Apabila seseorang bertekad untuk melakukan safar, disunnahkan untuk istikharah (meminta pilihan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia melakukan shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian berdoa dengan doa istikharah sebagai berikut,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ: فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“Ya Allah, sungguh, aku meminta pilihan dengan ilmu-Mu, meminta ketentuan dengan takdir-Mu, aku meminta karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedangkan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui perkara gaib.
Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan Anda) lebih baik bagiku, agamaku, hidupku, dan akhir urusanku, berilah aku kemampuan untuk melakukannya. Mudahkanlah urusanku dan berilah aku berkah padanya.
Namun, jika Engkau tahu bahwa urusanku ini (sebutkan urusan Anda) jelek bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan akhir urusanku, palingkanlah urusan itu dariku. Palingkanlah aku dari urusan itu. Tentukanlah kebaikan itu untukku di manapun ia, dan jadikanlah aku ridha dengannya.” (HR. al-Bukhari no. 6382, Abu Dawud no. 1538, dan lainnya)
Baca juga:
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah membawakan ucapan Ibnu Abi Jamrah ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا (pada seluruh perkara),
“Lafaz ini umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus. Sesungguhnya pada perkara yang wajib, mustahab (sunnah), haram, dan makruh, tidak disyariatkan untuk melakukan istikharah. Perkaranya terbatas pada hal yang mubah dan hal yang mustahab apabila dihadapkan pada dua perkara, mana yang harus dia pilih.” (Fathul Bari, 11/188)
Oleh karena itu, safar yang wajib dan mustahab yang jelas (hukumnya), tidak disyariatkan untuk melakukan shalat istikharah. Terlebih lagi pada safar yang makruh dan haram.
Dianjurkan bagi orang yang hendak melakukan safar untuk bermusyawarah dengan orang yang dipercaya agamanya, berpengalaman, dan mengetahui tentang safar yang akan dia lakukan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Perintah ini ditujukan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau adalah manusia yang paling baik dan paling benar pandangannya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan. Demikian pula khalifah-khalifah setelahnya. Mereka mengajak orang-orang yang saleh dan memiliki pandangan yang baik untuk bermusyawarah dengan mereka. (Syarh Riyadhis Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, 2/520)
Jadi, bermusyawarah sebelum safar merupakan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang seharusnya diikuti.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata,
“Seorang musafir tidaklah pantas mengucapkan, ‘Aku akan safar tanpa bekal. Cukup dengan bertawakal.’ Ini adalah ucapan bodoh. Sebab, membawa bekal dalam safar tidaklah mengurangi ataupun bertentangan dengan tawakal.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hlm. 121)
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, beliau berkata,
“Penduduk Yaman pernah naik haji tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, ‘Kami bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.’ Setelah tiba di Makkah, ternyata mereka meminta-minta kepada orang-orang di sana. Lalu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat teguran,
وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah ketakwaan.” (al-Baqarah: 197) (Shahih al-Bukhari no. 1523)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (3/449) berkata, “Al-Muhallab menyatakan, ‘Dalam hadits ini terdapat faedah bahwa meninggalkan meminta-minta kepada orang lain termasuk ketakwaan’.”
Dianjurkan bagi musafir untuk membawa teman yang bisa membantu tatkala dibutuhkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada pada safar sendirian sebagaimana yang aku ketahui, tentu seorang musafir tidak akan melakukan safar pada malam hari sendirian.” (HR. al-Bukhari no. 2998 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)
Adapun hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu,
نَدَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ النَّاسَ يَومَ الْخَنْدَقِ، فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ، ثُمَّ نَدَبَهُمْ، فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ، ثُمَّ نَدَبَهُمْ، فَانْتَدَبَ الزُّبَيْرُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيٌّ وَحَوَارِيَّ الزُّبَيْرُ
“Pada Perang Khandaq, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menawarkan (untuk menjadi mata-mata) kepada para sahabatnya. Az-Zubair segera menyambutnya. (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengulangi tawarannya sampai tiga kali, dan az-Zubair selalu menyambutnya). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap nabi punya penolong, dan penolongku adalah az-Zubair’.” (HR. al-Bukhari no. 2997)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
“Hadits ini menunjukkan diperbolehkannya seseorang safar sendirian dalam keadaan darurat, atau untuk kemaslahatan yang tidak didapatkan kecuali dengan safar sendirian, seperti mengutus mata-mata (dalam perang). Adapun safar sendirian selain (pada) keadaan tersebut adalah makruh. Bisa jadi, pembolehan (safar sendirian) itu adalah saat dibutuhkan pada kondisi aman. Adapun pelarangan safar sendirian adalah ketika kondisi bahaya, sementara tidak ada kepentingan mendesak untuk melakukan safar.” (Fathul Bari, 6/161)
Disunnahkan memilih ketua rombongan yang paling berilmu dan berpengalaman sebagai penanggung jawab urusan-urusan mereka yang berkaitan dengan safar. Seluruh rombongan wajib menaatinya dalam perkara yang membawa kepada kemaslahatan safar.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang akan berangkat safar, hendaklah mereka memilih salah seorang sebagai amir (ketua rombongan).” (HR. Abu Dawud no. 2608 dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiallahu anhuma)
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
إِنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ كَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا اسْتُوْدِعَ شَيْئًا حَفِظَهُ
“Sesungguhnya Luqman al-Hakim pernah berkata, ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla, apabila dititipi sesuatu, Dia pasti menjaganya’.”
Sebaliknya, keluarga yang ditinggal juga disyariatkan untuk menitipkan orang yang akan melakukan safar kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan membaca,
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ
“Aku titipkan kepada Allah agamamu, amanahmu, dan penutup amalmu.” (HR. Abu Dawud no. 2601, dengan sanad yang sahih, dari Abdullah al-Khatmi; lihat Shahih Sunan Abi Dawud. Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam al-Jami’ ash-Shahih [2/503], “Hadits sahih menurut syarat Muslim.”)
Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya (no. 2950) dari Ka’b bin Malik radhiallahu anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat ketika Perang Tabuk pada hari Kamis, dan beliau shallallahu alaihi wa sallam menyukai safar pada hari Kamis.”
Disunnahkan pula berangkat pada waktu pagi. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah berdoa,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berilah berkah untuk umatku pada waktu pagi mereka.”
Apabila mengutus pasukan, beliau shallallahu alaihi wa sallam juga memberangkatkan mereka pada waktu pagi. (HR. Abu Dawud no. 2602 dan at-Tirmidzi no. 1212 dari Shakhr ibnu Wada’ah al-Ghamidi radhiallahu anhu. Lihat Shahihul Jami’ no. 2180, al-Misykat no. 3908, Shahih Abi Dawud no. 2270)
Kemudian membaca doa berikut ini,
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ
”Mahasuci Dzat yang telah menundukkan semua ini untuk kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, ketakwaan, dan amal yang Engkau ridhai dalam safar ini. Ya Allah, ringankanlah atas kami safar ini, pendekkan perjalanan jauh kami. Ya Allah, Engkaulah teman safar kami dan pengganti kami dalam mengurus keluarga yang kami tinggal. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar, perubahan hati ketika melihat sesuatu dan dari kejelekan saat kami kembali mengurus harta, keluarga, dan anak kami.” (HR. Muslim no. 1342 dari Ibnu Umar radhiyallhu anhuma)
Disunnahkan bagi musafir untuk bertakbir (mengucapkan Allahu Akbar) sekali, dua kali, atau tiga kali tatkala perjalanan menaik dan bertasbih (mengucapkan Subhanallah) tatkala perjalanan menurun. Ini berdasarkan hadits Jabir radhiallahu anhu, dia berkata,
كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
”Dahulu apabila kami (berjalan) menaik, kami bertakbir. Apabila turun, kami bertasbih.” (HR. al-Bukhari no. 2993)
Begitu pula hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوْا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
“Kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan pasukannya, apabila mereka mendaki bukit-bukit (berjalan naik), mereka bertakbir. Apabila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Dawud no. 2599, lihat Shahih Abi Dawud no. 263)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar radhiallahu anhu, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَفَلَ مِنَ الْحَجِّ أَوِ الْعُمْرَةِ كُلَّمَا أَوْفَى عَلَى ثَنِيَّةٍ أَوْ فَدْفَدٍ كَبَّرَ ثَلَاثًا
“Kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila kembali bepergian dari haji atau umrah, tatkala melewati bukit atau tempat yang tinggi, beliau bertakbir tiga kali.” (HR. al-Bukhari no. 6385 dan Muslim no. 1344)
Hal ini sepantasnya dilakukan oleh seorang musafir, baik tatkala berada di udara (seperti di pesawat terbang) maupun tatkala berada di atas bumi (darat).
Disunnahkan bagi musafir untuk berjalan pada malam hari. Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiallahu anhu yang berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian berjalan pada malam hari (tatkala safar) karena sesungguhnya bumi itu dilipat (dipendekkan) pada malam hari.” (HR. Abu Dawud no. 2571, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 681. Lihat juga Shahihul Jami’, no. 4064)
Disunnahkan pula bagi musafir untuk berdoa pada sebagian besar waktunya tatkala safar karena doanya mustajab, selama tidak ada hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa, seperti memakan dan meminum makanan/minuman yang haram.
Anas radhiallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Tiga doa yang tidak akan ditolak: doa orangtua untuk anaknya, doa orang yang sedang berpuasa, dan doa orang yang sedang safar.” (HR. al-Baihaqi, 3/345. Lihat ash-Shahihah no. 596)
Hal ini berdasarkan hadits Khaulah bintu Hakim radhiallahu anha, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa singgah di suatu tempat kemudian mengucapkan,
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(Aku berlindung dengan Kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang telah Dia ciptakan),
tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya sampai dia beranjak dari tempat itu.” (HR. Muslim no. 2708)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar itu bagian dari azab (melelahkan). Ia menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Maka dari itu, apabila salah seorang di antara kalian telah menyelesaikan urusannya, bersegeralah pulang menemui keluarganya.” (HR. al-Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Anas radhiallahu anhu berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ لَا يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلًا وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mendatangi keluarganya pada malam hari (tatkala pulang dari safar). Beliau mendatangi mereka pada waktu siang atau sore hari.” (HR. al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1938)
Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata,
إِذَا أَطَالَ الرَّجُلُ الْغَيْبَةَ نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ طُرُوقًا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang telah lama melakukan safar untuk mendatangi keluarga/istrinya pada malam hari.” (HR. Muslim no. 1928)
An-Nawawi rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa larangan ini berlaku bagi orang yang datang mendadak tanpa pemberitahuan. Adapun musafir yang sudah memberitahu sebelumnya, tidak termasuk dalam larangan ini. Wallahu a’lam. (Fathul Bari 9/252, Syarh Shahih Muslim 13/73)
Anas radhiallahu anhu berkata,
أَقْبَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِظَهْرِ الْمَدِينَةِ قَالَ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ؛ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُهَا حَتَّى قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
“Kami datang bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Hingga ketika kami melihat kota Madinah, beliau shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan,
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
‘Orang-orang yang kembali, bertobat, beribadah, dan hanya kepada Rabb kami semua memuji.’
Beliau shallallahu alaihi wa sallam terus membacanya sampai kami tiba di Madinah.” (HR. Muslim no. 1345)
Apabila seseorang telah kembali dari safarnya, hendaklah ia mendatangi masjid dan melakukan shalat dua rakaat dengan niat shalat qudum (shalat datang dari safar), sebelum menemui keluarganya. Hal ini berdasarkan hadits Ka’b bin Malik radhiallahu anhu,
كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali dari suatu safar, beliau shallallahu alaihi wa sallam memulai dengan mendatangi masjid lalu melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769)
Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata,
“Dahulu kami bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam suatu safar. Tatkala kami tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku,
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masuklah masjid kemudian shalatlah dua rakaat.” (HR. al-Bukhari no. 3087)
Kebanyakan manusia lalai dari sunnah ini, bisa jadi karena tidak tahu atau karena menyepelekan. Namun, sepantasnya setiap muslim menghidupkan sunnah ini. Wallahul muwaffiq.
Ini adalah sebagian dari adab safar. Bagi yang menginginkan pembahasan lebih luas, silakan membaca dan merujuk kitab al-Majmu’ karya an-Nawawi rahimahullah dan Zadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim rahimahullah, serta Syarh Riyadhish Shalihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
Wallahu a’lam.