa amannya.” Mereka mengatakan, “Apa itu, wahai Rasulullah?” “Utang,” jawab beliau. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Al-Hakim mengatakan, “Sanadnya sahih.” Lihat Shahih at-Targhib, 2/165, no. 1797)
مَنْ فَارَقَ رُوْحُهُ جَسَدَهُ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ؛ الْغُلُولُ، وَالدَّيْنُ، وَالْكِبْرُ
“Barang siapa yang rohnya berpisah dengan jasadnya dalam keadaan dia terbebas dari tiga perkara, dia akan masuk ke dalam surga: (1) mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi, (2) utang, dan (3) kesombongan.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim; ini lafaz beliau. Lihat Shahih at-Targhib, 2/166 no. 1798)
مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُوْنَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ فَقَدْ ضَادَّ اللهَ فِي أَمْرِهِ، وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ وَلَكِنَّهَا الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ
“Barang siapa yang pembelaannya menghalangi salah satu dari hukum had Allah, dia telah melawan perintah Allah. Barang siapa mati dan menanggung utang, di sana tidak ada dinar dan tidak ada dirham. Yang ada adalah amal kebaikan dan amal keburukan.” (Sahih, HR. al-Hakim dan dia menilainya sahih; Abu Dawud, dan ath-Thabarani. Lihat Shahih at-Targhib, 2/168, no. 1809)
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai dilunasi.” (Sahih, HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan beliau mengatakannya hasan; Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih at-Targhib no. 1811)
هَا هُنَا أَحَدٌ مِنْ بَنِى فُلاَنٍ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَ: هَا هُنَا أَحَدٌ مِنْ بَنِى فُلاَنٍ؟ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ، ثُمَّ قَالَ: هَا هُنَا أَحَدٌ مِنْ بَنِى فُلاَنٍ؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تُجِيبَنِى فِى الْمَرَّتَيْنِ الأُولَيَيْنِ، أَمَا إِنِّي لَمْ أُنَوِّهْ بِكُمْ إِلاَّ خَيْرًا، إِنَّ صَاحِبَكُمْ مَأْسُورٌ بِدَيْنِهِ. فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ أَدَّى عَنْهُ حَتَّى مَا بَقِىَ أَحَدٌ يَطْلُبُهُ بِشَىْءٍ
“Apakah di sini ada seseorang dari bani fulan?” Tidak seorang pun menjawabnya.
Beliau berkata lagi, “Apakah di sini ada seseorang dari bani fulan?” Tidak seorang pun menjawabnya.
Beliau berkata lagi, “Apakah di sini ada seseorang dari bani fulan?”
Seseorang berdiri dan mengatakan, “Saya, wahai Rasulullah.” Beliau mengatakan, “Apa yang menghalangimu untuk menjawab pada (panggilan) pertama dan kedua kalinya? Saya tidak menyebut kalian kecuali yang baik. Sesungguhnya, teman kalian tertahan (untuk masuk ke surga) karena utangnya.”
Samurah mengatakan, “Sungguh, aku melihat orang itu melunasinya hingga tidak ada seorang pun menuntutnya lagi dengan sesuatu pun.” (Sahih, HR. Abu Dawud, an-Nasai, dan al-Hakim, dalam riwayatnya, “Kalau kalian ingin, tebuslah. Dan kalau kalian ingin, serahkanlah dia kepada siksa Allah.” (Shahih at-Targhib, no. 1810)
كَانَ رَسُولُ اللهِ قَاعِدًا حَيْثُ تُوضَعُ الْجَنَائِزِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ قِبَلَ السَّماَءِ ثُمَّ خَفَّضَ بَصَرَهُ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى جَبْهَتَهُ فَقَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، سُبْحَانَ اللهِ، مَا أُنْزِلَ مِنَ التَّشْدِيدِ؟ قَالَ: فَعَرَفْنَا وَسَكَتْنَا حَتَّى إِذَا كَانَ الْغَدُ، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ فَقُلْنَا: مَا التَّشْدِيدُ الَّذِي نَزَلَ؟ قَالَ: فِي الدَّيْنِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قُتِلَ رَجُلٌ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ عَاشَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ عَاشَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى دَيْنُهُ
Waktu itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk di tempat jenazah-jenazah diletakkan. Beliau mengangkat kepalanya ke arah langit lalu menundukkan pandangannya dan segera meletakkan tangannya di dahinya dan berkata, “Subhanallah, subhanallah, tasydid (urusan yang diperberat) apa yang diturunkan?”
Kami tahu dan kami diam. Ketika esok harinya, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kami katakan, “Tasydid apa yang turun?”
Beliau menjawab, “Dalam urusan utang. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, lalu hidup kembali, lalu terbunuh lagi, lalu hidup lagi, lalu terbunuh lagi, tetapi dia punya utang, dia tidak akan masuk surga hingga dilunasi utangnya.” (Hasan, HR. an-Nasai, ath-Thabarani, dan al-Hakim dan ini lafaznya, beliau mengatakan, “Sanadnya sahih.” Lihat Shahih at-Targhib, no. 1804)
Wallahu a’lam bish-shawab.